Untuk Dia...


Di antara sabana dan Padang Bulan, aku mencarimu.
Membaca tanda-tanda dari setiap jengkal tanah ini, berharap menemukanmu yang sejati.
Dari sejumlah malam dan purnama, aku bertanya pada qalb, mencari sesuatu yang mampu menjawab kegelisahan hati.

Aku tahu bahwa kau lebih tahu atas malam-malam yang jatuhnya perlahan, saat aku terlampau berharap mendengar bisik tentangmu dari ombak atau pasir.

Tetapi, lagi, kau belum inginkan aku berhenti.

Maka, pada perjalanan ini, aku masih dengan kegelisahan yang sama, menanti jawabmu dalam hidup yang singkat dan melelahkan.

Sungguh.
Mengenalmu adalah janji yang masih hilang dari ingatanku.
Mengenalmu adalah tujuan hidupku.


Mataku berhenti pada satu titik
Pamit dari kegamangan yang tercipta antara peron stasiun dan kereta

Aku menimbang waktu diantara rupa-rupa manusia kereta,
Sambil membisikkan pertanyaan tentang Dia dan dia
Tetapi jawabnya hanya bising
Hingga kereta berhenti, tanda tanya masih berceceran di lorong-lorong gerbong,
Berhamburan dari hati, pikiran, dan saku celanaku

Begitulah.
Tumpukan tanda tanya ini berakhir dengan satu tanda koma.


Kita bukan siapa-siapa
Kemudian dipertemukan oleh sebuah perjalanan
Terlalu klise jika aku sebut ini kebetulan
Sementara lisanku masih tahu adab untuk tidak berucap pertemuan jodoh

Tetapi, jika kita percaya bahwa tidak ada kata bathil
Atas semua pertemuan yang Allah hadirkan
Maka aku memberi ruang  kepada semua untuk menyimpulkan judul dari semua pertemuan.


Di laut, pernah tercipta cengkrama antara kita, pasir, dan ombak,
yang riuhnya memanggil ikan-ikan kecil dari jerat jaring para nelayan.

Sekarang, aku katakan,
Yang tersisa dari laut ini hanya karang dan pasang-surut kisah kita.

Pun saat mata angin menangis, yang terdengar hanya nafas sesak dipenuhi aroma duka
Laut ini jadi terasa mati.


Aku berkurban cinta padamu Tuhan
Kiranya Kau dengar persaksianku ini
Adakah timbangan cintaku jadi penebus dosa?

Oh Tuhan,
Aku melepas cinta di musim senja
Sementara muara hati baru sekejap tertambat
Adakah Kau membaca sedihku Tuhan?

Oh Tuhan,
Bunuhlah berhala di hatiku, bunuhlah cintaku selain cinta-Mu.


Pada petang di hari Minggu
Aku menghirup setiap rindu pada puncak-puncak berbatu
Meraba jarak yang pernah kulalui untuk setiap jengkal tanah para pencari, di hari yang ramai dari hati yang sunyi.

Tahukah kau?
Setiap hari yang bertambah memupuk rinduku pada nama-nama puncak itu.
Aku terjebak dalam labirin antara hasratku untuk mencari diri yang sejati,
Yang kuyakini ada di ketinggian malam dan udara.


Petang merindu kelabu, meneteskan bunyi kenangan dalam hujan.
Ketika seorang gadis di kamar ini, ia sendiri
Bertanya-tanya malaikat mana yang membawa hujan petang ini.

Rupa-rupa rasa bertebaran di udara
Bercampur dengan aroma tajam hujan dan rumput basah

Seorang gadis di suatu petang, ia menari-nari sambil mendendangkan nyanyian hujan
Jauh menembus lamunan pada suatu hari ketika gugur si bunga delima
Ia tenggelam terlalu dalam sampai kering tawa dan air mata
Sebab ia menanti Sang Pujaan yang belum lagi datang hingga sepertiga malam.



Bertanyalah seorang gadis kepada langit
Akan kemana awan pembawa hujan;
Adakah mereka singgah hingga membuat mata-mata lelap terlalu dalam?

Bertanyalah seorang gadis kepada  laut.
Tentang luasnya yang memenuhi tiga perempat bumi, katanya
Benarkah pengetahuan Sang Pencipta mampu mengeringkannya hingga kering?

Bertanyalah seorang gadis kepada senja, yang menari-nari di antara merah, jingga, dan biru
Maukah esok ia masih mempir di ufuk yang sama?

Bertanyalah seorang gadis kepada hati: Siapa aku?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia