Catatan Perjalanan Dari Langit NTT: Kita Beda, Tapi Sama
Selasa, 14 November 2017
Pada suatu siang di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, matahari tengah unjuk kegarangan pada seantero bumi Flobamora. Hawa panas menyengat hingga ke dalam aula tempat acara kami berlangsung, 3 kipas angin yang dinyalakan hanya jadi onggokan benda yang berputar konstan,
Pada suatu siang di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, matahari tengah unjuk kegarangan pada seantero bumi Flobamora. Hawa panas menyengat hingga ke dalam aula tempat acara kami berlangsung, 3 kipas angin yang dinyalakan hanya jadi onggokan benda yang berputar konstan,
“Baiklah bapak-bapak, apakah ada
pertanyaan?”
Semua kepala menggeleng. Syukurlah..
Saya pun berharap mereka tidak ada yang bertanya agar suasana serius ini segera
berakhir. Jarum jam mengarah lurus ke angka 2, hmm.. sudah pukul 14.00 WITA,
ternyata kegiatan assessment hari ini
selesai lebih cepat dari perkiraan saya, “Wah berarti, besok udah bisa kembali
ke Jakarta!”, bisik hati saya.
“Mba Kamilah, ini bukti-bukti
presensi dan borangnya”
Saya teliti lembar demi lembar
dokumen yang diberikan oleh Mba Tini, staf kantor cabang Kota Kupang, sudah
lengkap.
“Alhamdulillah,
rencananya untuk sore ini bagaimana mba, apa langsung kami antar ke hotel?”
“Antar ke hotel saja mba, di luar
panas banget saya belum terbiasa sama cuaca sini”, Mba Tini hanya tertawa
mendengar curhatan saya.
***
Tiba di kamar hotel, saya langsung
mengatur AC ke angka yang paling rendah. It’s
a tough day. Saya diutus kantor untuk melakukan survey dan assessment di kantor cabang Kota Kupang,
NTT. Ini adalah kali pertama saya pergi ke NTT, sekaligus menjadi bagian
Indonesia paling timur yang pernah saya tapaki. Tentu saja saya excited, tetapi
sayangnya kedatangan ke Kupang bukan untuk liburan sehingga hati dan pikiran
saya terpusat pada pekerjaan. Saya berhadapan dengan orang-orang yang tidak
satu generasi dengan saya, orang-orang yang bahkan lebih tua dari orang tua
saya. Jadilah dua hari terasa amat serius karena saya harus mengimbangi jalan
pikiran tuan rumah di sini. Hembusan angin AC di kamar hotel menyadarkan saya
kembali, yeah it’s finally over!
Biasanya saat melakukan turun
lapang saya bisa sekalian jalan-jalan, tetapi kali ini Kota Kupang tak bisa
menawarkan apa-apa. Bahkan untuk sekedar wisata kuliner pun agak susah, karena
jarang ada rumah makan halal selain nasi Padang.
“Kalo yang tempat-tempat wisata
yang terkenal itu jauh mba dari sini, naik kapal laut bisa tiga hari, naik
pesawat ongkosnya ‘dah sama kayak ongkos ke Jakarta”, penjelasan Mba Tini
kemarin terngiang lagi di kepala saya.
Agak nyesek sih, padahal kan saya
sudah sejauh ini sampai di NTT. Hmm.. mau dikatakan apa lagi, bila memang tak menemukan apa-apa.. yasudahlah. Untungnya hotel yang saya tumpangi berada tepat di bibir pantai. Meski pun bukan pantai dengan kilauan air biru tosca, tetapi pantai dan senja selalu berhasil menyuguhkan harmoni yang indah.
Dari balkon hotel |
Senja yang Bersahaja di timur Indonesia |
Anak-anak bermain bersama orang tuanya, hiburan murah meriah |
Setelah bersenja-ria, saya kembali ke kamar hotel. Saya putuskan
untuk pulang ke Jakarta besok. Yap, saya sengaja belum membeli tiket pulang
untuk jaga-jaga kalau kerjaan belum juga kelar hingga hari ketiga. Saya nyalakan laptop, mengarahkan
kursor ke tab link browser. Seperti biasa jemari saya sudah hafal ke website
langganan kantor kami, Blibli Travel. Saya suka menggunakan Blibli Travel
karena tampilan antar muka penggunanya yang sangat simple. Selain itu, ada poin
reward untk setiap pembelian tiket pesawat, nantinya poin ini dapat digunakan
untuk belanja di online shop Blibli, ah lumayan sekali. Saya pilih tiket
pesawat dengan waktu keberangkatan paling pas dan budget sesuai plafon kantor.
Klik, klik, bayar, selesai. Fiuh. Hanya selang sepuluh menit, tiket Sriwijaya Air Kupang-Jakarta sudah masuk ke email saya, ah beginilah untungnya
jadi manusia masa kini, semuanya serba dalam satu genggaman teknologi. Saya layangkan
pandang ke TV dan larut dalam adegan laga Civil
War.
Rabu, 14 November 2017
Rabu, 14 November 2017
Mba Tini ditugaskan mengantar
saya ke Bandara El Tari. Selesai berpamitan, saya segera masuk ke ruang boarding, mencari sudut paling nyaman
untuk duduk sendiri.
Di perjalanan menuju bandara, saya mampir ke hutan bakau Pantai Oesapa |
Sok galau, heuheu |
Dan ini Pantai Lasiana |
Saya refleksikan lagi perjalanan
tiga hari ini, benar-benar tak ada yang tersisa selain kerja dan kerja.
Yasudahlah, sungguh belum rezeki. Boarding
gate pun dibuka, dalam sekejap telah tercipta antrean panjang penumpang
tujuan Jakarta. Kursi pesawat saya berada tepat di samping jendela.
Gumpalan permen kapas |
Pesawat telah lepas landas mengantarkan
kami menuju ‘mama kota’. Saya sempalkan earphone
ke lubang telinga, bukan karena ingin mendengarkan musik, tetapi supaya saya bisa
tidur lebih nyenyak. Satu.. dua.. saya coba pejamkan mata,
“Kalau saya lihat dari warna
kulitnya, kamu bukan orang asli sini ya?”
“Eh..bu..bukan pak”, sebuah suara membangunkan saya
yang sedang berusaha untuk tidur.
“Jadi kamu orang mana?”
“Sumatera, Sumatera Selatan”
“Oh, kalau begitu tebakan saya
salah. Saya kira kamu orang Jawa. Kalau saya, orang Dayak asli”
Seorang lelaki di sebelah kursi
saya membuka percakapan. Usianya mungkin sudah memasuki kepala empat, rambutnya hitam klimis meski kerutan mulai bermunculan di sudut
bibir dan matanya, perawakannya yang tinggi dan gagah mengingatkan saya pada
sosok lelaki suku Maori di New Zealand. Suaranya sangat khas dan berat, tetapi
lagamnya sangat sopan layaknya seorang terpelajar. Saya sudah bersiap kembali tidur
tetapi sepertinya si Bapak kursi sebelah (izinkan saya menyebutnya demikian) belum
berminat mengakhiri perbincangan. Ia lanjutkan kembali perbincangan dari satu
pertanyaan ke pertanyaan lain sampai kami jadi sama-sama tahu makanan dan hobi
masing-masing.
“Ajaran agama saya pun hampir
sama seperti agamamu”
Ehm.. saya agak terkejut dengan
pembahasannya yang tiba-tiba bicara soal agama. Kalau melihat dari pakaian pun
semua orang pasti sudah bisa menebak kalau saya adalah seorang muslim,
sementara Bapak kursi sebelah, hmm.. entahlah saya tak yakin dan tak berminat
pula menanyakan hal sesensitif itu.
“Saya pun tak boleh makan daging babi,
tidak minum minuman beralkohol, bahkan lebih ketat dari Islam. Dalam keyakinan saya,
kami tak boleh makan binatang laut selain ikan.. jadi saya tak bisa makan cumi,
udang, siput”
“Ahaha.. jadi Bapak nggak bisa
merasakan enaknya makan cumi bakar di pinggir pantai dong”, saya coba
menanggapi pernyataannya dengan candaan, kantuk saya mulai hilang.
“Hehehe, tapi itu bagus buat saya
yang usianya sudah segini, kabarnya cumi tinggi kolesterol. Ehm.. Saya penganut
Kristen Advent, pernah dengar?”
Saya menggelengkan kepala, hmm
maafkan atas minimnya pengetahuan saya. Secara singkat Bapak kursi sebelah memberi
penjelasan atas agama yang diyakininya tersebut. Kemudian, Bapak kursi sebelah kembali
berkisah tentang alasan perjalanannya ke NTT, yakni ‘mengantarkan sepatu sekolah untuk adik-adik di
Kabupaten Alor’.
Ia melanjutkan, bahwa
untuk sampai ke SD yang dituju ia harus menyeberang menggunakan kapal laut. Tak
sampai disitu saja, lepas dari perjalanan laut, ia harus lanjutkan perjalanan dengan
menumpang mobil truk melewati jalanan tanah yang amat rusak hingga akhirnya
sampai di SD tujuan bersama paket sepatu baru.
“Saat memberikan sepatu itu
kepada mereka, saya melihat senyum mengembang pada wajah anak-anak itu, saya
tidak kenal mereka, tetapi melihat senyum mereka mata saya berkaca-kaca, begitu
berarti sepasang sepatu warna hitam itu bagi mereka”, si Bapak kursi sebelah
menggambarkan perasaannya. Perlahan perasaan hangat itu menular ke hati saya,
membayangkan anak-anak lucu dengan kulit hitam manis, rambut ikal kecil, mata
berbinar-binar memeluk sepatu warna hitam yang diberikan oleh seorang asing
dengan penampilan berbeda dari mereka.
Bapak kursi sebelah bercerita
lebih jauh lagi tentang alasannya mengantarkan sepatu sekolah ke Kabupaten
Alor. Bapak kursi sebelah dibesarkan dalam keluarga yang biasa saja. Ia tumbuh
di pedalaman Kalimantan Timur, ibu dan ayahnya adalah pedagang kelontongan.
Saat tamat SMA ia memutuskan untuk merantau ke Bandung, kuliah katanya. Ia
habiskan hidupnya dengan biasa saja, bahkan sedikit bandel. Seperti orang kebanyakan,
ia melanjutkan hidup dengan menikah dan bekerja hingga secara ekonomi ia mulai
masuk kategori mapan. Tetapi, dibalik hidup normalnya itu ia mulai merasa hampa.
Ia mulai mencari dan mencari sesuatu yang dapat mengisi kehampaan hatinya.
“Saya mulai paham, selama ini apa
yang saya cari, saya habiskan sendiri. Saya berjuang hanya untuk saya semata,
tidak untuk sesama. Sepertinya itu yang membuat hati saya hampa”
Akhirnya sebuah keputusan dibuat
bersama sang istri. Ia konsisten menyisihkan minimal 25% dari pendapatannya
untuk memberi kepada yang membutuhkan. Secara konsisten setiap satu bulan sekali ia turun langsung bersama
istrinya, mencari siapa saja yang membutuhkan di berbagai pelosok daerah
Indonesia, tanpa memandang suku tanpa memandang agama. Hingga sebuah keajaiban
terjadi,
“Istri saya yang divonis tak bisa
punya anak, kemudian hamil. Ialah yang jadi anak gadis semata wayang kami, namanya
Miracle karena kelahirannya adalah sebuah keajaiban”
Saat Miracle dalam kandungan, si
Bapak kembali bersepakat dengan sang istri bahwa dengan hadirnya Miracle ke
dunia ini maka mereka harus bertanggungjawab untuk membesarkan satu anak yatim
piatu,
“Kami jadi paham betapa
berartinya seorang anak, dan kami ingin agar anak yatim piatu ini tak merasa
sendirian menghadapi dunia”, pungkas si Bapak kursi sebelah.
Cerita si Bapak belum selesai. Saat
Miracle masih dalam kandungan, setiap pulang kerja ia akan membacakan dongeng
padanya sambil mengelus-elus perut si istri. Banyak kisah ia bacakan, mulai
dari cerita rakyat Indonesia, cerita fabel, kisah rohani, dan sebagainya. Saat
ada suatu halangan yang membuat ia tak dapat mendongeng, ia akan minta maaf
pada Miracle, ya minta maaf pada janin dalam kandungan,
“Saya bisikkan ke perut istri
saya, ‘nak maaf ya hari ini papa tak bisa bacakan dongengnya, papa harus lembur
di kantor, besok papa akan bacakan dongengnya dua kali untuk menggantikan yang
hari ini ya’”
Saya semakin kagum dengan sosok
di sebelah saya ini. Cara dia memperlakukan anaknya sejak dalam kandungan
sangat mengagumkan, sama mengagumkannya dengan kemurahan hatinya untuk berbagi
dengan sesama.
“Mumpung kamu masih muda, coba deh sekali-kali
kamu datang ke sekolah-sekolah di pedalaman Indonesia, atau minimal di kampung
halamanmu. Anak-anak kecil, mereka sangat senang ketika ada orang di luar
lingkungan mereka yang bercerita tentang luar negeri, gedung-gedung tinggi di
Jakarta, atau sekedar kamu ajarkan mereka kata ‘terima kasih’ dalam bahasa
Inggris dan bahasa lainnya. Kehadiran kita akan sangat menginspirasi mereka,
meski bagi kita itu hal yang sederhana”
Bapak ini benar, selama ini saya
memang terlalu sibuk dengan hidup dan dunia sendiri, padahal dengan melihat
kehidupan-kehidupan lain di luar konstelasi kita, itulah yang akan mengisi
rongga-rongga hati agar tidak hampa.
“Dan nanti, kalau kamu akan
menikah, pastikan ini ke calonmu: apakah ia sungguh ingin jadi ayah dari
anak-anakmu? Kalau iya, maka syaratnya ia harus mencintai ibu dari anak-anak
itu terlebih dahulu, dan tentunya harus siap bacakan dongeng untuk anak-anakmu
sejak dalam kandungan”, saya tersenyum, bahkan orang tua saya pun tidak
seekspresif ini saat berbicara soal cinta.
Tak terasa 3 jam kami tenggelam
dalam perbincangan, pesawat kami akan segera mendarat, kami kencangkan kembali
sabuk pengaman.
“Andai semua orang punya
kesempatan yang sama untuk saling mengenal dan bercerita ya..”, ujarnya.
Akhir-akhir ini media sosial dan elektronik memang semakin sumpek dengan pesan-pesan
penebar kebencian. Dari kursi pesawat ini saya belajar arti toleransi. Saya
seorang muslimah, Bapak di sebelah saya seorang penganut Kristen Advent, kami berada di
pesawat yang sama, kami sepakat tentang kebaikan berbagi dan cinta, tak ada
sedikit pun kebencian dalam hati dan diskusi kami. Bangsa ini hanya belum saling mengenal. Di ujung landing ini
saya jadi berpikir, mungkin perbincangan dengan si Bapak di kursi sebelah
inilah yang jadi inti perjalanan saya ke NTT. Meminjam istilah Fiersa Besari, mungkin
ini yang dinamakan konspirasi alam semesta: si gadis rantau dari Sumatera, si Bapak asli suku Dayak, beda agama, beda dunia, beda usia, kemudian semesta
mempertemukan kami di bangku pesawat dari langit NTT menuju Jakarta.
Pesawat telah landing dengan sempurna, satu per satu
penumpang meninggalkan kursinya.
“Oh iya, saya Alvin”
“Saya Kamilah”
Kami berpisah tanpa bertukar
kontak atau info sosial media, hanya kembali pada garis edar masing-masing. Langit
Jakarta mendung, tetapi mengenang pertemuan kami di kursi pesawat membuat senyum
saya terus menggantung.
Nice!!
BalasHapusselamat atas kemenangannya. salam dari lombaapasaja
BalasHapusTerima kasih :)
HapusJadilah cahaya. Jadilah binar dalam gelap. Jadilah inspirasi yang membuat perbedaan besar. Selamat tahun baru 2019 yah,o ya kalo ada waktu boleh dong tinggalin jejak keblog ku,ada artikel terbaru tentang Lima Zodiak ini akan bertemu pasangannya di tahun 2019 Mungkin agan salah satunya :D
BalasHapusSelamat tahun baru juga, oke :)
Hapus