Apa Enaknya Naik Gunung? Mending Nggak Usah


Bismillah.
Saya tidak sedang bercanda loh dengan judul di atas. Tulisan ini memang saya bagikan untuk orang-orang yang belum pernah mendaki gunung dan ingin coba mendaki gunung. Saya sendiri masih baru banget mencintai pendakian, sebelumnya saya memang rajin ngebolang tapi tidak ke gunung, biasanya sih ke pantai, kampung adat, atau wisata alam tapi yang tidak seberat mendaki gunung. Tapi kenapa songong banget sampai buat tulisan seperti ini? Nah berhubung saya newbie, saya mau berbagi pengalaman nih bagi para calon newbie lainnya yang semoga aja masih galau antara mau naik gunung atau nggak. Okay then, let’s start (but I warn you guys: no offense or just click the red button up there) 

1. Persiapan fisiknya capek


Ini nih, buat yang tidak terbiasa olah raga kamu harus tahu bahwa olah raga itu sangat penting dalam persiapan pendakian. Apakah cukup hanya jogging tiap hari selama satu minggu kayak di film 5 cm? Menurut saya: Big No. Pengalaman pertama saya ke Prau hanya lari 1 minggu, hasilnya ngos-ngosan. Lalu, yang kedua saat persiapan ke Sindoro, saya tambah lagi jadi 3x seminggu selama satu bulan, hasilnya nafas saya mulai teratur dan tidak sengos-ngosan saat ke Prau. Dan yang terbaru saat perjalanan ke Slamet, saya lari 4x seminggu selama 2 bulan, paling bolong-bolongnya hanya 1-2 hari karena urusan skripsi. Hasilnya? More than target. Berdasarkan hasil eksperimen tersebut, intensitas olah raga yang dilakukan sangat berpengaruh terhadap kekuatan fisik saat pendakian, terutama soal pernafasan. Absolutely it’s your choice to  have a workout beyond your comfort zone or not, tapi ingat kalau fisik kamu lemah saat pendakian yang sakit bukan hanya kamu, tapi lutut-lutut tim sependakianmu, intinya kamu berpotensi merepotkan banyak orang. Yakin bisa rajin olahraga untuk persiapan pendakian? Harus olah raga yaa.



2. Kalau cuma ikut-ikutan, percayalah penyesalan itu sedikit-banyak akan muncul

Saat rasa capek itu datang akan terlintas di pikiranmu kalimat “ngapain sih gue ke sini?!”. Coba dicicip dulu naik tangga di gedung 4 lantai, nah mendaki itu jauh lebih tinggi dan jauh lebih berat dari itu. Belum lagi kamu akan bawa tas yang segede gaban. Ketika sudah di pertengahan jalan tuh rasanya mau turun udah tanggung, mau naik sakitnya yaampun...nyesel deh, tau gini mending jalan-jalannya ke Pantai Ancol atau Dufan aja, puas main terus pulang deh ke rumah, itu jauh lebih aman dan nyaman. Intinya, coba dilihat lagi niat mendaki gunungmu itu buat siapa? Buat teman karena semua itu atas nama pertemanan? Yakin kalau sudah capek keringatan muka gak karuan masih ingat teman? Nah kalau niatmu belum kuat, mending ditunda dulu, dari pada kaki mendaki tapi hati meratap, yang ada pendakianmu malah jadi hambar.

3. Namanya alam ya tetap ada sisi liarnya

Foto-foto para pendaki di IG bagus-bagus ya? Iya itu waktu lagi bagusnya aja, di belakangnya mah banyak cerita. Salah kalau kamu sangka bahwa pendakian sekarang lagi tren lalu mendaki itu jadi semudah main ke Kebun Raya Bogor. Gunung tetap saja alam bebas dengan karakter yang sebagaimana sering kita dengar waktu masih kecil: dingin, gelap, dan semua tentang cara bertahan hidup a la perkemahan pramuka ada disini. Badai angin dan hujan, ada hewan-hewan liar yang bisa saja datang menghampiri, krisis air bersih: semua itu nggak tabu. Jadi, jangan terlalu menganggap enteng hanya karena foto-foto yang kamu lihat pada bagus-bagus banget. 

4.  Jauh dari kata nyaman

Pasti ini mah. Memang setidak nyaman apa sih? Hmm buat saya hal pertama yang paling tidak nyaman adalah soal sanitasi, paling menyebalkan ketika melihat ranjau, what on earth..! ini ulah manusia-manusia yang sok jadi pecinta alam tapi tindakannya sama sekali nggak mencerminkan cinta alam, ini benar-benar buat nggak nyaman (ps: kalau kamu jadi mendaki jangan ditiru ya kelakuan para penghasil ranjau itu). Kedua, dinginnya gunung membuat saya nggak bisa tidur. Setelah mendaki selama berjam-jam, tubuh butuh istirahat untuk mulai pendakian ke puncak pada subuh hari, tapi ketika sedang butuh-butuhnya istirahat udara dingin malah membuat mata nggak bisa mejam dan tubuh menggigil, sangat tidak nyaman, tapi ini subjektif sih karena ada orang yang tahan banting dingin. Ketiga, makanannya mengingatkan saya pada pelantikan pramuka atau paskibra zaman SMA, serba apa adanya dan mau nggak mau harus dimakan, kalau nggak makan sumber energinya dari mana nona... Sudah ah saya sebutkan tiga saja, yang penting sudah dapat gambaran kalau mendaki itu tidak senyaman yang dibayangkan. Selama kamu masih berat keluar dari zona nyaman, coba dipikir ulang rencana mendaki gunung, jangan sampai yang nanti keluar dari lisanmu sepanjang pendakian adalah keluhan, keluhan, dan keluhan. Bisa jadi sederhana untukmu, tapi sangat menjatuhkan semangat teman-teman sependakianmu.

5. Kemungkinan buruk itu selalu ada: tersesat, terpisah dari tim, cedera, atau bahkan *sensor*

Be wise, sebelum mendaki coba tanya pada diri sendiri apakah sudah ada pengetahuan dasar tentang survival? Walaupun kamu perginya sama teman yang anggaplah sudah expert sekali pun, coba tetap pertimbangkan kemungkinan-kemungkinan buruk, walau maksudnya bukan suudzan juga sih. Jangan terlalu mengandalkan orang lain, perkaya dirimu sendiri dengan pengetahuan, cari info sana-sini terutama kalau memang tidak tergabung dalam organisasi pencinta alam yang notabenenya sudah melewati pelatihan dasar termasuk soal survival. Sekali lagi, sebelum mendaki tanya pada diri sendiri sudah sejauh mana informasi yang kamu peroleh tentang gunung yang akan kamu daki? Bukan mau nakut-nakutin, tapi kalau kemungkinan terburuk itu terjadi, kamu bisa apa untuk tetap pulang ke rumah dengan selamat? 

6.Kalau masih nggak ngerti cara membuang sampah, mending main gadget aja deh di kamar

Nah ini nih yang paling “ngegemesin”, sepanjang saya melakukan pendakian selalu saja melihat ada pendaki yang tanpa rasa bersalah buang sampah sembarangan macam gunung itu punya moyangnya saja. Nah, dari pada menilai orang, coba kita sama-sama berkaca. Alhamdulillah kelakuan membuang sampah sembarangan itu telah amat-sangat lama sekali saya tinggalkan, selalu ada slot kecil dalam tas saya yang berfungsi sebagai penampungan sampah sementara, tapi saya yakin yang saya lakukan itu hanya bentuk paling sederhana, saya belum diet kantong plastik atau melakukan hal-hal besar lainnya. Kembali lagi, namanya kebiasaan ya tidak ada yang instan, kalau dalam keseharian kamu belum seperti hal paling sederhana paling tidak seperti yang saya lakukan, maka ada kemungkinan kamu termasuk golongan perusak kelestarian gunung yang akan kamu daki. Percayalah, saat kamu buang sampah sembarangan di gunung, ada sumpah serapah dan kekesalan pendaki lain yang mengiringi perbuatanmu, ya menurut saya sih itu salah satu bentuk balasan paling langsung yang diterima perusak alam, mau didoakan yang buruk-buruk? Nah makanya jangan berlaku buruk pula, bukan hanya sama manusia tapi juga sama alam. Kalau tabiat hobi buang sampah sembarang itu masih melekat pada diri, please, batalkan dulu rencana mendaki itu.

Itulah hasil sharing session dari saya, bukannya bikin semangat malah bikin dongkol ya? Nggak apa-apa, karena kalau kamu dongkol berarti kamu belum siap. Justru kalau kamu tidak dongkol bacanya, selamat! Kamu bisa coba lakukan pendakian pertamamu, pesan saya jaga diri dan alam baik-baik, selalu luruskan niat untuk apa dan siapa kamu mendaki, utamakan keselamatan dibanding puncak gunung, dan...salam lestari :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia