Jelajah Bandung si Kota Kenang-Kenangan

Halo-halo Bandung
Ibukota periangan
Halo-halo Bandung
Kota kenang-kenangan

Saya sepakat dengan Bapak Ismail Marzuki, Bandung itu memang kota kenang-kenangan. Kenangan pada hujannya, kenangan pada stasiunnya, kenangan pada perbukitannya dan kenang-mengenang lainnya yang akan jadi topik bercerita saya di posting kali kesekian ini.

Senin sampai Jumat tak pernah putus dari rutinitas pulang-pergi menggunakan KRL Commuter Line dari Stasiun Gondangdia menuju Stasiun Pondok Cina. Bagi yang seperjuangan dengan saya, kalian pasti hafal sekitar pukul setengah lima sore Commuter Line kita selalu tertahan oleh kereta jarak jauh, siapa lagi kalo bukan si Argo Parahyangan. Dari pertemuan setengah-lima-sore yang intens ini saya mulai penasaran, curi pandangan, bahkan pernah iseng dadah-dadah ke penumpang yang ada di dalam gerbong (haha ini jangan ditiru ya). Menurut saya si Gopar (nama beken Argo Parahyangan) tidak sopan, meski rajin  kami berpapasan tapi tidak juga saling berkenalan. Berangkat dari rasa geregetan itu, tumbuhlah niat untuk bisa berkenalan alias naik kereta Gopar.

Belakangan ini banyak sekali reklame iklan promo tiket KAI kelas executive dengan harga 30 ribu saja, ternyata promo tersebut dimotori oleh Traveloka, kebetulan di handphone saya sudah install aplikasi Traveloka, langsung deh cek tiket promo barang kali masih ada yang tersisa satu buat saya ke Bandung. Dalam sekejap jari-jemari sudah menari di atas layar handphone, scroll up-scroll down harga tiket, lihat-lihat tanggal yang cocok, dan self-talking pun dimulai..

"Wah tiket yang promo untuk weekend sudah habis, hiks"
"Yah maklum sih, namanya juga weekend"
"Tapi untuk yang kelas ekonomi harganya juga masih oke sih"
"Hmm oke, ambil ini aja deh"

Terpilihlah tanggal 29 September-1 Oktober 2017 sebagai hari ngebolang ke Bandung. Namanya lagi kesambet, saya langsung pilih tiket, isi data diri, dan bayar tiketnya. Padahal teman perjalanannya belum ada, hahaha.

Next saatnya cari-cari teman, japri si ini ajak-ajak si itu, hingga terkumpullah tim bolo-bolo chapter Bandung. Alright, tiket aman, teman perjalanan aman, tinggal menunggu hari H untuk berkenalan sama Gopar dan jelajah Bandung.

Teman perjalanan kali ini super istimewa, siapa sangka kalau saya bertemu lagi sama dua orang tetangga saat pendakian Rinjani, yakni Bang Mustakim dan Bang David. lepas dari pendakian Gunung Rinjani, kami memang masih rajin bersapa lewat sosial media. Kebetulan sekali para arek Suroboyo ini berdomisili di Bandung, jadilah perjalanan kali ini sekalian reuni sama tetangga Rinjani. Selain dua tetangga Rinjani, Bang Mus mengajak satu orang teman kerjanya bernama Mba Anita. Saya pun turut mengajak satu teman kantor, Novi namanya, benar-benar nih bocah, dia baru beli tiket saat last minutes, untung waktu cek tiket keretanya di Traveloka ternyata masih ada, hahaha. Maka tim bolo-bolo resmi beranggotakan lima orang.

Tim bolo-bolo Bandung (Bang Mus, Noviyanti Nobi, Hamba Allah, Mba Anita, Bang David)
Jumat, 29 September 2017

Ada sedikit drama saat hari keberangkatan saya dan Novi ke Bandung. Jam dinding telah menunjukkan pukul 3 sore, sementara kami masih berkutat dengan tumpukan tugas kantor. Walaupun izin pulang cepat sudah kami kantongi dari Pak Boss, ternyata masih ada sejumlah tugas yang tak bisa ditinggalkan,

"Nov, ini plan B ya, kalo ketinggalan kereta, kita naik bis ya"
"Hmm iya La, kita udah terlanjur janji juga sama abang-abang di Bandung, mereka udah nyiapin tenda segala macem"
"Duh masa sih tiket ini harus hangus? Sayang banget ya.. "
"Hmm iya sih la, ayo fokus kerja dan selesaikan semuanya sebelum jam setengah 4"

Di detik-detik kritis ini, akhirnya saya dan Novi berhasil menyelesaikan tugas kantor, saya lirik jam: 15.10, waw kami hanya punya sisa waktu 20 menit untuk sampai ke Stasiun Gambir, beruntung kantor kami hanya berjarak 1 km dari Stasiun Gambir. Kami bergegas naik bajaj menuju TKP.

15.20, kami berlari ke mesin cetak tiket, melintas dari pintu selatan ke pintu utara Stasiun Gambir. Beruntung sore ini tidak ada antrean panjang di depan mesin, segera kami cetak tiket, sementara tangan kiri sudah menggenggam erat KTP. Tiket selesai dicetak, kami lanjut berlari menembus kerumunan manusia menuju pintu masuk lantai 2. Daaan finally, kami sampai di depan kereta lima menit sebelum keberangkatan, fiuuuh.. hampir saja tiket ini hangus.

Oke drama tiket selesai, akhirnya saya di sini, di kursi penumpang kereta Gopar! Haha, saya ndak bisa sembunyikan betapa senang (dan alaynya) saya ketika bisa naik kereta Gopar. Lima menit berselang kereta pun berangkat, saya langsung memisahkan diri dari Novi, mencari bangku yang belum diisi oleh penumpangnya sembari menikmati drama kehidupan warga Jakarta-Bekasi dari layar kaca kereta. Tak lupa saya pakai earphone dan setel musik untuk jadi backsound-nya, mantaaap.

Akhirnya naik Gopar!!
Sebahagia itu gue naik kereta ke Bandung, dasar receh, hahaha
Saat tiba di Stasiun Bandung, kami disambut oleh gerimis yang ndak selow, yakni sejenis gerimis yang kalau diterobos bikin baju basah. Di parkiran, Bang Mus, Bang David, dan Mba Anita sudah siap dengan sepeda motornya. Wah wah.. saya masih nggak nyangka bisa bertemu lagi dengan tetangga. Ingatan saya kembali pada saat kami berpamitan di Pantai Merese Lombok, dan malam ini di sinilah kami bertatap muka lagi di bawah gerimis Kota Bandung (alaah drama). Bang Mus membuka pembicaraan,

"Kita makan malam dulu ya, kalian mau makan apa?"
"Ada apa saja di sekitar sini bang?" Saya menjawab sekenanya, untuk menghilangkan rasa grogi

Kemudian Bang David ikut sumbang saran

"Mau ke kafe? Mie ayam? Rawo.."
"Rawon!" jawaban kompak saya saya dan Novi
"Oke Gus kita ke warung brotherhood" pungkas Bang David.

Finally.. Stasiun Bandung!!

Begitulah malam pertama di Bandung kami lalui dengan menerobos gerimis. Jaket dan celana saya basah kuyup ketika kami tiba di depan Warung Makan Persaudaraan a.k.a warung brotherhood. Lepas makan malam, kami tak langsung diantar ke kosan Mba Anita. Kami sempatkan ngupi cantik ke sebuah kafe di tengah Kota Bandung, sekalian team building, mengakrabkan diri karena ada yang belum saling kenal.

Ngopi bang
Sabtu, 30 September 2017

Saya bukanlah tipe orang yang mempersiapkan sebuah perjalanan dengan sangat detail. Pada titik ini, saya baru paham, betap rapi dan terencananya perjalanan a la tetangga Rinjani. Sabtu pagi, saya masih berleha-leha di kasur ketika Mba Anita mengajak untuk pergi ke pasar. Mba Anita memaparkan gagasan menu makan malam di tempat camping: nasi liwet, ayam goreng, tempe orek, sambal terasi, dan lalapan. Saya suka dengan gagasan menu itu, tapi saya tak bisa masak... dan masih kangen kasur, haha. Sepertinya Mba Anita membaca niat bulusku, jadilah Mba Anita dan Novi saja yang belanja ke pasar. Hahaha.. Oke saya masih punya waktu 10-15 menit lagi untuk memejamkan mata, tarik selimut lagiii~

Kembali dari pasar hingga pukul 10 pagi geng emak-emak ini sibuk mempersiapkan logistik camping. Pukul 11 kami berkumpul, geng bapak-bapak sudah siap dengan bawaan tenda dan tas segede gaban, setelah berdoa bersama kami memulai perjalanan menuju tempat camping: Gunung Putri Lembang.

Kami mengandalkan gmaps untuk sampai ke tujuan. Kami jalan santai, saat lapar mampir dulu di warung mi ayam, saat dzuhur istirahat sejenak di masjid. Satu setengah jam berselang. Kami mulai memasuki jalan kampung yang berbatu dan menanjak tajam setajam kata-kata mantan. Di sisi kiri jalan mulai terlihat jelas lembah, bukit, dan teletubbies (serius, aku becanda). Lokasi Gunung Putri berada di ujung jalan, jadi kita tinggal mengikuti saja jalan kampung karena ujungnya akan 'mentok' di area parkir Gunung Putri. Lokasi camping ground berada di sebelah kanan jalan, untuk sampai ke camping ground rupanya kita harus 'sedikit' mendaki, lumayan bikin capek lah.

Retribusi camping Gunung Putri sebesar 17 ribu per orang, itu diluar biaya parkir motor 10 ribu per motor. Gunung Putri menyediakan sejumlah spot yang bisa dikunjungi, seperti area sunset cantik, spot sunrise di puncak Gunung Putri, hutan pinus bengkok, dan benteng peninggalan Belanda. Semua spot ini cocok dijadikan area camping, tinggal selera masing-masing saja mau dekat spot sunset kah? Mau dekat puncak kah? Mau adem-ayem di bawah pohon pinus kah? Atau uji nyali di benteng Belanda? Hehe.. yang pasti jarak dari satu spot ke spot lain cukup jauh dan bikin kaki gempor, jadi sebaiknya putuskan dari awal akan nenda dimana.

Puncak Bayangan, ternyata ini baru tempat lihat sunset-nya saja

Tim bolo-bolo sepakat untuk nenda di dekat puncak, alasannya karena sudah ndak kuat jalan lagi, hahaha. Tapi buat saya pribadi kami sudah camping di area yang paling pas, karena puncak Gunung Putri adalah spot terbaik jika ingin melihat pemandangan Kota Bandung yang menyemut di bawah sana.

Mendung-berawan seperti ini langitnya
However, lihat pemandangan seperti ini bikin mata dan hati adem

Sunset yang.. ah sudahlah
(Berusaha) Menikmati sunset
Gelap menyelimuti langit, masih diiringi rintik hujan. Suhu udara mulai turun, dinginnya cukup menggigit kulit sehingga membuat saya tidak bisa lepas dari jaket. Mba Anita mulai mengeluarkan amunisi sementara Bang David mempersiapkan peralatan tempurnya: waktunya kita masak-masak! Saya dan Novi sebagai anak bawang yang tidak bisa masak berakhir dengan tugas beli air di parkiran bawah, alamak.. capek sangat ternyata, kalau dipikir lagi kenapa waktu itu saya mau menerima tugas membeli air ya, hiks..

Oke lanjut, asap mengepul dari nasi liwet yang sedang dimasak oleh Bang Mus, suara minyak panas dan aroma ayam goreng yang diungkep spesial pakai bumbu micin semakin mengganggu konsentrasi. Setelah cukup bikin tetangga sebelah ngiler akhirnya masak-masak kelar, saatnya makan!

Nasi liwet, ayam goreng, tempe orek, dan lalapan sebenarnya bukan menu yang langka, toh sehari-hari saya biasa makan itu atau yang lebih wah lagi (gayamuu cah), tetapi dingin malam, kaki-kaki yang lelah mendaki, gerimis, suasana pegunung, dan kebersamaan dengan teman-teman ini membuat rasa makanan ini jadi enak berkali-kali lipat! Rasa-rasanya saya belum menemukan lagi ayam goreng yang lebih enak selepas dari perjalanan di Bandung ini.

Menu makan malam terbaiiik dimasak dengan kesabaran dan micin
Sambil makan Bang Mus mulai mendongeng tentang orang Madura, Bang David dan Mba Anita menimpali dengan bahasa Jawa yang tidak saya mengerti, Novi sibuk jadi penerjemah, dah saya mah nyimak aja, haha. Beres dengan urusan perut, kami berkumpul di tenda, menghabiskan malam dengan main uno pakai kartu remi (ini kocak! Haha), main ABC lima dasar, main jempol-jempolan, ayam-ayaman, pokoknya semua permainan zaman SD, tentunya dengan selingan berbagai banyolan yang saling tumpang tindih membuat kami tertawa sampai lelah, seakan lupa pada semua beban, masalah, dan umur *ups*. Setelah puas tertawa, menertawakan dan ditertawakan, rasa kantuk mulai datang, kartu dibereskan, sleeping bag dibentang, para abang-abang pamit ke tenda mereka, waktunya ikan bobo..

Minggu, 1 Oktober 2017

Selepas sholat subuh  abang-abang dan Mba Anita sudah sibuk di luar, kalau saya sih jangan ditanya: masih molor di tenda sampai pukul 6 pagi, hehe. Di luar langit masih menyisakan rintik-rintik halus air hujan, saat saya menengadah benar saja gumpalan awan seperti kapas berhamburan di seantero langit Bandung, tidak ada golden sunrise pagi ini. Tapi untungnya langit yang tidak cerah-pun tidak mendung- masih memberi ruang bagi sinar matahari, paling tidak saya jadi bisa menikmati pemandangan benteng perbukitan yang mengelilingi Kota Bandung, di sisi utara hutan rapat menghijau jadi hiburan mata, sementara di sisi barat menyembul puncak Gunung Tangkuban Perahu. 

Sunrise yang.. ah begitulah

Ini hutan yang saya maksud, beneran hutan kaaan

Rumah-rumah penduduk yang kayak semut
Setelah puas menikmati keramaian puncak Gunung Putri, saya kembali ke tenda. Para sesepuh tim bolo-bolo sudah sibuk dengan sarapan pagi, menunya bubur kacang ijo, duh nikmat Tuhan mana lagi yang mau saya dustakan.

Sarapan anak sehat yang tak terkontaminasi micin
Udara mulai menghangat ketika kami beres dengan sarapan pagi. Novi  pamit duluan karena harus berada di Bogor pada pukul 11 siang. Bang David dititahkan untuk mengantar Novi turun gunung sampai ke shelter bus di Kota Bandung (itu mah namanya nganterin, haha). Minggu pagi, tinggal kami bertiga di tenda ini. Kami mulai bongkar tenda. Tenda dilipat, pasak dicabut, tas ransel kembali nangkring di punggung. Sebelum pulang, kami melipir ke sebelah kiri bukit, ingin melihat pinus bengkok dan benteng Belanda. Pagi-pagi sudah bawa beban di pinggung ternyata capek juga, haha. Akhirnya Bang Mus mencari ilalang yang cukup tinggi untuk menyembunyikan tas kami, dan kami lanjut jalan tanpa membawa tas.

Setelah berjalan sekitar 200 meter, sampai juga deh di hutan pinus bengkok, wah saya kagum ternyata pohon-pohon pinusnya benar-benar bengkok! Entahlah sih itu bengkok secara alami (tertiup angin, mungkin) atau memang sengaja dibuat bengkok oleh manusia (yah macam pohon bonsai gitu lah). Kami duduk santai di bawah rimbunnya hutan pinus sambil mengamati orang-orang sekitar, ada yang sedang bebenah, ada yang baru datang, ada pula siswa-siswa SMP yang sedang outbond.

Tinggal bertiga doang

Can you spot those tilted pines?
Hmm pohon pinus sudah, tinggal ke benteng Belanda nih. Saya tengok Bang Mus dan Mba Anita, lelah terbaca dari wajah mereka. Sepertinya ndak mungkin saya paksakan untuk lanjut jalan ke benteng nih, dan kami pun belum tahu lokasi bentengnya dimana. Sambil duduk-duduk cantik, saya lihat ada toilet di ujung lapangan pinus, wah penasaran kira-kira itu toiletnya beneran bisa dipakai atau cuma bangunan lapuk ya?

"Bang, aku ke toilet dulu ya"
"Oke, kami tunggu disini"

Saya berlari-lari kecil sekitar 30 meter menuju toilet tersebut,

"Bu, punten, ini toiletnya bisa dipakai?"
"Oh bisa neng"

Toilet di camping ground
Ternyata toiletnya bisa dipakai, airnya banyak dan bersih, wah keberadaan toilet di camping ground itu membantu sekali, karena buat saya sih tujuan camping ceria itu supaya lebih nyaman dan ndak seliar di gunung, termasuk nyaman soal urusan ke 'belakang', baguslah kalau di Gunung Putri ada fasilitas toilet begini. Habis dari toilet, saya masih penasaran sama benteng Belanda.

"Bu, katanya disini ada benteng Belanda ya, itu disebelah mana bu?"
"Itu neng, yang dinding putih itu bentengnya?"

Si ibu menunjuk ke sebelah kanan, lah iya, memang ada dinding putih sih disana, ternyata itu toh bentengnya, kalau itu sih saya sudah lihat dari tadi, hehe. Saya tengok sebentar ke arah Bang Mus, ah ndak kelihatan, ketutupan pohon. Hmm sempat ragu apakah mau ke benteng atau tidak, takut Bang Mus dan Mba Anita menunggu lama, tapi sebagian hati ingin sekali ke benteng biar tuntas semua destinasi di perjalanan ini. Ah baiklah, kadung penasaran saya putuskan untuk mampir ke benteng, kayaknya ngga akan tega juga Bang Mus meninggalkan saya apalagi saya sedang jadi tamunya, yap pilihan yang Bang Mus punya ya cuma satu: tungguin saya sampai balik, haha.

Oke, saya kencangkan tali tas dan lari, ya literally lari, agar menghemat waktu gitu. Saya tahan rasa nyeri di kaki akibat pendakian naik sore kemarin, "Kepalang tanggung, kepalang tanggung".

Setelah berlari sekitar 200 meter, akhirnya sampai juga di depan benteng Belanda. Jujur nih, hawa di sekitar benteng memang agak seram, beberapa meter sebelum sampai ke benteng saya edarkan pandangan mencari manusia lain, untung ada serombongan anak remaja yang sedang asyik berfoto di sisi atas benteng. Oke good, saya tidak sendirian, kalau terjadi apa-apa toh ada mereka.

Iki loh gerbang benteng Belandanya

Zoom zoom

Nah ini foto dari ruangan dalamnya, creepy!
Benteng Belanda ini ukurannya kecil, di bagian bawah benteng ada ruang kosong menyerupai aula yang cukup lapang, saya masuk ke dalamnya. Untung saja hari masih pagi dan area sekitar benteng mendapatkan cukup sinar matahari, kalau malam.. duh nggak kebayang gimana horornya benteng ini. Saya tidak berlama-lama di benteng, mari segera kembali ke Bang Mus dan Mba Anita.

