Berimajinasi Mendaki Gunung Fuji
Jepang adalah salah satu negara
yang membersamai kehidupan saya sejak kanak-kanak sampai jadi mba-mba. Dari kartun
Chibi Maruko setiap minggu pagi, tamagochi yang saya rawat seperti merawat adik
sendiri, sampai kisah “Nipon Tjahaja Asia” di buku mata pelajaran Sejarah SMA;
Jepang secara disadari atau tidak selalu hadir mewarnai hari-hari saya. Apakah
saya penasaran dengan Jepang? Pasti. Adakah impian untuk travelling ke Jepang?
Tentu. Hanya saja sampai saat ini saya belum memperoleh kesempatan untuk berkunjung
ke negeri bunga Sakura itu secara langsung. Eits.. tetapi itu tidak masalah,
saya masih bisa berimajinasi jalan-jalan ke Jepang; sesuatu yang menyenangkan
dan gratis. Walaupun ini hanya imajinasi, tapi saya tetap mengumpulkan informasi real tentang pendakian ke Gunung Fuji yang sesungguhnya.
Dari sekian banyak destinasi
amazing di Jepang, ada satu tempat yang begitu ingin saya tapaki: Puncak Gunung
Fuji. Maka dari itu, pada tulisan kali ini saya mau berimajinasi seandainya
saya melakukan pendakian ke Gunung Fuji. Melakukan pendakian ke Gunung Fuji
tidak bisa sembarang waktu, karena Gunung Fuji hanya membuka izin pendakian
resmi pada awal Juli sampai pertengahan September setiap tahunnya. Namun
lupakan soal aturan, karena ini adalah imajinasi. Baiklah, hari pertama saya menumpangi pesawat dari Indonesia menuju Bandara Narita, sebelum melakukan perjalanan saya telah
booking motel yang nyaman dan sederhana di Kota Tokyo. penawaran motel murah itu dapat
saya temukan di sejumlah website seperti H*navi atau H*S Travel (silakan googling). Oke lanjut. Hari pertama akan saya habiskan dengan
belanja logistik untuk keperluan pendakian, berjalan kaki santai melihat-lihat
Kota Tokyo, dan istirahat.
Fujiyama |
Pada hari kedua, pagi-pagi sekali saya memulai
perjalanan menuju Prefektur Shizuoka dengan menggunakan kereta, saya akan
mendaki Gunung Fuji melalui jalur yang sudah umum: pendakian pada rute Yoshida.
Maka, moda transportasi yang saya gunakan adalah kereta ekspress Kaiji atau
Azusa dari stasiun Shinjuku menuju stasiun Kawaguchiko. Dari stasiun Kawaguchiko, saya
akan menggunakan jasa mobil antar-jemput menuju rute Yoshida. Berdasarkan informasi
yang saya baca, orang-orang akan melakukan pendakian dimulai dari Mt. Fuji 5th
Subaru Station alias pos 5. Di pos 5, saya akan bertemu dengan sejumlah pendaki
lain yang berdatangan dari berbagai belahan dunia, pendakian amazing itu pun
dimulai.
Pos 5 Gunung Fuji nih.. |
Di pos 5 saya mengisi tenaga dengan santap siang, melakukan pemanas, memeriksa kembali persediaan logistik dan barang bawaan pribadi lainnya, serta menguatkan niat untuk memulai pendakian. Langkah pertama diayunkan, pendakian dimulai! Target saya adalah mencapai Original 8th Station Tomoe-kan atau pos 8. Untuk menuju pos 8 akan memakan waktu selama 4 jam pendakian. Membayangkan tanah dan bentang alam yang mengiringi pendakian rasanya 4 jam itu tak akan menjemukan. Di setiap pemberhentian atau pos kecil saya berpapasan dengan para pendaki lain, saling sapa dan berbincang ringan, atau mungkin saling berbagi air minum. Ada hal unik (atau konyol?) yang sangat ingin saya lakukan saat di jalur pendakian, yaitu bilang “mari mas/mba!” kepada pendaki lain, walaupun saya yakin mereka tidak akan mengerti artinya, kapan lagi pendakian Gunung Fuji jadi rasa Indonesia.
Antrean pendaki Gunung Fuji |
Setelah 4 jam pendakian yang melelahkan, sekitar pukul 4 sore saya tiba di pos 8. Mengapa pos 8? Karena di pos ini terdapat penginapan, bayangkan: ada penginapan di jalur pendakian! Melalui online booking HAnavi saya sudah mengurus segala keperluan penginapan, maka saya tidak perlu was-was kehabisan kamar lagi; satu kamar penginapan sesuai budget sudah tersedia untuk saya. Saya tinggal “check in” dan masuk ke kamar dengan bentuk sharing room itu. Setelah bersih-bersih diri, saya mempersiapkan makan malam dan berbaur dengan pendaki lain, menghabiskan satu-dua jam untuk berbagi cerita tentang pengalaman mendaki dan negara masing-masing. Pukul 9 malam saya istirahat di pembaringan, karena pada pukul 3 dini hari saya dan para pendaki lainnya di penginapan akan mulai melakukan “summit attack”.
Di hari ketiga, alarm handphone saya berbunyi
tepat pukul 3 dini hari. Saya sudah terjaga, mempersiapkan bawaan ringan dan
meninggalkan bawaan berat lainnya di atas kasur. Udara dingin menyengat kulit,
tetapi semangat menyongsong sunrise dari puncak tertinggi di Jepang membuat
segala rintangan jadi terasa ringan. Dengan penuh kehati-hatian saya menanjaki
bebatuan gembur di plawangan Gunung Fuji, headlamp jadi satu-satunya sumber
cahaya, kelap-kelip bersama headlamp pendaki lainnya. Setiap tanjakan diiringi
oleh tarikan nafas panjang, dengan ketinggian yang sudah melebihi 3400 mdpl
oksigen mulai terasa sulit untuk dihirup. Kanan-kiri sepintas dapat saya lihat
kristal es yang membentuk stalaktit pada bebatuan Gunung Fuji, sesuatu yang
tidak pernah saya temukan di negeri tropis seperti Indonesia. Tanah yang saya pijak
semakin berpasir, kemiringannya pun semakin terjal, pada sisi jalur pendakian
ada rantai besi yang jadi satu-satunya pengaman. Langit mulai kemerahan tanda
matahari akan segera muncul dari peraduannya. Angin puncak berhembus semakin
kencang dan dingin, benar-benar ciri khas angin puncak! Saya merapatkan jaket,
meminimalisir angin puncak menyentuh langsung kulit, dingin. 1,5 jam waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai puncak Gunung Fuji, dan sampailah saya di titik 3776
mdpl ini! Saya berebut posisi dengan sejumlah pendaki lainnya, mencari titik
ternyaman untuk menghitung mundur terbitnya matahari di “negeri matahari
terbit”. Sambil duduk manis, saya menikmati semesta Gunung Fuji ditemani
cokelat panas yang saya simpan dalam termos. Pendar matahari pagi itu diawali
dengan blue hour yang sempurna, langit cerah ceria tanpa awan tebal membuat
kami dapat melihat dengan jelas gradasi warna yang ditimbulkan cahaya matahari,
semakin sempurna dan terus sempurna hingga matahari merekah dan langit berubah
jadi terang. Dari ketinggian itu terlihat jelas hamparan awan di badan gunung
yang menutupi kota di bawah sana. Terlihat pula segaris tipis pesisir pantai Tagonoura,
semua serba indah!
Puas menikmati setiap sudut yang
terjangkau mata di puncak Gunung Fuji, saya kembali melakukan perjalanan turun.
Tak lupa, saya ambil segenggam tanah puncak Gunung Fuji dan memasukkannya ke
dalam botol sebagai kenang-kenangan, itu sudah jadi kebiasaan saya dalam setiap
perjalanan. Seperti pada biasanya, perjalanan turun selalu lebih cepat dan
mudah. Selang satu jam saya sudah kembali ke pos 8, saya segera mempersiapkan
brunch, maklum perut sudah protes minta diisi. Setelah menunaikan hak perut,
saya berkemas dan pamit kepada pemilik penginapan, tak lupa mengambil foto
bersama. Cukup 3 jam saja dan saya sudah kembali pada titik awal pendakian
yakni pos 5, di sini saya sempatkan membeli cinderamata yang banyak dijual di pos 5.
Malam hari ketiga
ini saya memilih untuk kembali ke Tokyo. Mobil sewaan mengantar saya ke stasiun
Kawaguchiko. Selepas pendakian saya tentu butuh istirahat dan sarana yang layak
untuk membersihkan diri. Malamnya, setelah bersih-bersih dan merebahkan badan,
saya keluar untuk mencari camilan khas Jepang di toko swalayan. kemudian saya
kembali ke kamar hotel, menyalakan televisi dan menonton acara TV apapun meski
saya tidak paham bahasanya, tak apa yang penting rileks!
Hari keempat, saya akan fokus
mengunjungi tempat bersejarah seperti museum, kuil, atau istana. Ya, selain mendaki gunung saya
juga suka hal-hal yang berbau sejarah dan budaya. Saya akan mengunjungi Kuil
Meiji di pagi hari, kemudian menuju Museum Nasional Tokyo di siang hari, tak
lupa mampir ke Istana Kekaisaran Tokyo. Pada sore hari mungkin saya akan mampir
dan merasakan jadi pejalan kaki di antara kerumunan para penyeberang jalan di
Shibuya, dan menghabiskan malam di sekitar Tokyo Tower.
Dan sampailah pada hari kelima, hari
ini saya akan kembali ke Indonesia. Saya sengaja memilih penerbangan malam
supaya tidak terburu-buru. Sesampainya di Bandara Narita, saya tak lupa untuk berfoto di bandara yang selama ini hanya saya
kenal lewat papan permainan monopoli saja. Selesai! Itulah imajinasi tingkat
tinggi saya apabila suatu hari nanti saya bisa ke Jepang. Duh, hanya dengan
membayangkannya saja saya sudah senyum-senyum sendiri, hihi.. Memang sih
itinerary-nya serba ngawur dan destinasi tujuannya kurang lengkap; namanya juga
imajinasi. Semoga suatu saat saya bisa berkunjung ke Jepang beneran J
Ramainya jalanan di Shibuya! |
Komentar
Posting Komentar