Selaksa Rasa Menjadi Amil Zakat

Bismillah.
Agak susah sebenarnya untuk menggodok topik kali ini hingga menjadi tulisan. Lama terpendam dalam otak, bersaing dengan hasrat naik gunung dan nonton Avatar Korra sampai tamat, hehe.

Zakat bukan menjadi dunia tempat saya dibesarkan. Ya, tentu saya tahu zakat, tetapi hanya sebatas ikrar rukun Islam, atau paling jauh mengamalkan zakat fitrah setiap Ramadhan. Selebihnya? Duh kalau umpama ujian semester, saya pasti bakal remedial jika keluar soal tentang zakat. Lalu, semua berubah ketika negara api menyerang saya secara resmi diterima sebagai amil zakat di Badan Amil Zakat Nasional alias BAZNAS.


Anak seorang mustahik penerima bantuan BAZNAS di Bedugul, Bali
Rasa Menjadi Amil Zakat

Saat ini saya mengaktualisasikan diri di sebuah program penyaluran dana zakat yang bernama Pusat Kajian Strategis, si program ini dipayungi oleh BAZNAS sehingga secara resmi namanya Puskas BAZNAS. Pada awal masa kerja saya tidak pernah benar-benar memberi perhatian soal sebutan profesi yang saya jalani. Ya saya bisa disebut staf, asisten peneliti, sekretaris, apapun itu namanya. Pokoknya penamaan-penamaan itu saya sematkan sesuai dengan jobdesk yang saya lakukan; membuat surat, mempersiapkan segala keperluan sebelum survey dan turun lapang, menulis berita, mencatat risalah rapat, menjadi LO tamu-tamu luar negeri, dan banyak lagi. Hingga saya mulai akrab dengan sebuah kata: Amil. Ya, nama yang tepat untuk profesi saya geluti saat ini.

"What? Amil zakat itu profesi?"

Agak mengherankan memang, tetapi itu semua bukan karena amil tidak memiliki urgensi maupun kompetensi khusus untuk disebut sebagai profesi. Dasar kita wae yang terlanjur dibesarkan dengan stigma, bahwa amil itu orang yang bantu-bantu ngurusin zakat, itu tuh kayak yang di masjid-masjid itu. Memang betul, orang yang membantu pengelolaan dana zakat entah itu di masjid, madrasah, pesantren, RT-RW, itu disebut amil, dan mereka masuk dalam 8 golongan asnaf penerima dana zakat. Tetapi stigma tersebut sudah terlalu lusuh jika digunakan hari ini, terutama di negara kita Indonesia tercinta yang umat muslimnya berjuta-juta. Dana umat yang jumlahnya triliunan rupiah itu butuh tangan-tangan kompeten dan otak-otak berilmu untuk mengelolanya. ragam jobdesk-nya memang kayak gado-gado, lihat saja jobdesk saya. Tetapi selama itu berurusan dan dalam rangka mengelola dana zakat, maka tetaplah disebut amil. Disamping itu, ada sebuah pengalaman pribadi yang membuat saya jadi begitu mengapresiasi profesi amil. Suatu hari atasan saya di kantor bilang begini,

Ini bukan aku, beneran
"Kita harus bangga loh. Cuma ada 2 profesi yang disebutkan dalam Al-Qur'an, yaitu pengusaha dan amil zakat." (no offense ya, basically semua profesi punya sisi kece masing-masing)

Segan kali bang!

ZIS, Apa Bedanya?

Nah ini nih pengetahuan paling dasar yang baru saya pahami betul ketika sudah bekerja di BAZNAS. Asli, ngerasa apa banget hidup 23 tahun tapi baru tahu apa bedanya zakat, infaq, dan sedekah. Better know than never lah ya.. Oke sip pertama kita harus mengenal dulu bahwa zakat dan infaq adalah sama-sama bentuk dari sedekah, yes these two worships are simply called sedekah, sodaqoh, sadako, haha.. canda. Ehm, oke. 

Sedekah itu dibagi menjadi dua bentuk, sedekah yang bersifat materi dan sedekah non-materi. Nah sedekah yang bersifat materi inilah yang disebut zakat dan infaq, lalu sedekah yang non-materi disebut sedekah aja (aja cuma imbuhan aja, apa sih gue). Maka dari itu muncullah istilah "senyum itu sedekah", bukan "senyum itu zakat" atau "senyum itu infaq", ya nggak?

Ada hadits-nya nih:

‎تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

‎“Senyummu terhadap wajah saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi 1956, ia berkata: “Hasan ‎gharib”. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib). (sumber dimari)

Moreover, si zakat dan si infaq ini juga agak berbeda dari segi hukum syari'ahnya, eventhough keduanya masuk dalam golongan sedekah materi. Zakat itu hukumnya wajib (S&K berlaku sis, baca dimari), sementara infaq hukumnya sunnah, eh tapi jangan mentang-mentang sunnah terus nggak dikerjain ya, jangan kikir atuh bang~

Mengenal Sisi Baru Dunia Perzakatan

Rukun Islam itu adal lima: syahadat, sholat, zakat, puasa, naik haji kalau mampu. Dari kelima rukun tersebut, empat rukun secara zohir berpusat pada aspek spiritualitas dan sangat privat, vertikal sekali antara hamba dan Allah SWT. Sementara Allah SWT. sisakan satu aspek yang meski cuma satu tetapi mempengaruhi banyak aspek kehidupan umat Adam: Zakat. Zakat sangat mempengaruhi aspek spiritual, sosial, dan ekonomi umat; nyawa kehidupan dari dunia sampai ke akhirat banget kan?

Untuk aspek sosial tidak akan saya bahas, karena saya belum memiliki pengalaman secara langsung soal yang satu ini. oke skip. 

Aspek ekonomi ibadah zakat sepertinya lebih mudah dipahami, bagaimana dana zakat dapat mengubah hidup dan kehidupan mustahik (orang yang berhak menerima dana zakat) dalam jangka panjang, atau yang lebih visionernya lagi bagaimana zakat dapat menghantarkan seorang mustahik menjadi muzakki (orang yang mampu dan harus berzakat). Nah kalau mau tahu sejauh dan sedalam apa korelasi zakat, ekonomi syariah, poverty alleviation, dan hal-hal serius itu bisa cek hasil kerjaan kami  di Puskas BAZNAS, insyaAllah bermanfaat dan berfaedah. Ada dalam bentuk berita harian, berita resmi alias official news, makalah ilmiah alias working paper, dan jurnal ilmiah yang nggak ada aliasnya.

Aspek Produktifitas Hidup Seorang Muslim 

Lalu soal produktifitas diri, ini bisa-bisanya saya saja yang membahasakan demikian. Dan bagi saya, ini adalah aspek besar yang baru saya sadari dan pahami setelah bekerja di BAZNAS, serius ini keren gaes.

Jadi begini... (tenang, kali ini gue ga akan bilang "terus begitu"), selama ini saya dan mungkin banyak muslim lainnya menganggap bahwa zakat (khususnya zakat maal/harta) adalah ibadah yang nggak urgent-urgent banget, selama lo bukan orang kaya ya selow wae lah.. Hingga kemudian atasan saya, Pak Arifin Purwakananta namanya (warning: beliau orang keren, googling deh), dalam sebuah kajian di kantor kami menyampaikan, 

"Zakat itu kan rukun Islam juga, ya zakat sama pentingnya dengan ibadah sholat lima waktu"

Jedarrr.. Kepala saya kayak disambar gledek. Betapa tidak, secara tidak sadar selama ini saya membangun dikotomi antara ibadah zakat dengan ibadah sholat fardhu -ibadah paling populer dan kudu-musti-wajib banget didoktrin ke seluruh muslim sejak mereka masih bocah. Kembali lagi, saya tidak memposisikan zakat sama pentingnya dengan sholat, padahal keduanya sama-sama termaktub dalam rukun Islam, sama-sama ibadah wajib.

"Ya iyalah La, sholat mah kan gampang, tinggal wudhu, menghadap kiblat, sholat deh tuh. Zakat maal kan kudu kaya dulu"

Nah itu dia! Itu dia! Sebagaimana kita mati-matian berusaha bangun subuh untuk bisa melaksanakan sebuah ibadah yang bernama Sholat Subuh, sebagaimana kita memperjuangkan terjaga di sepertiga malam demi beribadah qiyamul lail dan Sholat Tahajud, apakah  usaha dan kegigihan yang sama kita lakukan untuk bisa melakukan ibadah zakat?

Mata rantai yang hilang selama ini adalah semangat untuk mencapai nasab melaksanakan ibadah zakat. Kalau dipikir-pikir, melalui ibadah zakatlah Allah SWT. ingin hambanya menjadi makhluk yang produktif. Ya, produktif. Jika saya diam dan bermalas-malasan sungguh jauh api dari panggang untuk bisa melaksanakan ibadah zakat. Maka jadilah muslim produktif, dengan itu semakin dekat jalan yang ditempuh untuk melakukan ibadah zakat. Yap, ibadah zakat adalah ibadah yang bersyarat, syaratnya, sekali lagi, saya harus produktif (bedakan antara harus produktif, harus kaya, dan harus miskin yaa).

Pandangan baru tersebut membawa perubahan signifikan bagi saya dalam menjalankan ibadah ZIS. Disamping karena ingin menolong sesama, melalui ZIS juga saya ingin memberikan usaha terbaik saya kepada Allah SWT.  untuk jadi muslim yang produktif, yang tidak malas. Bayangkan deh kalau setiap anak-anak, siswa-siswi, mahasiswa-mahasiswi memiliki pandanganan yang sama soal ibadah zakat ini, lalu mereka akan berjuang demi masa depan yang baik dan produktif, sehingga tak ada istilah sengaja menganggur. Betapa senangnya~

Oke segini dulu, takut pembaca yang budiman pada bosan (padahal gue aja yang udah capek ngetik, hehe). Insya Allah bersambung tapi nggak akan sampai season 7 kayak Cinta Fitrih~

[Next]

Berkenalan Dengan Zakat Produktif dan Zakat Konsumtif

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia