Long Trip Part II: Kalau ke Kota Solo Enaknya Ngapain Ya?
Selama
ini kalau saya jalan-jalan ke Solo (padahal baru dua kali juga sih) selalu saja
direkomendasikan untuk ke air terjun di daerah Tawangmangu atau melipir ke arah
Jogja dan Magelang untuk berwisata ke candi-candi di sana. Namun, perjalanan tanggal
19-27 Juli 2016 kemarin benar-benar memberikan identitas baru tentang Solo bagi
saya: Kota Solo adalah surganya wisata kuliner. Maka dari itu kalau ke Solo
mendingan untuk berwisata kuliner saja, sedangkan untuk yang ingin wisata alam
sih saran saya mending sekalian mendaki Gunung Lawu (toh di daerah Tawangmangu
juga) karena pemandangan alam yang ditawarkan lebih all out.
Kamis, 21 Juli 2016
Baiklah,
kembali lagi. Jadi hari pertama setelah turun gunung kami disuguhkan garang
asem masakan bibi (baca cerita sebelumnya: pendakian Gunung Lawu). Dari Kamis
siang hingga Jumat siang kami habiskan untuk istirahat total, saya dan Kak
Putri tergeletak tanpa daya di atas kasur sampai ashar, sementara Yan kembali
ke rumahnya di Boyolali.
Jumat, 22 Juli 2016
Tim
hore Solo bertambah satu lagi, yakni Kak Windy, senior satu tingkat di atas
saya yang kini bekerja di Solo. Target kami ingin wisata kuliner malam di Solo.
Namun, Yan cukup lama datangnya, maka kami putuskan makan malam di rumah bibi. Kebetulan
sekali di depan rumah bibi ada angkringan Pakle Ahmad, ini rekomendasi pertama
saya, lokasinya tepat di belakang Asrama Putri Pondok Pesantren Ta’mirul Islam.
Harganya amat sangat terjangkau, dari sejumlah menu saya rekomendasikan es teh
dan mi goreng, asli ini es tehnya enak banget gan! Rasa es tehnya sedikit mirip
teh botol s*sro tetapi lebih ringan dan segar karena selalu baru dimasak, usut
punya usut tehnya ini Pakle racik
sendiri dengan menggabungkan empat merk teh lokal dan direbus dengan durasi
waktu yang sudah melewati tahap eksperimen juga. Harganya pun murah kok, hanya
Rp 2.500 per gelas besar, jadi tidak perlu takut untuk nambah gelas ke-2.
Jam
setengah 9 Yan datang, kami berempat langsung meluncur ke arah Jalan Slamet
Riyadi. Destinasi pertama adalah Pasar Triwindu, tapi ternyata kalau malam
tutup. Akhirnya putar haluan ke Cafe Tiga Tjeret. Sebenarnya menu yang
disuguhkan adalah menu angkringan, tapi dengan tampilan yang naik kelas. Saya
akui untuk dekorasi kafenya sangat niat, unik, dan benar-benar tipe tempat
nongkrong kaula muda. Harganya? Lebih mahal dari angkringan Pakle Ahmad, tapi
budget 20 ribu sih masih cukup untuk sekedar ngemil di kafe ini. Di
sana saya memesan root beer Tiga Tjecet (halal), sate bekicot, dan crab stick.
Soal rasanya standar, masih lebih nendang di angkringan Pakle Ahmad. Root
beer-nya disajikan dengan satu scope es krim vanila, rasa sarsaparillanya tentu
sama dengan root beer pada umumnya, tetapi mengkombinasikan es krim vanilla dan
root beer sepertinya terlalu maksa karena manis ketemu manis jadi diabetes
enek, apalagi porsinya cukup besar untuk lambung saya yang ‘mungil’. Sate
bekicotnya juga menurut saya biasa saja, entah karena baru pertama kali makan
bekicot atau memang cara memasaknya yang kurang baik, sate bekicot di kafe ini
terasa alot. Pun begitu, kalau lebih mengutamakan kenyamanan tempat saya
rekomendasikan kafe ini.
Literally "tiga tjeret", itu tempat cuci tangan loh |
Oke jalan-jalan malam tidak berlangsung lama, karena
ternyata Kota Solo bukan tipe kota yang hidup hingga tengah malam layaknya
Jalan Margonda Depok (ngasih contoh sama lokasi tinggal sehari-hari saja).
Sabtu, 23 Juli 2016
Saya,
Kak Putri, dan Kak Windy memang sudah merencanakan untuk berwisata keliling
Solo sampai puas di hari Sabtu. Demi membalas dendam karena malam hari tidak
melihat apa-apa di Pasar Triwindu, maka destinasi pertama kami adalah kembali
ke Pasar Triwindu.
Mirip tokoh kelontongan ya? |
Wah saya dibawa bernostalgia selama berada di pasar ini, karena
disini adalah pusatnya barang antik hingga jadul vintage, misalnya
senter besi yang suka dipakai hansip-hansip di film Suzanna (contoh macam apa
ini, abaikan), perlengkapan minum teh yang sering dipakai kakek-nenek, berbagai
jenis topeng, lukisan, dan benda-benda vintage lainnya. Kemudian kami
melanjutkan perjalanan berburu bakso, ini bawaan aku dan Kak Putri yang ngidam
bakso sejak di Gunung Lawu, receh banget sih jalan-jalan jauh ke Jawa Tengah
ujung-ujungnya nyari makan baskso juga, hehe..
Setelah
keliling dan kebanyakan nyasar, akhirnya kami terdampar di warung Bakso
Tengkleng di kawasan Kecamatan Laweyan. Restoran Bakso Tengkleng yang kami
kunjungi menggadang-gadangkan resep rahasia yang terdiri dari 97% daging dan
hanya 3% tepung. Walaupun harganya lebih mahal dibanding bakso abang-abang
gerobak, tapi atas dasar rasa penasaran saya langsung pesan 1 porsi bakso
tengkleng. Saat bakso disajikan saya baru tahu ternyata bakso tengkleng itu
terdiri dari bakso bulat (digoreng dadakan) dan sejenis daging iga
kambing beserta tulang-tulangnya. Baksonya enak, serius enak, teksturnya sangat
kenyal sampai susah dipotong pakai sendok, kuah baksonya lebih bening dari pada
bakso abang-abang gerobak tetapi rasa kaldunya sangat kuat, sepertinya karena
efek direbus sama tulang tengkleng. Selain itu, tulang tengkleng yang disajikan
matang sempurna sehingga mudah untuk dikunyah. Hmm, kekurangannya adalah kurang
banyak, itu aja. Tuntas
melampiaskan dendam makan bakso, kami melanjutkan perjalanan ke Pasar Klewer. Nah,
untuk yang mencari baju batik murah silakan datang ke sini. Saya kemarin sih
tidak belanja banyak di Pasar Klewer karena memang tidak sedang butuh baju,
cukup kuat juga sih godaannya saking murah harga pakaian di Pasar Klewer. Oh
iya, berhubung Pasar Klewer yang lama belum selesai direnovasi pasca kebakaran,
jadi saat saya ke sana sedang ada pemindahan sementara Pasar Klewer ke kawasan
lapangan Keraton Solo.
Puas
cuci mata, perjalanan berlanjut ke Pasar Gede, untuk yang muslim harus cukup
berhati-hati ya mencari makanan di Pasar Gede, karena ada sejumlah rumah makan
yang menjual daging-daging yang diharamkan dalam syariat Islam. Maka dari itu,
saya dan para kakak-kakak sudah antisipasi, sengaja makan bakso di tempat lain.
Lantas apa tujuan kami datang ke Pasar Gede? Berburu Dawet Telasih Mbok Darmi
dong! Lokasinya ada di lantai 1, jangan salah toko ya karena ternyata banyak
penjajah dawet telasih juga, tetapi yang paling hits itu memang dawet
telasihnya Mbok Darmi. Harganya masih terjangkau, per Juli 2016 masih di bawah
10 ribu, nggak tau kalau 1-2 tahun ke depan. Dalam semangkuk dawet telasih ada
dawet (cendol), ketan merah, agar-agar santan warna putih, kuah santan, gula
putih cair, dan tentu saja telasih (selasih). Perpaduan cendol dan santan
membuat es ini gurih-manis, cocok buat lidah yang tidak kuat dengan rasa manis
thok. Setelah menikmati dawet telasih kami bergegas pulang karena matahari
mulai kembali ke peraduan.
Minggu, 24 Juli 2016
Nah,
Sabtu malam kami diberi tahu bibi bahwa setiap Minggu pagi ada car free day di
sepanjang Jalan Slamet Riyadi, dan di CFD semua jajanan khas Solo “turun ke
jalan”. Maka minggu pagi kami menuju CFD ditemani 2 member tim hore yakni Reva
dan Nabila, bocah-bocah SD Muhammadiyah yang jadi guide kami. Dan benar saja,
CFD ini benar-benar surga makanan tingkat kedua di Kota Solo, saya sangat
rekomendasikan untuk datang ke CFD jika mau berwisata kuliner di Kota Solo.
Saya tidak bisa sebutkan makanan apa saja yang ada di CFD, pokoknya banyak
banget, gak akan nyesal deh. Walaupun tidak semuanya saya beli, tapi saya
benar-benar takjub karena di CFD ini bahkan ada semangkok nasi soto yang
harganya cuma 2 ribu perak, sahabat anak kost banget nggak sih? Nah setelah
khilaf di CFD, kami kembali ke rumah bibi dan mulai packing untuk melanjutkna
perjalanan ke Kota Jogja, sementara Kak Windy pamit karena hari Senin harus
kerja.
Sebelum
berangkat ke Jogja, bibi kembali mengajak kami makan, kali ini salat dan sup
bunga matahari. Dari sejumlah warung sup bunga matahari yang ada di Solo, bibi
mengklaim bahwa warung yang kami kunjungi adalah yang paling enak. Lokasinya
tidak jauh dari Pondok Pesantren Ta’mirul Islam cukup melipir ke sebelah kanan
dari pintu utama pondok, tenda biru namanya kalau tidak salah. Saya memesan
masing-masing satu porsi salat dan sup bunga matahari tanpa nasi. Salat adalah
sejenis salad tapi tidak memakai dressing seperti salad yang selama ini kita
tahu, salat diberi kuah berwarna coklat tua yang ternyata berasal dari rebusan
kaldu tulang sapi. Rasanya mirip-mirip bistik atau semur, dinikmati bersama bola-bola
daging, kentang goreng dan sayuran yang biasa menjadi pelengkap steak pada
umumnya. Rasa salat itu perpaduan antara manis, asam, dan gurih yang lebih kuat
dari rasa salad sayur biasa, karena kuah salat yang terbuat dari kaldu daging
sapi. Sedangkan sup bunga matahari serupa sayur sop biasa, tetapi sayur-mayur
dan daging ayamnya dipotong cacah dan dibungkus telur dadar tipis yang dilipat
sedemikian rupa sehingga membentuk bunga saat kuah dituangkan di atasnya.
Kuahnya bening kekuning-kuningan dan bersih (nggak ada irisan bawang dan
sebagainya), rasa kaldu ayamnya ringan dan pas, jadi saling melengkapi sih
kalau salat rasanya lebih kuat dan tajam sedangkan sup bunga matahari lebih
ringan. Untuk harganya, lagi-lagi Kota
Solo ini penuh kejutan, dengan uang 15 ribu kalian sudah bisa kok menikmati
salat atau sup bunga matahari (tapi gak pakai nasi ya), yang unik juga kerupuk
di warung tenda biru ini tidak dikenakan harga alias gratis, tuh anak kost
menang banyak deh kalau wisata kuliner ke Kota Solo.
Oke,
jadi dari hasil penjelajahan saya selama 3D2N di Kota Solo, ada sejumlah
kuliner khas Solo yang kudu banget kamu santap jika berkunjung ke kotanya Pak
Jokowi ini:
- Angkringan Pakle Ahmad, lokasinya di belakang Asrama Putri Pondok Ta’mirul Islam.
- Kafe Tiga Tjeret, lokasi di Jalan Slamet Riyadi, tidak jauh dari Pasar Triwindu.
- Bakso Tengkleng, bisa banyak ditemukan, yang recommended dekat perempatan lampu merah Kecamatan Laweyan.
- Es dawet telasih Mbok Darmi di Pasar Gede lantai 1.
- CFD hari Minggu di Jalan Slamet Riyadi.
- Salat tenda biru, lokasi di samping Pondok Pesantren Ta’mirul Islam.
- Sup bunga matahari, lokasi di samping Pondok Pesantren Ta’mirul Islam.
Selain
itu ada beberapa saran juga nih buat yang mau wisata di Kota Solo:
- Siapkan
kendaraan pribadi (anak kost alert: jangan nyewa, pinjam punya teman),
transportasi umum di Solo rada ribet dan jarang, naik taksi mahal mending
uangnya buat
sayanambahin budget wisata kuliner kan. - Hati-hati dengan sistem satu arah di beberapa jalan besar di Kota Solo, pak pol di sini gercep juga loh (saya kena tilang, hiks)
- Kalau mau ke CFD, sebaiknya datanglah dengan perut kosong. Makanan di CFD terlalu menggoda, kalau sudah kenyang duluan kan sayang.
- Untuk yang mau makan salat dan sup bunga matahari, saran saya tidak usah pakai nasi karena dua menu itu saja sudah bikin kenyang, kecuali kalau kamu golongan orang-orang yang makan indomie double aja masih ditambah pakai nasi.
- Selain salat dan sup bunga matahari, di warung tenda biru juga menjual setup makaroni, kuliner khas Solo yang cita rasanya kebarat-baratan. Saya nggak beli karena di rumah suka masak sendiri.
Komentar
Posting Komentar