Pendakian Gunung Prau Via Wates 2019: Akhirnya Berhasil Juga
Bismillah.
Halo gais, apa kabar? Semoga kita semua dalam keadaan sehat dan bahagia ya. Sebenarnya saya agak ragu untuk posting tentang pendakian Prau via Wates, kenawhy?
Jadi gini, Prau memang jamak jadi spot favorit untuk mendaki karena aksesnya relatif mudah, pemandangannya cakep, dan nda terlalu capek. Ga heran kalau tiap weekend atau tanggal merah, jalur pendakian Prau jadi macet sama manusia dan tas keril. Saya ga nyalahin siapa-siapa soal ini, karena semua orang punya hak yang sama untuk menikmati keindahan alam Indonesia. Cuma balik lagi nih ke pendakian via Wates ini, saya hanya takut seandainya saya share cerita ini nantinya malah menarik minat pendaki serampangan untuk lewat jalur ini. Yap, saya sepertinya perlu bersuara cukup keras di awal untuk para pendaki serampangan ini, yaitu pendaki yang suka buang sampah sembarangan, ninggalin tisu basah seenaknya setelah buang hajat, nginjek rumput seenaknya di luar jalur, nginjek bahkan metik bunga daisy, matahin dahan/ranting pohon tanpa tujuan jelas, tidak menjaga sopan-santun dan perkataan selama di gunung--coba anda keluarkan kata-kata kebun binatang itu depan ortu/guru, auto banned gan. Jadi Please. Sebelum saya lanjutin cerita pendakian Prau via Wates ini saya harap siapa pun yang membacanya jadi pembaca yang bijak, karena jalur Prau via Wates ini masih lebih asri dan bersih. Please jangan dirusak. (maap yah belum apa-apa dah ngegas)
Aku Cinta Alam Indonesia! |
Gunung Prau adalah saksi pendakian pertama saya, bermula pada tahun 2015 seorang teman kampus ‘meracuni’ saya untuk mendaki Gunung Prau, ndilalah
pendakian tersebut disambut hujan dan kabut dari malam hingga siang.
Namun, kebersamaan selama pendakian tersebut sangat berkesan hingga
membawa saya ke gunung-gunung lainnya di Indonesia, mulai dari Lawu sampai Rinjani. Meski demikian, saya masih penasaran sama si Gunung Prau ini. Maka,
tahun 2017 saya coba peruntungan lagi buat mendaki Gunung Prau. And you know what? Saya disambut hujan dan kabut lagi gais 😷 Lalu, apakah rasa
penasaran dengan ‘padang daisy’ berakhir?
Oh tentu tidaaak. Lewat Instagram saya cari teman barengan untuk melakukan pendakian ke Gunung Prau (ni kebiasaaan banget saya cari barengan nanjak lewat IG, pantengin aja IG saya siapa tau saya lagi nyari barengan). Alhamdulillah terjaringlah
tiga orang teman yang mau gabung ke pendakian ini, yakni Ikhsan, Aden,
dan Intan. Maka, tahun 2019
saya mendaki Gunung Prau kembali untuk ketiga kalinya.
Without any further ado,
ayo kita mulai cerita perjalanannya!
Jumat,
21 Juni 2019
Hari ini adalah
hari yang panjang. Sepulang kerja, saya langsung berkejaran dengan waktu menembus
kemacetan Kota Jakarta menuju meeting
point di Terminal Kampung Rambutan. Kami ketinggalan bus Sinjay andalanque kalau mau ke Wonosobo, hiks, akhirnya kami naik bus kecil merk ga jelas gitu, okelah
yang penting kami bisa sampai Wonosobo weh lah.. Eh ga taunya, di jalan kami dapat kejutan. Bayangin yah, ini bus udah jalan dari Kp Rambutan jam 10 malam, tidur deh tuh kita di bus, macet banget memang di luar, pas jam setengah 4 bus stop di rest area, kalian tau rest area mana? Bekasi. Ku ingin marah 😭
Yaudahlah ya, abis itu bus lanjut jalan lagi, jalannya lambat banget kayak tayo (ga tau juga sih saya tayo jalannya ngebut apa lambat). Kirain cobaan terberat hanya di tol Cikampek saja, ternyata nggak pemirsa 😩 Di daerah sebelum Purwokerto ada perbaikan jalan sehingga yang dibuka hanya 1 jalur, imbasnya macet parah sampai 5 jam. Ya Allah itu kaki saya udah ga jelas lagi rasanya, belum mendaki aja udah keram. Saya udah hopeless sama pendakian siang, dalam hati udah ngebatin aja "Jalan malam lu La, jalan malam udah ini mah". Di bus kami berempat rundingan, ini ga bisa nih kalau pulang macet-macetan gini juga, fix lah pulang naik kereta aja, pas cek travel*ka kereta yang nyisa tinggal kelas bisnis dong... Yaudahlah jadi sultan sekali-sekali. Kami berempat langsung booking tiket Purwokerto-Ps. Senen 330rb, yang penting pulangnya nyaman. Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya bus kami sampai juga di Wonosobo jam 18.00 WIB. Wah gila sih ini, perjalanan
yang semestinya cukup ditempuh 8-10 jam molor hingga 20 jam. Rasanya energi saya sudah
terkuras habis dalam bus kecil ini. Pun demikian, saya merasa beruntung
dibersamai oleh 3 orang rekan
yang hebat, tak ada satu pun dari mereka yang mengeluh
meski rasa lelah tergambar jelas di air muka kami semua, I love you 3000 gais :’)
Ceritanya ada backsound
Upin ipin kelelahan |
Sabtu, 22 Juni 2019
Sampai di Wonosobo hanya ada satu hal yang kami pikirkan: makan. Saya sama Intan belum makan nasi dari pagi, laparnya itu sudah diubun-ubun.. Begitu keluar dari
bus, kami langsung cari warung nasi, dapatlah warung nasi pecel lele tepat di seberang pom bensin Ngasinan, dan ini warungnya recommended! Udah enak, murah, enak, bersih, enak pokoknya enak, haha. Mobil sewaan menuju basecamp Prau via Wates sudah parkir cantik sejak pukul 17.00 WIB, dasar kami, sudah telat 1 jam tapi masih mampir makan pula.. Untungnya Pak Supir mengerti kondisi
kami yang kelelahan, kelaparan, dan pingin ngelurusin kaki. Di warung makan, kami diskusi ulang tentang segala
persiapan pendakian, karena rencana kami berubah total dums jadi mendaki malam. Sambil berdiskusi,
kami packing ulang semua barang, sharing bawaan sama 2 porter upin ipin.
Berdasarkan ilmu packing yang diwariskan oleh Lord Ubay (yang ngeracunin saya ke Prau pertama kali), saya melakukan packing kering yakni membungkus setiap
kelompok barang menggunakan kantong plastik. Sebelum dimasukin keril, bagian dalam
kerilnya dilapisi lagi dengan plastik trash bag. Saya pun mewariskan ilmu hitam ini kepada Intan, tiba-tiba Aden nyeletuk,
“Lho kenapa harus
berlapis-lapis? pakai satu trash bag aja
cukup kok kak, jadi ga boros plastik”,
Benar juga sih perkataan Aden, secara logika kalau pendakiannya di musim kemarau atau sekiranya nda bakal hujan, tidak perlu packing kering gais, save earth jangan banyak-banyakin sampah plastik, cukuplah kesesatan Lord Ubay ini berhenti sampai di saya 😅
Selesai makan kami
langsung mengangkut semua tas ke dalam mobil. Sepanjang
jalan saya sudah harap-harap cemas, apakah kali ini alam akan berpihak pada
kami atau justru mengganas seperti dua pendakian saya sebelumnya? Di tengah rasa harap-harap cemas,
Pak Supir menepi
ke mini market. Di mini market ini kami belanja logistik ‘starter pack’
pendakian Indonesiyah, seperti madu, snack
ciki-cikian, roti tawar, saus bbq, tisu kering, tisu basah, dan tentunya…air
mineral botol. Perjalanan kami lanjutkan dengan memasuki
jalan desa, kelip
lampu kota semakin jauh tertinggal di belakang. Angin malam sepoi-sepoi
menyusup masuk dari celah jendela mobil seiring kontur jalan yang semakin menanjak. Kami tengok keluar,
masya Allah gais.. Jutaan bintang (kayaknya sih jutaan) terhampar di langit, pertanda cuaca sedang
cerah-cerahnya, saya
sumringan karena malam ini semesta berpihak pada kami, alhamdulillah :')
Selesai packing, bukan iklan ya gais
|
Pukul 20.00 WIB
kami tiba di basecamp Gunung
Prau via Wates.
