Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia
Bismillah.
Kisah ini dimulai pada tahun 1830 yang
menjadi titik awal terjadinya tanam paksa di Indonesia. Pada tahun itu
perlawanan Pangeran Diponegoro jatuh di tangan Kompeni Belanda. Perang
melelahkan selama lima tahun itu merupakan perang “termahal” bagi pihak
Belanda. Walaupun Kompeni Belanda memenangkan peperangan,
tetapi mereka dihadapkan pada kebangkrutan yang luar biasa karena kas Negara
yang kosong, VOC bangkrut, dan terlilit hutang sana-sini. Demi mengisi kembali pundi-pundi kas negara, seorang
pensiun Komisaris Jendral Hindia-Belanda bernama Johannes van den Bosch
menggagas sistem Cultuurstelsel atau tanam
paksa, suatu sistem eksploitasi yang paling mengerikan dan kejam sepanjang masa
penjajahan Belanda terhadap Indonesia. Sistem ini memaksa pribumi untuk menanam
komoditas laku ekspor seperti tebu, kopi, teh, dan nila pada setengah atau
bahkan seluruh tanah pertaniannya. Hasil tanaman tersebut dijual kembali kepada
Kompeni Belanda dengan harga murah. Meski sudah dikeruk hasil tanah
pertaniannya, penduduk pribumi masih lagi dikenakan pajak atas tanah pertanian.
Sementara bagi yang tidak punya tanah pun tidak lebih beruntung, karena mereka
harus bekerja di perkebunan pemerintah selama 200-225 hari dalam setahun tanpa
dibayar.
Manshur Zikri. 2010. Max Havelaar: Curahan hati
seorang pejuang berkebangsaan
Eduard
Douwes Dekker. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Eduard_Douwes_Dekker.
Eduard Douwes Dekker |
Ketika
kekejaman tanam paksa ini berlaku, Eduard Douwes Dekker sedang menjabat sebagai
asisten residen di daerah Lebak, Banten. Douwes Dekker bukanlah sosok patriotik,
ia hanyalah seorang Belanda yang berkali-kali kehilangan pekerjaan akibat
bentrok dengan atasan. Namun, kepindahan ke Lebak membawa dampak besar baginya,
apalagi ketika ia melihat sendiri dalam keseharian betapa malang nasib pribumi
akibat Sistem Tanam Paksa. Bukan hanya oleh Kompeni Belanda, bahkan penduduk
Lebak kala itu “dihisap” pula darah dan raganya oleh para pejabat pribumi feodal
yang selalu meminta pajak-pajak tak masuk akal. Rupanya rasa kemanusiaan dan
hati nurani masih berpendar dalam diri Douwes Dekker, ia memilih untuk membela
penduduk pribumi dari kekejaman bangsanya sendiri. Ia berupaya menyuarakan
penderitaan penduduk Lebak akibat ulah para petinggi kepada Gubernur
Hindia-Belanda. Suara kritis Douwes Dekker memang sampai pada jajaran
pemerintah Hindia-Belanda, tetapi perlawanan itu bukan lagi tanpa pengorbanan.
Kala itu Douwes Dekker ada dalam bahaya
baik dari pelengseran kedudukan asisten residen hingga ancaman pembunuhan.
Tidak butuh waktu lama bagi Douwes Dekker untuk kembali mengundurkan diri dari
pekerjaannya, ia pun kembali ke Belanda supaya tidak jadi tumbal kekejaman
birokrasi Pemerintah Hindia-Belanda atau pribumi feodal. Sesampainya di
Belanda, berbagai upaya untuk bertahan hidup ia lakukan, mulai dari bekerja
hingga main judi.
Pada tahun
1859, Douwes Dekker mengalami masa kritis dalam hubungan asmara karena sang
istri didesak untuk mengajukan cerai padanya. Larut dalam rasa frustasi karena
tak punya penghasilan dan ditinggal sang istri, Douwes Dekker pun memilih
mengurung diri dalam sebuah kamar hotel di Brussel, Belgia sambil mencoba
menulis pengalamannya selama menjadi asisten residen Lebak. Dengan menggunakan
nama samaran Multatuli, Douwes Dekker menyuarakan kritik terhadap Kompeni
Belanda lewat sebuah buku berjudul Max
Havelaar (Lelang Kopi Perdagangan Belanda) yang terbit pada tahun 1860.
Dalam buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat Indonesia akibat
pelaksanaan Sistem Tanam Paksa. Selain itu, ia juga mencela pemerintah
Hindia-Belanda atas segala kebijakannya di Indonesia. Perjuangan Douwes Dekker
tidak sia-sia, pembelaannya terhadap penduduk pribumi mendapat dukungan dari
kaum liberal yang menghendaki kebebasan penduduk pribumi dan kebebasan kegiatan
ekonomi tanpa campur tangan pemerintah Hindia-Belanda, sehingga banyak orang
Belanda yang mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa. Melalui karya Max
Havelaar pula, Eduard Douwes Dekker telah menggubah semangat kebangsaan di
Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialisme.
Daftar
Referensi:
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta:
Lentera Dipantara.
Manshur Zikri. 2010. Max Havelaar: Curahan hati
seorang pejuang berkebangsaan
Belanda yang selalu melarat. Sumber:
https://manshurzikri.wordpress.com/2010/03/04/max-havelaar-curahan-hati-seorang
pejuang-berkebangsaan-belanda-yang-selalu-melarat/. Diakses pada 24 Maret
2015,
07.12 WIB.
Eduard
Douwes Dekker. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Eduard_Douwes_Dekker.
Diakses
pada 24 Maret 2015, 07.23 WIB.
Cultuurstelsel.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelsel.
Diakses pada 24 Maret
2015, 06.55 WIB.
2015, 06.55 WIB.
Komentar
Posting Komentar