"Bang tadi aku ke bentengnya", sepik dulu biar ndak kena marah karena pergi lama banget
"Oh sebelah mana bentengnya?"
"Itu, yang dinding putih itu bentengnya. Yah kayak gambar google yang abang tunjukin ke aku sih"
"Hmm oke nanti kapan-kapan kalo aku kesini lagi, mau mampir ke bentengnya"

Dan kami pun melanjutkan perjalanan turun sampai ke parkiran, menghalau ngantuk bergegas pulang ke Kota Bandung. Kami sempatkan mengisi perut dulu di belakang kampus ITB. Karena badan yang sudah terlampau lelah, saya sampai tidak bisa menikmati lagi makanan yang tersaji, hahaha.

Inginnya hati sampai kosan langsung tidur, tapi apa daya saya harus mengejar kereta kembali ke Jakarta, hiks. Maka setelah sampai ke kosan Mba Anita, saya segera bersih-bersih badan dan packing barang. Sejurus kemudian Bang Mus sudah siap mengantarkan tamunya kembali ke stasiun. Tak banyak perbincangan di atas sepeda motor. Saya sibuk menikmati setiap sudut Kota Bandung, Bang Mus fokus nyetir. Tiba di stasiun, saya pamit dan segera berlari menuju mesin cetak tiket, lagi-lagi pakai drama karena waktu yang tersisa tinggal 10 menit. Akhirnya saya masuk ke dalam kereta, dapat posisi duduk di samping lorong sementara kursi samping saya masih kosong melompong. Dalam hati saya berdoa,

"Ya Allah, please, semoga bangku di samping hamba kosong, hamba pingin duduk di samping jendela niih"

Eh doa saya dikabulkan, sampai Stasiun Gambir orang yang semestinya duduk di samping saya tidak datang-datang, haha betapa senangnya.

Saat berangkat, saya tidak bisa melihat pemandangan apa-apa karena hari sudah petang. Tetapi lagi-lagi saya dapat kado di perjalanan ini, sebagai penutup perjalanan saya dapat menikmati kesyahduan pemandangan Bandung-Purwakarta dari jendela kereta. Sering saya dengar soal keindahan pemandangan lintasan kereta Jakarta-Bandung tapi baru kali ini dapat melihat langsung, dan ini memang  benar-benar indah! Rel tunggal membelah area sawah sengkedan, sedang di seberang sawah berdiri kokoh jalan tol layang dengan hiruk-pikuk kendaraannya, di ujung yang lebih jauh lagi ada Waduk Jatiluhur yang mencuri pandang. Posisi rel lebih tinggi dari persawahan, hampir sejajar dengan tiingginya tiang beton yang menyanggah jalan tol. Relief naik-turun ini semakin lengkap dengan perbukitan yang jadi latar pemandangan, Kota Bandung makin tertinggal jauh di belakang bersama gema lokomotif dan kenangan.

Tak fokus :(

Soalnya pas difoto keretanya lagi jalan :(
Tiga jam berlalu, kereta Gopar mengantarkan saya kembali ke titik awal perjalanan, Stasiun Gambir. Hujan rintik masih setia membersamai perjalanan saya menuju Kota Bogor untuk menyusul Novi dan realita: tugas-tugas kantor yang menuntut untuk diselesaikan.

Sebelum turun kereta, foto duluu


Informasi Tambahan:
Ini nih koordinat Gunung Putri Lembang:

https://www.google.co.id/maps/place/Gunung+Putri+Lembang/@-6.8015895,107.6308305,17z/data=!4m5!3m4!1s0x2e68e05a4048dbf5:0xe4065e4e8662d324!8m2!3d-6.8015848!4d107.6330192

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia