Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Alhamdulillah.
Akhirnya salah satu impian besar tercapai: mendaki Gunung Rinjani! Gunung paling emosional buat saya. Tiga tahun yang lalu saya hampir berangkat ke Lombok tetapi ketika sudah tiba di bandara, tinggal check in doang loh, batal berangkat.. Hancur hati adek bang. Sejak itu saya memendam rindu berkali lipat pada Lombok dan Rinjani, sampai bela-belain mulai mendaki gunung untuk latihan supaya bisa menggapai puncak Rinjani. Dan sekali lagi alhamdulillah, tercapai juga.

Finally Rinjani 3.726 mdpl!!

Jadi begini (terus begitu, haha..) pendakian kece ini saya lakukan pada tanggal 24-28 April 2017. Ada 6 orang yang membersamai perjalanan saya, mari saya perkenalkan. Pertama adalah Ela, si gadis pujangga cinta asli NTB, dia jadi bandar di perjalanan ini, mulai dari transportasi, akomodasi, makan saya ditanggung Ela (sungkem sama Ela). Kedua adalah Nia, si ukhti-ukhti soleha siap nikah idaman para pria teman SMA-nya Ela, saya baru mengenalnya di pendakian ini. Ketiga Bang Awan, haha sejujurnya saya dan Ela tidak kenal dia, lalu bagaimana bisa ikut dalam tim? Pendakian ini tidak dimulai dengan mudah, hingga H-7 keberangkatan anggota tim belum fix alias baru saya , Ela, dan Nia yang fix akan mendaki. Maka saya usaha cari barengan lewat instagram hingga akhirnya Bang Awan mau join. Kemudian, ada  Paman Suparman alias Tuaq Man, pamannya Ela yang super kocak, nggak pernah kehabisan ide untuk guyon sepanjang pendakian. Lalu ada Evan, si adik SMP keponakan Tuaq Man yang baru pertama kali mendaki, tidak habis pikir sama nih bocah, bisa-bisanya ikut mendaki Rinjani padahal hari Selasa (2 Mei 2017) dia mau UN! Dan terakhir ada Heru, sepupu Ela yang ikut menjemput saya di Lombok International Airport (LIA), kocaknya si Heru ini belum pernah naik gunung dan baru diajak ikut dalam tim ketika menjemput saya di bandara, Yaa Lord terangkanlah~

Full team nih! (ki-ka) Heru, Evan, Bang Awan, Ela, Saya, Tuaq Man, Nia
Dari komposisi tim ini sudah tergambar sewarna-warni apa tim kami, dari segi umur, pengalaman mendaki, tingkat kebaperan, tingkat persiapan fisik: kami sangat berbeda dalam semua kecuali dalam cinta.  Lanjut..

Perjalanan saya mulai dari Jekardah naik pesawat Citilink di Bandara HLP, untuk harga tiket saya lupa tepatnya berapa, kalau tidak salah Rp 1,25 jt round-trip dengan maskapai yang sama. Tanggal 23 April 2017, pesawat mengantarkan saya ke LIA.

Bonus pemandangan saat di pesawat, papasan sama pesawat jet  loh!
Dari bandara saja saya sudah lompat-lompat kegirangan dan senyum-senyum sendiri macam orang tak waras saking bahagianya. Pagi itu langit cerah, Ela dan Heru menjemput saya yang sudah setengah jam menunggu mereka di kedai kopi, duduk manis sambil menyeruput kopi dengan senyum yang  menggantung di bibir (mana ndak gila, minum kopi sambil senyum-senyum coba!). Keluar dari bandara, mata saya menatap lekat tiap jengkal tanah yang kami lalui, jangan sampai ada yang terlewat dari pandangan. Kami tidak langsung menuju rumah Ela, pertama kami harus ke Toko Matahari, toko kelontongan yang populer se-Kota Praya, untuk membeli segala kebutuhan logistik pendakian, mulai dari minuman, sosis, dan yang terpenting: gas. Selesai belanja, mobil meluncur ke rumah Ela di daerah Kopang, Lombok Tengah, yang ternyata tak seberapa jauh dari bandara. Kemudian hari berlanjut seperti biasa, makan, istirahat, malamnya menjemput Bang Awan, ditutup dengan urusan packing hingga tengah malam.

Hari Pertama: Senin, 24 April 2017

Apa yang lebih membuat seorang pecinta bahagia selain saat bertemu dengan yang dicinta? Saya tidak bisa untuk tidak tersenyum, pagi itu setelah sarapan kami berangkat dari rumah Ela menggunakan mobil bak terbuka. Menghabiskan waktu hampir 3 jam tanpa merasa bosan karena di kanan-kiri jalan saya dapat melihat Lombok lebih dekat, sedang puncak Rinjani terlihat sangat jelas di kejauhan ufuk. Ini toh tanah yang membuat saya hampir patah arang tiga tahun yang lalu.

Pukul 11.00 siang kami sampai di basecamp Sembalun, membayar biaya simaksi sambil menyimak penjelasan petugas basecamp dengan takzim. Dari basecamp kami masih lagi harus naik mobil menuju gerbang pendakian. Setelah berdoa bersama, pendakian pun dimulai.

Seperti  yang telah banyak dikisahkan oleh para pendaki tentang Sembalun, dari gerbang pendakian Sembalun kita akan disambut padang sabana yang luas membentang sepanjang jalan kenangan (ah Lala lebay, jangan didengerin). Trek dari gerbang Sembalun hingga Pos 2 cenderung sama, jalur yang datar mendominasi pendakian sehingga kita bisa lebih intens menikmati hamparan bukit menghijau. Hanya saja, jalur ini membuat perjalanan terasa lebih lama, lambat, seperti tidak sampai-sampai. Saat di jalur saya berpapasan dengan seorang Bapak penduduk sekitar yang membawa motor. Tidak kurang dari 3 kali Bapak itu menawarkan saya tumpangan sampai ke batas vegetasi hutan Sembalun, duh Gusti kalau nggak ingat sama anggota tim yang lain, sudah dari tadi deh saya terima tumpangannya Pak, huhu..

Jalur Sembalun, ya begitu bukit teletubbies semua...

Lepas dari bukit teletubbies, sampailah kami ke Pos 1. Setelah sholat zuhur, kami lanjutkan lagi marathon hingga ke Pos 2. Dari Pos 2 menuju Pos 3 jalur mulai sedikit menanjak. Dalam perjalanan ini saya tidak membuat rencana apapun, sepenuhnya saya percayakan soal itinerary pada Ela, Bang Awan, dan Tuaq Man. Dan seperti yang telah mereka rencanakan, kami akan bermalam di Pos 3. Sampai di Pos 3, mata kami menyisir area camping ground Pos 3 yang tidak begitu luas, sebelah kiri pos berbatasan dengan tebing tinggi, sementara di ujung sebelah kanan ada jurang yang menganga, kami mendirikan tenda agak menepi dekat jurang, sengaja memang karena saya dan Ela tidak begitu suka keramaian.

Malam mulai turun, Tuaq  Man, Nia, Heru, dan Evan bahu-membahu menyalakan api unggun (yang pada akhirnya tidak nyala-nyala). Sementara saya, Ela dan Bang Awan  bersiap mengeluarkan bahan logistik untuk santap malam. Dan.. jeng.. jeng.. malapetaka soal logistik mulai terjadi, Ela lupa bawa sayur sop-sopan dan garam. (La jika kamu membaca tulisan ini..please deh Ela ente udah dua kali naik Rinjani kagak bawa garam mulu, mentang-mentang kenyang makan asam garam kehidupan gitu??) Bang Awan menggerutu, Ela diam antara kesal atau menyesal, saya duduk dipojokan menahan dongkol meski air muka tidak dapat berbohong.

"Oke, mari kita berpikir positif", bisik hati saya.

Kami bongkar-bongkar lagi kantong logistik, Yap! Alhamdulillah ada bumbu tumis r*cik dan bumbu indomi*, makanan kami tidak akan hambar. Selesai makan, saya dan Ela duduk kedinginan manis di luar tenda, menyaksikan pesta lautan bintang dan galaksi bima sakti yang sudah bermunculan meski belum dini hari, puas duduk-duduk kami masuk ke dalam tenda, melanjutkan lamunan masing-masing dalam mimpi.

Tenda kami di Pos 3, benar-benar sendirian di pojokan

Hari Kedua: Selasa, 25 April 2017
Menyambut pagi dengan secangkir cokelat panas sambil menyaksikan sunrise dan puncak Gunung Rinjani, apalagi yang lebih indah dari ini?

Kata teman-teman disini saya kayak penampakan, hehe
Pagi ini kami bersih-bersih diri ke mata air di dekat tebing Pos 3. Volume mata air di sini sangat kecil, meski begitu airnya bersih dan dapat langsung diminum. Selesai dengan urusan air dan bersih-bersih diri, kami gulung tenda, mengencangkan sabuk keril, dan mulai mendaki lagi. Hari ini kami targetkan untuk sampai ke Plawangan Sembalun pukul 16.00 sore, dan tantangan terbesarnya ada melewati sang legenda, Si Bukit Penyesalan.

"Kita akan lewat Bukit Penyesalan, siap-siap pokoknya" kata Tuaq Man.

Sedikit-banyak ucapan itu berpengaruh pada mental saya. Memang telah banyak saya dengar kisah tentang Bukit Penyesalan ini. Menurut kabar burung, penyesalan mendaki Rinjani akan terasa setelah melewati Bukit Penyesalan. Saya tatap lamat-lamat Bukit Penyesalan sejauh jangkauan mata. Entah semenyesal apapun nama bukit ini, seharusnya tidak ada kata sesal dalam perjalanan yang saya pupuk dengan rindu selama 3 tahun, maka saya menamai bukit itu Bukit Perjuangan alih-alih menyebutnya Bukit Penyesalan.

"Nggak Tuaq, ini namanya Bukit Perjuangan bukan Bukit Penyesalan" sengaja saya mengucapkannya dengan lisan, sebagai self reminder.

"Mantap!" Imbuh Tuaq Man.

Jika pada tulisan pendaki-pendaki lain mengisahkan bahwa Bukit Penyesalan terdiri dari 7 bukit tak berkesudahan, agak berbeda dengan saya. Menurut saya Bukit Penyesalan terdiri dari hanya 2 bukit yang keduanya dipisahkan oleh sebidang lahan datar. Saat itu memasuki waktu shalat zuhur ketika tim kami tiba di lahan datar yang saya maksud. Tidak hanya kami, di sana ikut istirahat pula rombongan tim lain yang sedari tadi saling balap, lahan datar menjadi titik untuk akhirnya bisa saling berkenalan. Tim pertama saya namai tim F4, haha.. karena mereka terdiri dari 4 laki-laki muda. Ngomong-ngomong soal tim F4, sebelum berangkat ke Rinjani saya lagi kegandrungan nostalgia drama Meteor Garden, dan kocaknya nostalgia itu membuat otak saya terasosiasi dengan soundtrack Meteor Garden setiap tim F4 lewat, hahahaha... what a shame on me!

                                        Ini nih soundtrack-nya ðŸ˜‚

Saya sebenarnya menyadari kehadiran mereka sejak di pos 1 Sembalun, hanya saja saat itu tidak ada momen untuk saling berkenalan, dari obrolan di lahan datar baru saya ketahui mereka semua berasal dari Bandung, teman kental sejak kuliah di sebuah kampus negeri di Kota Malang, kemudian merantau bersama ke Kota Bandung. Oke lanjut, tim kedua adalah tim Habib Rizieq yakni 2 orang mas-mas asal Kota Surabaya yang memiliki penampilan mencolok, satu orang berkumis dan rambut ikal mirip vokalis Payung Teduh sehingga kami namai 'Mas Payung Teduh', ditemani rekannya yang berwajah keturunan Arab tetapi dengan logat bicara arek Suroboyo, kami memanggilnya 'Habib Rizieq', haha.. (semoga orangnya nggak baca). Tim terakhir adalah tim Paman, serombongan pendaki dari Pekanbaru yang menggunakan jasa agan (porter), sang agan inilah yang kami panggil Paman.

Setelah memulihkan tenaga di lahan datar, saya dan Nia melanjutkan perjalanan duluan sementara yang lain melakukan ibadah sholat. Ternyata trek bukit penyesalan tidak seburuk yang saya dengar kok, alhamdulillah saya melalui bukit itu tanpa sesal, hati saya masih tetap riang gembira. Kalau kalian pernah mendaki Bukit Prau via Patak Banteng, nah tingkat kesulitan dan kontur tanah Bukit Penyesalan sangat mirip dengan jalur Patak Banteng, bedanya lebih jauh 2 kali lipat. Oke kembali lagi, saya dan Nia sampai lebih dulu ke Plawangan Sembalun, waktu menunjukkan pukul 16.00 sore, wah tak dinyana kami baru saja mendaki selama hampir 6 jam. Dari Plawangan Sembalun kami tidak langsung mendirikan tenda, Paman berpesan untuk melipir ke sebelah kiri Plawangan Sembalun, melewati sekitar 4 bukit karena disana lebih dekat ke mata air dan searah dengan jalur menuju puncak gemilang cahaya. Baiklah, saya menghela nafas, tersenyum pahit,

"Gilak nih gunung, nggak sampe-sampe euy!"


Pemandangan dari depan tenda kami di Plawangan Sembalun, masyaAllah banget

Akhirnya setelah mendaki gunung melewati lembah kami menemukan tempat yang pas untuk nenda di bukit ketiga, kaki kami sudah tidak kuat kalau mau melipir walau hanya satu bukit lagi. Sore hingga malam kami isi dengan istirahat, memulihkan tenaga untuk summit attack pukul 2 dini hari.

Bintang-bintang ini akan sangat saya rindukan

Hari Ketiga: Rabu, 26 April 2017

Kami terlambat setengah jam dari jadwal yang seharusnya. Hmm.. setengah jam masih bisa dimaafkan lah yaa. Langkah pertama keluar dari tenda, hawa dingin langsung menusuk sampai ke tulang, jaket tebal yang saya pakai seperti tak ada guna. Dengan terburu kami segera bergerak, berharap masih bisa menghangatkan badan disetiap titian langkah. Bismillah.

Summit attack dimulai dengan memasuki jalur hutan dengan vegetasi yang tidak begitu rapat. Kemudian, jalur mulai berpasir, tidak ada pepohonan yang menghalangi hembusan angin, sangat dingin. Saya hanya bisa fokus pada trek yang terjangkau cahaya headlamp, sejauh pandangan hanya ada jalur batu berpasir. Di jalur pendakian ini saya banyak kena PHP, asli deh, setiap akhir tanjakan rasanya seperti sudah sampai puncak, eh ternyata ada belokan ke kiri, begitu terus, nanjak-belok kiri-nanjak-belok kiri, tidak sampai-sampai.

Hingga pada suatu tanjakan, saya terpisah dari rombongan, tidak bawa minum, dan kedinginan. Saya buang rasa malu, merapat ke rombongan tim lain dan minta minum, untunglah tak berapa lama saya dapat mendengar suara Nia dan Tuaq Man, senyum kembali merekah.

Sudah dua jam lebih kami berjalan tetapi belum ada tanda-tandanya keberadaan puncak. Namun saya tidak bisa berhenti, tekad satu sudah bulat, puncak harga mati! Saya kembali menarik nafas panjang, berjalan kembali, berkejaran dengan waktu terbit matahari.

Akhirnya saya tiba di titik letter E puncak Rinjani, rona langit mulai biru-kemerahan. Ah.. kami tidak mungkin dapat menikmati sunrise dari puncak Rinjani, maka kami berhenti sejenak di jalur dengan kemiringan sekitar 50 derajat, mencari kehangatan dari sinar matahari. Sungguh, baru kali ini saya begitu merindukan pagi dan hangat matahari.

Detik-detik sunrise, satu...

Dua...

Tiga!
Matahari sudah bulat sempurna, saya bisa melihat posisi puncak Rinjani.

"Astaga..masih jauh mak!"

Si puncak dambaan itu ternyata ada jauh diujung tanjakan berpasir, ya Tuhan.. Segala ekspektasi saya tentang jalur pendakian puncak Rinjani runtuh seketika, ternyata jalur menuju puncak Rinjani literally jauh, ampun deh! 

"Semangat Lala, semangat!" Bisik Nia.

Kembali saya tarik nafas panjang, ayo dicicil, pasti bisa, selangkah demi selangkah!

Jalur letter E, yah nilailah sendiri

Percayalah, kami sudah berusaha untuk senyum...

30 meter menuju puncak, mulut dan tenggorokan saya kering, rasanya seperti tercekik. Air minum tim kami telah habis, padahal kami bawa 3 botol air 1,5 liter, rasanya saya ingin menangis karena tenggorokan yang kering total. Saya tidak tahan lagi, dengan bahasa isyarat saya meminta minum kepada seorang pendaki asing yang lewat di depan kami, saya tatap matanya dalam-dalam mengisyaratkan bahwa saya rasanya hampir mati kehausan, mungkin si bule kasihan kali ya lihat pemandangan yang nelangsa sekali, maka saya dikasih satu botol 1,5 liter. Kami berlima langsung rebutan minum tanpa tedeng aling-aling. Setelah mengumpulkan tenaga, kami lanjutkan menggapai puncak Rinjani yang tinggal sedikit lagi. Dan akhirnya.. Akhirnya!!! Pendakian panjang selama 4,5 jam berbuah manis, sekitar pukul 07.00 pagi tim kami dapat menginjakkan kaki di puncak Gunung Rinjani, Allahu akbar!


Aku sampai puncak Rinjani!! Mama pasti bangga, haha


Pararara..

Perjalanan 'berdarah-darah' itu membuahkan hasil. Langit pagi itu sangat cerah, bahkan kami dapat melihat batas laut pulau Lombok dengan jelas di ufuk barat. Duh, nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?

Di puncak kami bertemu dengan 3 orang member F4, rupanya satu orang anggota tim mereka tidak sanggup sampai ke puncak. Begitu pun dengan tim kami, Heru, juga tak mampu sampai ke puncak. Jika saya ingat-ingat memang jumlah orang yang saya temui di puncak jauh lebih sedikit dari jumlah rombongan yang saya temui di jalur, sepertinya banyak yang mundur..

Area puncaknya tidak begitu luas

Cie sampai puncak cieee..

Lagi galau apa lagi tidur neng?
Pukul 09.00 pagi tim kami mulai perjalanan turun ke Plawangan Sembalun, berpapasan dengan Mas Payung Teduh dan Habib Rizieq yang baru tiba di puncak. Dengan kondisi cuaca yang cerah, saya dapat melihat jelas jalur yang sejak dini hari tadi 'mempermainkan' kami, ternyata pemandangannya sangat indah! Sepanjang jalan saya dan Ela mampir-mampir, entah untuk duduk-duduk, foto-foto, nyanyi-nyanyi, hingga kami terlambat sampai tenda. Seharunya waktu turun dapat ditempuh dalam 1-1,5 jam saja, tetapi saya dan Ela baru sampai tenda pukul 11.30 siang, dasar bocaah..

Pemandangan jalur pendakian ke puncak

Melipir dulu sis

Ayo tebak tenda kami yang mana??

Sesuai rencana yang disampaikan Ela, di hari ketiga ini kami dan F4 akan langsung turun ke Danau Segara Anak, menghabiskan sisa hari ketiga di sana, kemudian turun lewat jalur Senaru pada hari keempat, maka total perjalanan adalah empat hari tiga malam, begitu kira-kira. Eh sebentar.. kok tiba-tiba ada F4? Iya, jadi mereka mau nebeng mobil dari Basecamp Senaru ke arah Mataram, mau tidak mau harus bersama-sama kan turunnya. Kembali lagi soal rencana ke Segara Anak. Sebenarnya badan saya sudah amat-sangat lelah, di kepala saya hanya ada satu keinginan: tidur.

Rupanya saya tak sendirian, kelelahan yang sama terbaca dari wajah tim kami dan tetangga, tetapi Ela masih tetap pada saran yang sama. Maka Bang Awan dan abang-abang F4 melakukan rapat pleno, dengan berbagai pertimbangan diputuskan bahwa kami menambah satu hari menginap di Plawangan Sembalun. Huaah..jadi lebih lega. Eh rupanya rintangan belum selesai, penambahan waktu menginap ini berdampak pada kondisi logistik yang tidak cukup untuk lima hari, ckckck... ini adalah pendakian paling melarat yang pernah saya lakukan.

Sore itu, mau tidak mau kami harus mencari logistik untuk satu hari tiga kali makan. Kami bertamu ke tenda sekitar, berharap ada logistik lebih. Tapi malang, hasilnya nihil, sementara harga diri sudah terkikis. Maka, saya, Ela, Heru, dan Nia akhirnya memutuskan untuk melipir lebih jauh ke bukit sebelah, berbekal uang 50 ribu dan harga diri yang tinggal setengah kami bertamu ke tenda para agan, berharap ada makanan yang bisa dibeli atau diminta. Satu-dua rombongan terlewati, masih tidak ada yang dapat memberikan kami beras dan lauk-pauk. Pada tenda ketiga, Heru maju. Persetan soal harga diri, dengan muka memelas tanpa dibuat-buat, Heru mengutarakan maksud kedatangan kami, tak dinyana, agaknya hati si agan tersentuh melihat wajah kuyu kami. Kali ini kami berhasil! setengah liter beras, empat butir telur, dan lima kantong teh kami peroleh, hahaha.. Kami ingin membayar, tetapi si agan buru-buru menolak.

"Tidak ada jual-beli di gunung, kita saling tolong sesama orang Islam" Ujar si agan.

Duh masyaAllah sekali si agan, kami jadi enak kan. Heru yang terharu secara tiba-tiba mengangkat tangan dan mendoakan para agan dengan bahasa Lombok, kira-kira begini..

"Semoga rejekinya dilancarkan, bapak sehat terus, lancar jodoh"

Kami dan para agan refleks mengaminkan doanya dengan tak kalah khusyu. Jika dicerna ulang agak lucu sebenarnya, apalagi doa soal jodoh, dari perawakannya para agan itu paling tidak sudah jadi bapak dua anak, ini maksudnya jodoh buat istri kedua Her? hahaha..

Kami berempat kembali ke tenda dengan penuh kemenangan, menatap puas pada Bang Awan dan Tuaq Man, dasar laki-laki gengsinya tinggi, nggak mau ikut nyari, huh! Ternyata rejeki kami belum putus hari ini. Malam hari, tetangga sebelah tiba-tiba datang membawakan nasi, sarden, dan sayur buncis yang sudah dimasak, aduuh surga dunia banget! Rupanya mereka dengar segala percakapan kami soal krisis pangan, haha.. Love you tetangga dari Jakarta! Alhamdulillah malam ini kami bisa tidur nyenyak, program pengentasan kelaparan berhasil!

Hari Keempat: 27 April 2017

Saya tarik nafas panjang, berat sebenarnya berpisah dengan Plawangan Sembalun. Dua hari yang sangat berkesan, banyak kenangan berserakan antara puncak Rinjani dan tenda ini. But life must go on #tsaah.
Goodbye my lover..eh.. Plawangan Sembalun..
Konsolidasi tim, haha
Setelah sarapan dan berbenah tenda, kami mulai perjalanan turun ke Segara Anak pada pukul 09.00 pagi. Seperti yang sudah dideskripsikan Ela, jalur menuju Segara Anak memang curam dan berbatu. Mirip sekali dengan jalur Gunung Lawu via Cemoro Kandang, bedanya batu-batu di Segara anak tidak disusun rapi. Perjalanan turun memakan waktu hampir 4 jam. Di setengah jalan terakhir menuju danau, kita akan disuguhkan pemandangan sabana seperti di Bulak peperangan Gunung Lawu via Candi Cetho. Aduh.. gunung ini selain menciptakan kenakan baru juga membangkitkan kenangan lama, saya antara mau senyum atau nangis waktu lewat 'Bulak Peperangan' versi Rinjani ini.

Padang Bulan-ku :(

Dan ini waktu di Lawu, mirip kan..

Pukul 13.00 siang, kami tiba di Segara Anak, pemandangannya masyaAllah sekali! Danau ini ternyata sangat luas, kami tidak langsung nenda di dekat pos masuk, Ela telah mempersiapkan tempat spesial yang lebih privat, tempat dimana dia nenda di Segara Anak pada pendakian sebelumnya. Oke bandar mah bebasss. Untuk mencapai lokasi yang dimaksud Ela, kami menyeberangi sungai kecil setinggi betis, airnya bening sekali.

Susur sungai sedikit nih
Adapun si Danau Segara Anak sendiri memiliki banyak sudut yang mengingatkan saya pada Telaga Warna dan Danau Dringo di Dieng, lagi-lagi nostalgia, hmmmm...


Salah satu sudut Danau Segara Anak, bikin nostalgia sama Danau Dringo :(

Danau Dringo di Dieng
Setibanya di tempat nenda, perasaan saya meluap-luap, dalam sudut pandang saya, kami nenda pada posisi yang sangat pas, si Gunung Baru Jari berdiri dengan gagah dalam satu tarikan garis lurus, di sisi timur puncak Rinjani membentengi langit, sementara di sisi barat dinding bukit menjulang dengan garis-garis rekahan yang amat jelas, menyadarkan saya bahwa tempat saya berdiri ini adalah kaldera gunung berapi yang entah tercipta sejak berapa abad yang lalu.

Pemandangan dari depan tenda

Mode panorama, masih dari depan tenda

Bicara soal Segara Anak tentu tidak bisa lepas dari ikannya.Saya memang sudah dengar dari beberapa teman soal ikan di Segara Anak, dan setelah melihat sendiri saya baru haqqul yakin: ikannya beneran banyak! Rasanya gemes deh lihat ikan-ikan sebesar botol aqu* berenang di tepian danau, pingin banget ditangkap, dipanggang, terus dimakan, hahaha...
Dan begitulah, dari siang ke sore setiap orang menciptakan kesibukan masing-masing. Bang Awan, Evan, Heru, dan Tuaq Man keranjingan mancing ikan, saya, Ela, dan Nia khataman bersihin ikan, tetangga F4 main ke curug dan sumber air panas. Ngomong-ngomong soal bersihin ikan, ini adalah kali bertama saya bersihin ikan yang masih hidup, waktu saya memotong sirip ikan pertama, saya refleks nangis, kasihan ikan itu menggelepar meregang nyawa di tangan saya. Kemudian, situasi jadi tidak terkontrol, hasil pancingan si rombongan laki-laki banyak sekali, berakhir dengan saya harus bersihin 20 ekor lebih.. Yaa Robbi saya yang tadinya sedih malah jadi klenger sendiri, ini bersihin ikan kapan kelarnya dah..Tapi akhirnya kelar juga sih, hehe..

Si Heru dan Evan jadi keranjingan banget mancing!

Kelakuan tetangga, berusaha nangkap ikan pakai tangan, nice try dude! Hahaha

Perfect timing

Sebelum magrib, ikan-ikan itu kami panggang, goreng, dimakan sampai ludes ke tulang-tulangnya, huh dasar pendaki proletar pemakan segala!


Ikan hasil tangkapan dan sumbangan dari agan-agan (kelakuan ya, masih aja minta-minta)

Kemudian, di malam terakhir ini kami menyalakan api unggun. Beruntungnya kami, seorang pendaki tetangga sebelah meminjamkan speaker portable. Maka lengkaplah malam kami dengan musik dan api unggun. Semesta sepertinya tak mau ketinggalan kebahagiaan kami malam ini, betapa tidak, langit malam yang baru sepenggalan naik itu sudah penuh oleh bintang. Saya ingat betul, ada 4 bintang jatuh yang tertangkap mata, ya Tuhan indah sekali! Kalau di Lawu saya punya Padang Bulan, maka di Rinjani malam itu saya punya Telaga Bintang. Kemudian, satu per satu tim F4 ikut bergabung bersama kami, membiacarakan segala hal, ngalor-ngidul, puas tertawa dan menertawakan. Momen ini sungguh tak akan pernah bisa diulang.. Setulus hati saya berdoa, semoga kalian yang membersamai saya malam itu terus menemukan kebahagiaan dan mengingat malam itu sebagai sesuatu yang baik, aamiin.

Refleksi..

Gonna miss this place, and also the people..

Batu ini saksi bisu pembantaian ikan-ikan yang kami makan, hiks..

See you when I see you, Segara Anak!

Hari Kelima: Jumat, 29 April 2017

Saatnya berpisah. Sebagaimana sebuah perpisahan pada umumnya, saya pun sedih. Namun, namanya juga Rinjani, sedih itu tidak seberapa lama, retak seribu ketika melihat jalur pulang yang harus kami lalui. Tebing tinggi telah menanti di pelupuk mata, ya, itu dia si tanjakan menuju Plawangan Senaru. Dibalik senyuman, hati kecil saya menjerit-jerit.

"Ya Allah.. ini mau pulang aja kok susah.."

Pendakian menuju Plawangan Senaru sangat mirip dengan trek Gunung Sindoro dari pos 3 menuju puncak, bedanya? lagi-lagi soal jarak yang 2 kali lipat lebih jauh, dan.. PHP. lagi. Setelah sampai ke bukit 1, ternyata kami baru setengah jalan, masih ada satu bukit lagi yang sama tingginya yang harus dilalui.. Ya Allah.. gue ngapain sih disini, kangen kasur..kangen mandi, huhu..

Oke kembali lagi, jadi jalur Senaru ini sangat terjal, terutama pada bukit kedua saat sudah mau sampai Plawangan Senaru. Seperti pesan Paman kepada kami,

"Jaga mata jaga telinga"

Pesan yang memang benar adanya. pemandangan sepanjang jalur Senaru sangatlah indah, dinding kaldera Rinjani yang berpadu cantik dengan Danau Segara Anak seperti menyihir mata. Tetapi kita tidak boleh tergoda, terpeleset sedikit nyawa taruhannya. Pukul setengah 3 sore kami tiba di Plawangan Senaru, 4,5 jam dan baru setengah jalan! Kami tidak berlama-lama di Plawangan Senaru, karena perjalanan turun justru baru akan dimulai.

Kabut turun mengiringi perjalanan kami. Hati saya sudah was-was, memohon kepada Tuhan supaya tidak ada hujan hari ini. Tidak sanggup rasanya melakukan perjalanan di tengah hujan dengan badan remuk begini rupa. Untunglah, hujan tidak pernah benar-benar turun dalam perjalanan kami. sebelum kami memasuki area hutan, tiba-tiba kaki Heru kram. Ya.. pada akhirnya apa yang saya khawatrikan soal pendaki pemula terjadi juga. Tidak ada pilihan, Heru harus memaksa diri untuk terus melanjutkan perjalanan, beban kerilnya dikurangi, saya kebagian membawa tenda. Alamak... from the bottom of my heart pingin nangis, jadi berat sekali keril saya.. tapi saya tidak mungkin egois. Setelah mengkondisikan berbagai hal selama hampir setengah jam, kami kembali melanjutkan perjalanan dengan kecepatan yang menurun, mengikuti ritme langkah Heru. Gelap mulai turun saat kami memasuki vegetasi hutan hujan Senaru. Lelah dan kerinduan pada dunia luar yang tak terbendung membuat tim kami mulai berpencar. Saya turun ngebut bersama Ela. Di depan rombongan F4 dan Bang Awan semakin tidak terlihat. Tuaq Man, Heru, Nia, dan Evan setia di belakang. Sampai pada titik sinar matahari telah ditelan langit malam, saya dan Ela jalan beriring berdua saja, sialnya headlamp saya ada di tas Tuaq Man. Saya berperang melawan ketakutan, berusaha se-cool mungkin dan melanjutkan obrolan dengan Ela. Untungnya kami kemudian berpapasan dengan rombongan pendaki Malaysia, dengan bantuan penerangan dari mereka, kami mengeluarkan senter dari dalam keril Ela dan kembali melanjutkan perjalanan berdua.

Di pos 2 kami bertemu dengan Bang Awan dan beberapa abang F4, kami saling tunggu hingga seluruh anggota tim lengkap. Dengan alat penerangan yang terbatas, kami melakukan perjalanan bersama dari pos 2 ke basecamp dengan kondisi gelap total, menembus hutan Senaru yang kini terasa mencekam. Sepanjang jalan saya menyebut asma-asma Tuhan, memastikan tak sedetik pun pikiran saya kosong. Rupanya keterlambatan kami tiba di Plawangan Senaru tadi berdampak hingga sejauh ini, perjalanan malam di hutan Senaru bukanlah pilihan yang baik, pesan saya: hindari, sangat hindari, sebisa mungkin.

Alhamdulillah pukul setengah 8 malam kami tiba di gerbang jalur Senaru. Dapat melihat lampu dan manusia rasanya sungguh membahagiakan! Saya terduduk menubruk tanah, sudah habis gaya untuk mengespresikan rasa lelah ini. Kami memulihkan tenaga, membeli makanan dan minuman di 'basecamp bayangan' itu. Setelah semua anggota tim lengkap, kami lanjutkan perjalanan sekitar 1 km menuju Basecamp Senaru. Tiba di basecamp,  mobil bak terbuka milik ayah Heru telah menunggu kami. Alhamdulillah..Alhamdulillah..

Kami melompat naik ke mobil bak dengan kondisi badan yang sangat kelelahan. Kami sama-sama sadar, perjalanan dengan mobil bak ini akan memakan waktu 4 jam sampai ke Mataram dan 5 jam sampai ke Kopang. Kami duduk menenkuk kaki, sempit-sempitan di dalam bak seukuran 3x2 meter itu, kedinginan diterpa angin malam. Lelah. Perjalanan ini sangat panjang, maha capek dari semua pendakian yang pernah saya lakukan, tetapi juga membekas, sangat membekas. Malam itu, sebelum jatuh tertidur, saya berpamitan pada Rinjani, sekali lagi menatap langit berbintang, membayangkan bahwa baru kemarin malam di bawah langit yang sama kami bermandi hangat api unggun di hadapan Segara Anak. Lalu lamunan atas perjalanan yang melelahkan mengantar saya tidur, dengan perasaan yang tidak karuan.

Epilog

Lupakan La..

Setiap perjalanan memiliki kisah dan kenangannya masing-masing. Untuk Rinjani, saya memiliki kenangan tentangnya jauh sebelum pendakian ini saya lalukan, maka tentu kisah yang tercipta sangat mendalam. Selain soal kenang-mengenang, Rinjani merupakan pendakian yang paling melelahkan, bukan soal tingkat kesulitan treknya, tetapi jarak satu titik ke titik lain yang amat-sangat jauh. Hanya dengan mendaki satu gunung ini, saya seperti dipaksa mendaki 4-5 gunung sekaligus. Dan saya juga heran, dari mana tenaga itu datang sehingga saya sanggup melakukan pendakian panjang setiap harinya selama lima hari. Selain kisah-kisah di atas, masih ada kisah lain yang berserakan, tak mungkin untuk saya sampaikan, misalnya saja soal mimpi saya yang aneh tentang seorang tetangga sebelah, atau soal Nia yang memimpikan saya. Dari pendakian ini saya berkesimpulan, jika ingin mendaki Rinjani, maka tanamkan niat dalam-dalam dan pegang kata-kata ini: jalani saja. Sejauh apapun jaraknya, jalani saja. Selelah apapun kondisi badan, jalani saja. Karena jika terlalu diperhitungkan, kamu akan lelah sendiri. Lalu, apakah saya berminat untuk kembali ke Rinjani suatu hari nanti? Haha.. entahlah untuk yang satu ini saya belum dapat menyimpulkannya.

*****
Informasi Pendakian Gunung Rinjani
- Pertimbangkan musim saat akan melakukan pendakian ke RInjani, musim yang baik adalah pertengahan tahun.
- Jika budget memungkinkan, lebih baik menggunakan angkutan udara untuk menuju NTB, supaya bisa saving energy untuk pendakian.
- Rekomendasi jalur jika ingin ke puncak saja: Sembalun pp. Jika ingin ke Segara Anak saja: Senaru pp. Jika ingin puncak-Segara Anak: lintas jalur Sembalun-Senaru. Saya tidak rekomendasikan lewat jalur ilegal seperti Torean. Ingat, saat memilih mendaki gunung sama saja kita "nyerahin nyawa", jadi minimalisir risiko yang akan muncul, p/s: jalur ilegal tidak di-cover asuransi.
- Untuk menuju BC lebih efisien jika menyewa mobil bak terbuka. Perjalanan berangkat: jarak dari Kota Praya-BC Sembalun 1 jam, Kota Mataram-BC Sembalun 2 jam. Perjalan turun:  jarak dari BC Senaru-Kota Praya 5 jam, BC Senaru-Kota Mataram 4 jam.  Pasaran harga sewa mobil 800 ribu.
- Lama pendakian 4 hari 3 malam jika tidak turun ke danau Segara Anak.
- Lama pendakian 5 hari 4 malam jika turun ke danau Segara Anak.
- Persiapkan logistik untuk 5 hari 15 kali makan, di Gunung Rinjani tidak ada warung (heuheu), paling banter ada agan-agan porter yang jual Ore* dengan harga 3x lipat.
- Jumlah tim ideal untuk mendaki Rinjani adalah 10 orang (menurut pengalaman saya), karena akan memudahkan dalam membawa logistik dan saling menjaga selama perjalanan.
- Titik camp jalur Sembalun-Senaru:
   - Hari 1: Pos 3
   - Hari 2: Pelawangan Sembalun
   - Hari 3: Pelawangan Sembalun / Danau Segara Anak (kalau kuat)
   - Hari 4: Danau Segara Anak
   - Hari 5: Perjalanan pulang via Senaru
- Start pendakian sebaiknya dimulai pada pukul 9-10 pagi, agar tidak kemalaman saat sampai ke Pos 3.
- Jika berniat turun ke Segara Anak, pastikan di hari terakhir pukul 8 pagi sudah memulai perjalanan pulang, karena terlambat 1-2 jam akan menyebabkan kemalaman di hutan Senaru,  ini berbahaya.
- Di NTB agak susah kendaraan umumnya, jadi kalau mau explore Lombok setelah turun Rinjani bisa sewa motor harian.
-  Soal penginapan murah bisa cari di tr*veloka ya, banyak homestay murah.

Komentar

  1. Benar benar gadis gunung...nekat tenan rek....

    BalasHapus
  2. gunung yang indah dan menawan jadi pengin kesana CV TUGU

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. rinjani trekking, salah satu pengalaman yang luar biasa bagi saya. susah dilupakan, terutama keindahannya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak, sampai saat ini pun saya masih senyum sendiri tiap ingat Rinjani :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia