Jelajah Kasepuhan Ciptagelar
Nama Kasepuhan Ciptagelar mungkin
belum setenar kampung adat Suku Baduy di Banten atau Kampung Naga di Garut.
Namun percayalah, kampung adat yang satu ini memiliki kejutan tersendiri. Pada
Juni dan Juli 2014 silam, saya dan 10 teman berkesempatan menginjakkan kaki di
bumi Kasepuhan Banten Kidul tersebut untuk melakukan penelitian. Perjalanan
dari Ibu Kota menuju Kasepuhan Ciptagelar menghabiskan waktu kurang lebih 12
jam, dimulai dari Stasiun Bogor,
terminal Baranangsiang, sampai ke Pelabuhan Ratu tepat jam 5 sore. Dari
Pelabuhan Ratu kami lanjutkan perjalanan dengan menyewa mobil bak terbuka yang
telah dipesan khusus via telepon beberapa hari sebelumnya. Idealnya mobil bak
terbuka dapat memuat 8 orang, tetapi dengan jumlah “kesebelasan sepak bola”,
kami harus mengalah, menekuk kaki sejauh yang kami bisa. Lepas dari Pelabuhan
Ratu, perjalan mulai terasa payah karena kondisi badan yang mulai kelelahan dan
jalur yang ekstrem. Mobil kami naik dan terus naik menyusuri perbukitan, pun
begitu, saya tidak bisa melepaskan pandangan dari pemandangan sekitar. Di atas
ketinggian perbukitan, Pantai Selatan terlihat semakin menawan ditimpa cahaya
keperakan matahari tenggelam.
Mobil terus melaju hingga
memasuki kawasan hutan Halimun Salak. Sepi. Di depan kami hanya ada jalan
setapak tak beraspal, sisi kanan-kiri jalan dipenuhi lereng dan jurang, deretan
pohon pakis raksasa menambah kesan betapa misteriusnya usia hutan itu. Matahari telah
tenggelam sempurna di ufuk barat tanpa menyisakan barang setitik cahaya. Tidak
ada penerangan selain lampu mobil dan
malam semakin pekat oleh kabut yang
turun dari sisi atas bukit, sungguh tidak mengherankan bila kawasan itu diberi
nama halimun. Perjalanan kami jadi semakin buruk karena hujan turun, walau
hanya sebentar tetapi hawa dingin semakin menjadi-jadi karena air merembes
membahasi baju kami. Ditengah peperangan menahan dingin dan lelah, alam kembali
menghibur kami saat seekor kunang-kunang terbang melintas tepat diatas kepala
kami, hal sederhana tapi sangat manis.
Tepat jam 8 malam mobil kami
sampai di depan Imah Gede, sebuah bangunan rumah besar yang menjadi tempat
berkumpul warga Ciptagelar-mungkin seperti balai desa. Ada beberapa aturan
baku yang harus ditaati bagi siapa saja yang bertamu ke Kasepuhan Ciptagelar,
yakni setiap laki-laki memakai ikat kepala, perempuan memakai bawahan kain,
tidak boleh memetik bunga/tanaman apapun yang ada di lingkungan Kasepuhan
Ciptagelar, serta meminta izin dan mengutarakan maksud tujuan mengunjungi
Kasepuhan Ciptagelar kepada Abah (sebutan untuk kepala adat Ciptagelar), saat
itu posisi Abah tengah diemban oleh Abah Ugi. Dalam 3 hal pertama kami sudah
siap, tetapi untuk meminta izin Abah Ugi kami harus sabar menanti karena
terdapat sekitar 4 rombongan lain yang juga sedang meminta izin. Sembari menunggu
giliran kami pun dipersilahkan untuk istirahat di rumah Kang Upar, salah
seorang warga yang dititahkan Abah untuk menjadi pemandu kami. Di Kasepuhan
Ciptagelar, sudah menjadi hal yang lumrah menginapkan tamu di rumah warga, soal
makan tak jadi masalah karena Imah Gede selalu menyediakan makanan bagi siapa
saja. Gratis.
Welcome to Ciptagelar |
Ciptagelar: Negara dalam Negara
Banyak versi yang menerangkan
asal-usul berdirinya kampung berusia 643 tahun itu, Abah Ugi sempat mengatakan
bahwa dahulu penduduk Ciptagelar adalah para pengikut Prabu Siliwangi yang
kemudian diperintahkan untuk berlindung di dalam Gunung Halimun Salak, entah
benar atau tidak legenda tersebut karena keberadaan Prabu Siliwangi sendiri
masih menyisakan banyak tanda tanya. Hal yang pasti dan telah saya saksikan
sendiri adalah keteraturan yang ada di kampung itu. Pembagian kerja dan
keguyuban Ciptagelar sudah sedemikian kompleks dan teratur, berpola dan
berstruktur. Abah Ugi selaku ketua adat memiliki kekuasaan yang bersifat
absolut, menyentuh hampir seluruh lini kehidupan masyarakat Ciptagelar dan
kampung sekitar, meski begitu pada praktiknya
Abah Ugi tetap mengutamakan musyawarah dalam setiap pengambilan
keputusan. Dalam menjalankan wewenangnya, Abah Ugi dibantu oleh Baris Sepuh dan Baris Kolot. Jika dianalogikan,
baris sepuh adalah “penasihat presiden”, sedangkan baris kolot adalah adalah
para “menteri” yang masing-masing membawahi “kementerian” atau rorokan dengan
tugas yang berbeda-beda, misalnya rorokan pamakayaan yakni rorokan yang
membawahi bidang pertanian. Tidak ada
pemilihan Ketua Adat di Ciptagelar, karena tampuk kekuasaan akan secara
otomatis jatuh pada anak laki-laki atau keluarga Abah Ugi.
Pagi hari di Ciptagelar |
Selain menjadi pemimpin, sosok
Abah Ugi telah menjadi role model yang dicintai oleh warga. Ketenaran Abah
Ugi dan istrinya bahkan mengalahkan Presiden RI, tengoklah ke dalam ruang tamu
warga Kasepuhan Ciptagelar, di setiap rumah pasti memajang foto Abah Ugi, Emak
Alit (istrinya), dan anaknya, entah itu foto mereka saja atau foto sang empunya
rumah yang berpose dengan Abah Ugi dan keluarga. Ada pula cerita menarik
mengenai kaum hawa di sana, Emak Alit merupakan trend setter untuk hal dandanan
dan gaya berpakaian. Suatu kali saya dan seorang teman bertanya mengapa setiap
anak perempuan di Ciptagelar memiliki bibir merah merekah dan pipi yang merona,
“Mereka memang didandani pakai lipstik, supaya mirip Emak. Mereka sendiri yang
meminta, kalau tidak didandani bisa menangis” begitu kata Anis, anak gadis Kang
Upar menerangkan kepada kami. Lagi, kampung itu membuat saya berdecak,
Ciptagelar tak ubahnya sebuah negara yang memiliki teritori dan aturannya
sendiri.
Dari Pindah Kampung sampai
“Beristri” Padi
Kasepuhan Ciptagelar memang
ajaib, selain keramah-tamahan warganya yang tidak perlu diragukan lagi, kampung
itu juga menyuguhkan sejumlah kisah unik, salah satu yang paling membuat tak
habis pikir adalah pindah kampung. 14 tahun yang lalu, Abah Anom, ayah dari
ketua adat yang sekarang, menerima wangsit lewat mimpi untuk memindahkan pusat
pemerintahan dari Kasepuhan di Desa Ciptarasa ke Desa Sirnarasa yang berjarak
12 km. Maka, kepindahan dilakukan dengan melewati kawasan Hutan Suci, yakni
jalan setapak di dalam rimba yang menjadi penghubung terdekat Desa Ciptarasa
dan Sirnarasa. Kemudian, nama Desa Sirnarasa diubah menjadi Ciptagelar seperti
yang kita kenal saat ini. Bukan hanya kebudayaan dan manusianya, Kasepuhan
Ciptagelar juga memiliki arsitektur bangunan yang khas, deretan Leuit (lumbung
padi) dengan bentuk sangat ikonik, rumah dari dinding anyaman bambu yang sederhana
dan bersahaja, serta petak-petak sawah yang dipagari pepohonan hutan Halimun
menghasilkan komposisi alam yang indah. Keajaiban lain dari kampung itu adalah
masuknya listrik dan teknologi. Kasepuhan Ciptagelar sesungguhnya terisolir
dari aliran listrik PLN, letak yang jauh di kolong langit Gunung Halimun Salak
serta kontur alam yang curam membuat “tiang PLN” tak mampu menjangkau sampai ke
sana. Namun, Abah Ugi beserta warganya tidak habis akal, mereka berswadaya
membangun turbin penghasil listrik dengan memanfaatkan aliran sungai di bawah
bukit, untuk mendapatkan turbin tersebut Abah Ugi membelinya dari hasil urunan
warga serta memperoleh bantuan dari sebuah yayasan di Jepang, bukan main! Meski
berskala kecil, ini adalah pembuktian kepiawaian petinggi kampung ini dalam
bernegosiasi. Selain terisolir dari listrik PLN, di Ciptagelar juga akan sulit
mendapatkan sinyal seluler dan televisi, maka dari itu Abah Ugi menginisasi
berdirinya saluran TV dan radio komunitas yang diberi nama Ciga TV dan Radio
Swara Ciptagelar, rumah (kantor) Ciga TV dan Radio Swara Ciptagelar berada
dalam satu kawasan dengan Imah Gede. Saya sempat tidak menyangka akan menemukan
hal seperti itu di pedalaman hutan Halimun Salak. Hal yang semakin membuat saya
kagum adalah proses pengelolaan Ciga TV, Abah Ugi mengamanahkan Kang Yoyo untuk
mengelola Ciga TV, kemudian Kang Yoyo melatih muda-mudi Ciptagelar untuk
mengambil gambar, mengedit video, dan melakukan kegiatan broadcasting lainnya.
Dalam bayangan saya muda-mudi tersebut umurnya tidak beda jauh dari saya,
tetapi saat diperkenalkan pada “muda-mudi” tersebut ternyata mereka adalah
bocah usia 7-13 tahun, double strike!
Berbicara tentang Ciptagelar
tidak akan lengkap tanpa membicarakan padinya. Ya, masyarakat Ciptagelar dan
padi adalah satu kesatuan, “Kalau di sini, makan harus dihabiskan, jangan
menyisakan nasi di piring. Padi bagi kami sudah seperti istri sendiri, padi itu
titisan Nyi Pohaci (Dewi Padi)” begitu ucap Kang Upar memberikan briefing pada
kami tentang seluk-beluk Kasepuhan Ciptagelar, “Selain itu, disini tidak boleh
menjual beras, silakan mencari uang dengan menjual sayur-mayur atau daging,
tapi jangan jual padi, kan padi itu seperti istri, ya mana mungkin istri kita
dijual” seloroh Kang Upar. Masih
berdasarkan penjelasan Kang Upar, masa taman padi di Ciptagelar ditentukan
dengan melihat rasi bintang kidang dan bintang kerti. Setelah panen padi-padi
tersebut akan disimpan di dalam leuit masing-masing keluarga, lalu disisihkan
pula untuk Leuit Si Jimat (lumbung komunal) sebagai cadangan apabila terjadi
musibah seperti gagal panen. Dalam proses mengolah padi hingga menjadi beras
pun dilakukan dengan berguyub: setiap warga bahu-membahu menumbuk padi milik
satu keluarga lalu dilanjutkan dengan keluarga yang lain, dan begitu seterusnya.
“Setiap mengawali dan mengakhiri proses penanaman padi, pasti ada ritualnya,
seperti Selametan, Ngunjal, atau Seren Taun, sayangnya kalian ke sini sekarang,
padahal sekitar bulan Agustus nanti ada Seren Taun, saat itulah padi-padi yang
dipanen akan disimpan dalam Leuit Si Jimat” ujar Kang Upar melengkapi
briefing-nya malam itu. Namun, saya dan rombongan sama sekali tidak kecewa
meski kami tidak datang saat Seren Taun, kami merasa sudah cukup beruntung
karena datang pada saat perayaan Ngabukti Pari Anyar, yakni memasak hasil panen
atau sederhananya acara masak-masak.
Perjalanan Jiwa dan Raga
Bagi saya pribadi perjalan di
Ciptagelar memiliki kesan yang mendalam, bukan hanya karena masyarakat maupun
alamnya; Ciptagelar adalah tempat yang sempurna untuk menenangkan diri dan
berkontemplasi. Izinkan saya sedikit bercerita, kala itu di awal tahun 2014
jiwa saya sedang berada dalam keadaan tidak baik-baik saja. Hari kedua di
Ciptagelar, teman-teman mengajak untuk bermain ke kebun jahe Abah Ugi yang
letaknya tidak seberapa jauh dari pusat kampung. Kebun itu terletak di atas
bukit tepat disamping pusat kampung, dan dari atas kebun jahe Abah terlihat
jelas Kasepuhan Ciptagelar beserta bentang alam di sekitarnya. Di sebelah
selatan kebun saya melihat jauh ke ujung, “garis itu La, pertemuan antara
langit biru dan perbukitan itu, itulah garis horizon” kata seorang teman.
Kagum. Hanya itu kata yang terlintas di otak saya melihat garis yang menjadi
titik temu antara langit dan bumi. Kemudian saya lemparkan lagi pandangan ke
sebelah barat, di bawah bukit itu ada
selarik garis yang membelah bukit tempat kami berdiri dan bukit yang ada di
seberang, semakin terpukau saya ketika mengetahui bahwa garis itu adalah
sungai, bukit yang kami pijak adalah Jawa Barat, dan bukit yang tepat berada di
seberang sungai tersebut adalah Lebak, Banten. Pagi itu, dengan kesempurnaan
alam sedemikian rupa, saya mampu berpikir jernih untuk menemukan jawaban dari
kekhawatiran saya pada hidup.
Disamping itu, karena perjalanan panjang dan melelahkan untuk bisa sampai ke Cipatgelar, saya dan teman-teman menjadi begitu cair, Ciptagelar telah mengeluarkan sisi paling humanis kami. Bagi saya yang hidup dan besar di tanah Sumatera, Ciptagelar adalah potret sempurna yang mampu menjadi perwajahan alam, manusia, dan kebudayaan Sunda.
perbukitan di seberang itu adalah Lebak-Banten |
Disamping itu, karena perjalanan panjang dan melelahkan untuk bisa sampai ke Cipatgelar, saya dan teman-teman menjadi begitu cair, Ciptagelar telah mengeluarkan sisi paling humanis kami. Bagi saya yang hidup dan besar di tanah Sumatera, Ciptagelar adalah potret sempurna yang mampu menjadi perwajahan alam, manusia, dan kebudayaan Sunda.
Pulang
Ada 2 jalur yang dapat dipilih
untuk menuju dan kembali dari Kasepuhan Ciptagelar, yakni lewat jalur Cisolok
dan jalur Ciptarasa. Saya mencoba dua jalur yang berbeda pada saat pulang di
bulan Juni dan Juli. Pada bulan Juni, kami mencoba jalur Ciptarasa, yang
berarti kami melewati Hutan Suci. Perjalanan dimulai dari gerbang ujung Kampung
Ciptagelar. Untuk memasuki Hutan Suci kita akan melintasi sebuah jembatan kayu,
setelah itu dimulailah perjalanan sepanjang 12 km paling ekstrem yang pernah
saya lalui hingga detik ini. Tanjakan demi tanjangan harus dilalui, saya tidak
benar-benar yakin berapa derajat kemiringan tanjakan tersebut, tetapi sepanjang
ingatan saya melalui tanjakan tersebut seperti menaiki roller coaster, sangat
miring. Mobil kami sempat beberapa kali jeblos ke dalam lumpur atau terjebak
diantara bebatuan, badan kami terguncang kesana-kemari hingga harus berpegangan
kuat-kuat pada sisi mobil bak. Hutan Suci dipenuhi dengan pohon-pohon tua
raksasa, tidak berlebih saya mengatakan begitu; kami jumpai beberapa pohon yang
agaknya tidak bisa dipeluk karena diameternya yang sangat lebar. Selain
pepohonan raksasa, Hutan Suci juga dipenuhi lumut yang melapisi batang-ranting
pepohonan, kami perkirakan pula ada pohon yang tingginya mencapai 30 meter.
Menurut cerita pak supir, hutan tersebut dinamai Hutan Suci karena menjadi
jalur yang dilalui dalam ritual Ngunjal, yakni memikul padi dari Desa Ciptarasa
menuju Ciptagelar dengan berjalan kaki mulai tengah malam hingga subuh, tanpa
penerangan. Sisa perjalanan tidak terasa begitu berat karena jalur paling sulit
telah kami lewati, dari jalur Ciptarasa kita akan bermuara di pintu gerbang
Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sedangkan pada bulan Juli kami memilih
pulang melewati jalur Cisolok, terlalu beresiko membawa full team melewati
jalur Hutan Suci-tujuan kami yang penting semua harus pulang dalam kondisi
sehat, tidak kurang suatu apapun. Perjalanan lewat jalur Cisolok akan bermuara
di perbatasan Jawa Barat dan Lebak Banten. Akhirnya kami sampai di stasiun
Bogor tepat jam 8 malam, menatap kembali kelap-kelip lampu jalan, berjibaku
dengan kebisingan knalpot kendaraan menuju Ibu Kota. Meski melelahkan dan jauh
dari rasa nyaman, pejalanan menuju Ciptagelar selalu jadi petualang hebat yang
tidak pernah membosankan untuk dikisahkan kembali.
Komentar
Posting Komentar