Kami packing ulang belanjaan yang
telah dibeli dari mini market. Sambil sibuk bongkar muatan,
Ikhsan mewakili kami untuk mendaftar Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi).
Ternyata basecamp Wates masuk wilayah Temanggung gais |
Tas keril kami telah
siap saat Ikhsan kembali membawa
sebuah informasi dari loket petugas Simaksi, bahwa ada
regulasi baru yang berlaku bagi para pendaki Gunung Prau via Wates, yakni dilarang membawa
tisu basah. Kami agak kaget dengan aturan ini, apakah aturan ini benar-benar sudah berlaku, dan apa konsekuensinya? Jawaban pihak basecamp kurleb begini: tidak boleh bawa tisu basah, konsekuensinya tidak
main-main, setiap anggota tim akan didenda 100 ribu rupiah apabila kedapatan
membawa tisu basah oleh
petugas/ranger Gunung Prau. Aturan ini sudah berlaku
di semua basecamp Gunung Prau, bahkan
sebenarnya tidak hanya larangan membawa tisu basah saja, tetapi juga larangan
membawa botol plastik. Nah.. Karena basecamp Wates tergolong baru diresmikan,
aturan tentang botol itu belum berlaku, tapi pastinya akan segera berlaku juga.
Kalau di Patak Banteng, pihak basecamp
telah memfasilitasi sewa dirijen bagi yang nggak bawa wadah air sendiri, nanti
di basecamp Wates juga akan begitu gais~
Ini poster larangan bawa tisu basah gais, pesan: jangan ngeyel! |
Pukul 21.00 WIB kami mulai pendakian dari pos 1 Gunung Prau via Wates, berdasarkan pendakian yang saya lakukan tahun 2017, estimasi waktu yang akan ditempuh adalah 4 jam sampai camping ground. Namun, kami tidak ngoyo mengingat separuh tenaga sudah terkuras oleh bus tayo horor 20 jam Jakarta-Wonosobo.
Kalian lihat ga sih ada penampakan di belakang? Ga lihat?? Ya emang ga ada penampakan sih~ |
Bulannya terang, yaa itu aslinya bulan separuh gais :) |
Minggu, 23 Juni 2019
Alarm dari handphone saya menyala, pertanda waktu
subuh telah tiba. Udara dingin menggigit membuat saya dan Intan ga sanggup keluar tenda,
alhasil setelah sholat subuh kami melengos kembali dalam sleeping bag
masing-masing. Satu-dua jam kemudian, Ikhsan nepuk-nepuk tenda saya,
“Hei bangun-bangun,
ini pemandangannya lagi bagus!”,
Saya refleks bangun dan segera keluar tenda dengan muka bantal (aib bet ya Allah 😂). Bisa tebak apa yang kami lihat di luar tenda?
Alhamdulillah, setelah penantian ratusan purnama dan percobaan 2 kali pendakian 😭 |
Golden sunrise meski sudah agak kesiangan |
Gunung Sindoro yang berdiri gagah |
Jadi makanan enak kalo di gunung hehe |
Kami masak sayur sop nih |
“Nasi maaf ya,
kamu ngga habis, saya taruh di bawah pohon ini ya, kamu jadi pupuk buat pohon
ini ya”, saya melantangkan ucapan tersebut biar pohon cemara juga mendengar.
Meski sederhana,
tapi setelah melakukannya saya merasa no
guilty! Ga ada makanan yang terbuang sia-sia 😊
Pukul 10.00 WIB
kami mulai berkemas, mengejar waktu agar bisa sedikit berlama-lama di puncak
Gunung Prau. Semua sudah ter-packing
dengan rapi, sampah-sampah sudah kami pastikan tak ada yang tertinggal. Pukul
11.00 WIB kami mulai pendakian ke puncak Gunung Prau sekalian turun via jalur
Patak Banteng. Ada satu tanjakan yang cukup berat sebelum kami sampai camping ground jalur Wates. Tanjakan ini
cukup bikin kami kewalahan, sebentar-sebentar berhenti untuk narik
nafas. Setelah pendakian setengah-jam-rasa-satu-jam,
kami tiba juga deh di camping ground
jalur Wates, uwuwuw~
Pemandangan depan tenda kami, masya Allah :) |
Sampai juga di camping ground gais |
Padang bunga daisy 😍 |
Jangan dipetik ya! |
Wow, di perjalanan ini kami dapat banyak banget rejeki pemandangan, selain golden sunrise dan cuaca cerah, bunga daisy pun sedang mekar-mekarnya. Kami yang tadinya buru-buru
langsung berhenti dulu, santuy nikmatin suasana padang bunga daisy😊 Selama berada di
area camping ground, kami semua ekstra
hati-hati agar tidak menginjak bunga daisy. Meski pengetahuan saya tentang pelestarian
alam sangat terbatas, tetapi I believe dengan tidak menginjak apalagi metik bunga daisy di Gunung Prau adalah salah satu cara untuk melindungi ekosistem
alamiah yang ada di sini.
Setelah nongski 20 menitan, kami melanjutkan perjalanan. Kontur jalan dari camping
ground hingga ke puncak Prau relatif landai, aman deh buat lutut, apalagi sepanjang jalur ini mata akan dimanjakan dengan pemandangan bukit
Teletubbies yang cokelat kehijauan—sabana Sumba vibes banget deh.
Setengah jam
kemudian, kami tiba di puncak Gunung Prau. Mesti saya akui, pilihan kami
berkemah di jalur Wates adalah sebaik-baik pilihan. Area Patak Banteng yang
saya lihat hari itu cukup berubah dari saat terakhir saya lihat pada
tahun 2017, apalagi kalau dibandingkan pendakian pertama tahun 2015. Camping ground Patak Banteng terlihat
lebih tandus, tanahnya memadat, dan berdebu, hanya tersisa satu-dua jumput
rerumputan yang tumbuh di area ini. Di puncaknya sekarang dibangun semacam tugu dan bangku taman gitu, jalur pendakian yang dulunya bebatuan curam juga sudah disemen berbentuk tangga. Selain itu, seperti kebanyakan gunung di
Indonesia lainnya, hampir di setiap jengkal area camping ground hingga ke pos 1 terdapat sampah kecil bekas sobekan bungkus makanan
atau permen, kan sedih sampah kecil ini seolah jadi pengganti rumput ☹
Mamang Villa gagal move on |
Puncak Prau, bisa dilihat kan kondisi tanahnya agak gersang dan memadat.. |
Trek turun |
Untuk trip singkat Dieng ini tujuan kami hanya ke komplek Candi Arjuna saja, soalnya saat di jalur Patak Banteng kami sudah melihat Telaga Warna dan Kawah Sikidang dari atas, yawdah cukup lah yaa ituu~
Pemandangan Kota Wonosobo dari atas
|
Difoto gini aja udah keren kok, ga perlu sampe dipanjat-panjat |
Catatan:
- Untuk pendakian via jalur Wates harus bawa kendaraan sendiri karena tidak ada kendaraan umum yang mengantar sampai ke basecamp.
- Pihak basecamp Wates menyediakan jasa penjemputan Wonosobo-Basecamp, biayanya 300 ribu one way harga fix no tawar-tawar (waktu saya kesini tahun 2017 tarifnya juga segini, berarti belum naik). Saya ndak tau deh kalau PP kenanya berapa, kalau ada yang mau sewa bisa hubungi pihak basecamp Wates: 0838-6740-3002 (Mas Agus)
- Mulai sekarang kalau mau mendaki Gunung Prau jalur mana pun mesti bawa wadah air sendiri, gak boleh pakai botol kemasan sekali pakai lagi, jadi berdayakanlah taperwer mamah di rumah
- Selain itu sudah gak boleh lagi bawa tisu basah, harom
- Saya sangat sarankan kalau mau ke Wonosobo/daerah Jateng dsb. naik kereta/pesawat saja, sekarang kondisi jalan tol lagi gak jelas, kan horor kalau kejebak di jalan 20 jam kayak saya kemarin.
- Dari basecamp Wates ke pos 1 naik ojek saja karena bisa saving time sampai 1 jam lebih. Tarif ojeknya flat 15 ribu saja.
- Dari pos 1 ke basecamp Patak Banteng bisa naik ojek juga, tarifnya flat 15 ribu. Buat saya sih ini bukan soal kuat-kuatan jalan dari / ke bc, tapi lebih ke berbagi rejeki dan ngobrol sama warga sekitar. Oh iya rata-rata driver ojek di sini adalah petani, ngojek adalah kerja sampingan mereka saat Prau lagi ramai.
- Pokoknya mau di gunung, darat, laut, udara, jangan suka nyampah ya! Dah gitu aja
Komentar
Posting Komentar