Banyuwangi: Dari Belerang Kawah Ijen Sampai Debu Baluran

Bismillah.
Hai hai, selamat datang di blog saya. Tahun 2018 yang lalu intensitas saya dengan blog memang agak berkurang karena berbagai kesibukan di dunia nyata. Masih banyak 'hutang cerita' yang belum sempat saya bagian di blog ini, seperti pendakian 'girl power' ke Papandayan, jalan kaki keliling Singapura, mantai ke Bunaken, hingga nyobain the real tuna fish di Gorontalo, so tunggu tanggal mainnya ya #promosi

Nah, dari sekian banyak hutang cerita itu, ada satu yang ingin saya share terlebih dahulu, yakni sesi ngebolang ke Banyuwangi. The sunrise of Java ini sudah lama masuk dalam list must visit places saya, tapi karena lokasi yang memang jauh banget dari Jakarta dan keterbatasan anggaran jadinya tahun 2018 baru bisa terwujud, alhamdulillah. Keberhasilan mewujudkan perjalanan ini adalah juga berkat jasa teman perjalanan saya yakni Faisal..... Oh iya kenalan dulu deh, selama di Banyuwangi saya bersama 5 teman sejawat kece yakni Faisal, Ela, Irvan, Ebot, dan Aziz. 3 orang mas-mas ini adalah teman kantor Faisal, sementara si Ela temen kosan saya.

Ok balik lagi ke jasa Faisal, pada awal tahun 2018 kami bikin grup "Bismillah Banyuwangi 2018". Lalu, Faisal memperkenalkan 'program unggulannya' yakni menabung, yaps, dari awal tahun kami diwajibkan nabung khusus untuk jalan-jalan ke Banyuwangi. Hingga tibalah waktunya yakni bulan Agustus 2018, tabungan kami sudah mencapai target.

Tiket dibeli, penginapan di-booking, dan terwujudlah impian kami untuk ngebolang ke Banyuwangi, betapa senangnya! Oh iya mau pamer dikit ah, di chapter ngebolang ini kami berangkat menggunakan pesawat C*tilink dari Soeta-Banyuwangi, pulangnya naik KAI eksekutif, asik, the power of menabung! Ehem.. Kalau yang sering baca catatan perjalanan saya yang lain pasti paham biasanya saya tergolong dalam traveler kere :')

Bicara soal travelling ke Banyuwangi pasti kita akan segera terbayang dengan pemandangan blue fire Kawah Ijen yang spektakuler, atau serunya bermain voli pantai di Pantai Pulau Merah. Yap, dua destinasi unggulan ini pun masuk dalam itinerary kami. Tapi selain tempat-tempat itu, ada beberapa destinasi yang tak saya bayangkan sebelumnya, apalagi jalan-jalannya sama teman yang asik sehingga membuat trip ini berkali lipat serunya. Mau tau keseruannya kayak apa? Lanjut dibaca ya mylov~


Udah kayak salju belum? 😀
Rabu, 15 Agustus 2018

Menilik ulang perjalanan di Agustus lalu, saya dan teman-teman berkumpul pagi-pagi di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng. Dengan gaya necis khas wisatawan kami berangkat menuju Banyuwangi. Siang terik kami tiba di Bandara Banyuwangi dan langsung meluncur ke penginapan dengan Grab (yups, di Banyuwangi sudah ada Grab dan Gojek manteman).


Tim hore telah mendarat Komandan!
Kami bermalam di sebuah homestay dekat Stasiun Karangasem Banyuwangi, dan serunya homestay ini gratis-tis-tis (tentunya atas berkat jasa Suhu Faisal 🙌🏽). Sore pertama di Banyuwangi, kami mengeskplor tempat-tempat di sekitar stasiun saja guna menjaga kondisi fisik jelang pendakian Kawah Ijen.

Kondisi homestay gratisan, main hape terooos
Dari informasi seorang bocah yang sedang asyique bermain bola, kami disarankan untuk mengunjungi kandang luwak, otak saya langsung membayangkan peternakan dengan bau kotoran hewan, hmm. Sesuai ancar-ancar dari si bocah tadi, maka kami berjalan sekitar 100 meter ke arah selatan Stasiun Karangasem, hingga kami tiba di depan sebuah rumah dengan taman yang luas dan asri. Oh rupanya kandang luwak yang dimaksud adalah sebuah kedai kopi dengan konsep garden house, lengkap dengan lampu-lampu gantung di atas meja pengunjung, "Kampung Luwak Karangasem" namanya. Kedai ini sangat nyaman, tersedia meja indoor atau outdoor bagi pengunjung; saya merekomendasikan untuk mengambil meja outdoor selagi langit tak sedang mendung.


Kampung Luwak Karangasem  nih gaes~
Menu andalannya tentu saja kopi luwak, selain itu terdapat kopi nusantara, kopi dari petani lokal Banyuwangi, serta berbagai cemilan untuk teman ngopi. Harganya termasuk cukup murah berkisar 10-50 ribuan, apalagi melihat betapa nyamannya lokasi kedai ini: teduh dan jauh dari polusi udara. Soal kandang luwak ini, ternyata si bocah tadi nggak keliru loh, kedai ini hanyalah satu bagian dari keseluruhan area rumah pribadi si pemilik kedai, di sana juga terdapat kandang luwak peliharaan pemilik kedai yang bisa dilihat oleh pengunjung pada waktu-waktu tertentu.

Masih di sekitar Stasiun Karangasem Banyuwangi. Tak jauh dari Kampung Luwak Karangasem, kita akan melewati deretan pohon jati di kebun milik warga. Mungkin tak ada yang istimewa dari kebun tersebut saat siang hari, tetapi cobalah datang petang-petang, maka kita akan melihat rutinitas alam yang cantik di tempat ini. Kebun jati ini berada pada bagian tanah yang cukup tinggi dan menghadap ke barat, sehingga saat petang tiba kita dapat menyaksikan siluet pepohonan jati yang serasi dengan gradasi langit jingga-merah-ungu. Nah, berhubung hutan jati ini bukan tempat yang sengaja disediakan sebagai arena wisata, kami langsung pulang setelah senja berlalu, karena area ini akan jadi gelap gulita layaknya hutan.

Mantul juga sunset-an di sini
Keliatan ga sih itu ada bulan sabitnya
Malamnya, kami ke Kota Banyuwangi untuk mencoba makan di restoran. Kami meluncur ke restoran Jaran Goyang. In my opinion nih ya, rasa makanan di resto ini biasa saja, padahal harga makanannya cukup mahal. Nah kebetulan banget pada November 2018 saya dapat tugas kantor ke ke Banyuwangi, waktu itu saya sengaja mau "balas dendam" menuntaskan wisata kuliner yang agak fail. Alhamdulillah puji syukur saya ketemu tuh sama restoran yang enak rasanya murah harganya, namanya Srengenge Wetan: Traditional Osing Food & Coffee, disini manteman bisa merasakan kuliner khas Banyuwangi dengan penyajian yang bersih dan tempat yang nyaman, saya waktu itu pesan soto pecel dan ayam penyet, dan milkshake red velvet, semuanya enak banget!

Kamis, 16 Agustus 2018

Sejatinya persiapan pendakian ke Kawah Ijen sejak hari Rabu malam. Setelah makan malam, jam 22.00 kami tiba kembali di penginapan, kami bersih-bersih badan dan tidur. Alarm sudah di set jam 23.00. Jujur sih badan saya capek banget sebenarnya, tapi karena ini judulnya lagi travelling mau gak mau saya paksain bangun, sambil siap-siap saya bicara ke diri sendiri "Ini nih buat ke Ijen gue rela bela-belain cuma tidur 1 jam dan bangun malam-malam, kalo gue masih males-malesan ibadah ke Tuhan, kebangetan!", oke sesi tausiyah selesai, lanjut lagi ke persiapan menuju Ijen.


Sekitar jam 23.30 kami ready di atas jok motor, jarak tempuh dari Stasiun Karangasem menuju basecamp Kawah Ijen adalah sekitar 2 jam. Semakin dekat ke tempat tujuan, suhu udara semakin turun, lama-lama beneran dingin buanget sampai-sampai jaket yang saya pakai udah nggak mempan untuk menghalau dinginnya Ijen, ini jadi catatan juga buat teman-teman yang berniat menuju Ijen pakai motor, harus rela kedinginan yaa! Tiba di parkiran basecamp Ijen, kami langsung cari warung makan yang paling pw, tancap gas pada pesan minuman hangat dan indomi rebus, pssst.. Meski pun di tempat wisata harganya relatif murah loh. Kami berbincang banyak dengan pemilik warung, minta wejangan demi keamanan pendakian. Sebelum memulai pendakian si Bapak pemilik warung menawarkan kami sewa masker dengan harga 20 ribu per masker, tetapi kami menolak. Dan ketahuilah bahwa selama pendakian Ijen, masker macam Death Trooper Star Wars ternyata adalah benda wajib, dan sewa 20 ribu itu ternyata murahhh, karena saat di atas harga sewanya naik :')

Jam 01.00 dini hari kami mulai pendakian. Sebelum mendaki kami beli tiket dulu ke basecamp yang harganya hanya 5 ribu perak, beneran murah banget cuy, sementara di antrean pengunjung WNA harga tiketnya 350 ribu, maka bersyukurlah kita sebagai Warga Negara Indonesia. Pendakian dimulai dengan jalur tanah liat yang menanjak, terus menanjak.. dan ternyata sampai puncak Ijen memang jalurnya menanjak terus gaes, minim bonus :')

Di sepanjang jalan kita akan banyak melihat gerobak becak yang bisa mengantarkan kita naik-turun puncak Ijen dengan biaya sekitar 200 ribu kalau nggak salah. Nah, catatan penting yang saya peroleh dalam perjalanan menuju puncak Ijen ini adalah.. saya terlalu menganggap enteng Kawah Ijen. Iya, memang benar ini bukan tipikal gunung 3000 mdpl lebih, tapi nyatanya pendakian ke puncak Ijen bikin ngos-ngosan banget! Dan gunung ini dingin sekali.. entah karena saya kebetulan datang ketika titik terdingin Ijen atau memang sedingin itu yah.. Total pendakian menuju puncak Ijen adalah 4 jam, bukan main. Kejutannya tidak berhenti sampai di situ saja, rupanya untuk menuju Kawah Ijen kita harus turun ke bawah, dengan jarak sekitar 1 km. FYI juga, bulan Agustus adalah peak season-nya wisatawan dari Perancis berkunjung ke Kawah Ijen, bahkan dalam pendakian kemarin saya dkk jadi 'minoritas' loh, kayaknya 95% pengunjung adalah wisman, 5% nya adalah WNI dan para guide/porter lokal. Dampak dari membludaknya pengunjung dari Prancis adalah jalur menuju kawah Ijen macet total, padahal jalurnya hanya berupa jalan setapak di antara bebatuan rawan longsor, harus dipakai bergantian oleh pengunjung yang hendak naik maupun turun, tak sedikit saya dengar para wisman ini keceplosan bilang "crazy", "human jam", dsb.

Bukan hanya human jam, jalan turun menuju Kawah Ijen terasa semakin berat karena angin dingin menusuk tulang serta bau belerang yang sangat menyengat. Meski pun jaraknya tak seberapa, tetapi bagi saya pendakian menuju Kawah Ijen masuk dalam daftar pendakian terberat yang pernah saya lakukan, tak lain karena keberadaan belerang yang lama-lama bukan hanya mengganggu indera peciuman, tetapi juga membuat mata dan kulit saya periiiih... Kami sudah kesiangan untuk berburu blue fire, karena blue fire Kawah Ijen hanya muncul pada pukul 4 dini hari, sementara kami saja baru turun jam 5 dan saat itu blue fire-nya tinggal sedikit sekali.

One and the only blue fire yang berhasil tertangkap kamera saya, abis itu hilang udah. Sebenarnya terlihat lebih jelas dengan mata langsung
Beberapa kali saya mengurungkan niat untuk turun ke kawah, rasanya pingin balik saja ke atas lagi karena tidak kuat dengan aroma belerang yang perih dan menusuk. Ela menguatkan saya untuk terus lanjut turun ke kawah meski harapan untuk melihat blue fire sudah pupus. Di tengah lautan manusia dan kontur bebatuan rawan longsor, saya sempatkan menepi untuk sholat subuh, itu pun sholatnya terpaksa sambil duduk karena benar-benar tidak ada space untuk sekadar melaksanakan sholat dengan proper. Dengan perjuangan luar biasa, akhirnya pukul 6 saya, Irvan, dan Ela berhasil tiba di kawah Ijen, kami terpisah dari Faisal, Ebot, dan Aziz. Dan ternyata.. di kawah Ijen ini ada danau! Serius saya tuh nggak tau dan sengaja nggak cari tau kawan Ijen itu seperti apa, biar surprise gituh.. Dan alhamdulillah pagi itu keindahan kawah Ijen beneran jadi surprise buat saya, rasanya nggak rugi meski tidak melihat blue fire 'full version'. Air danaunya hijau tosca dikelilingi tebing warna putih yang membuat suasana seperti musim dingin.

Masya Allah kawahnya 😍
Kabut? No. Ini asap belerang semua 😵
Naa ini sumber terbesar belerangnya, para penambang belerang pada ambilnya di sini 
Setelah menikmati suasana kawah, kami bersiap kembali ke puncak Ijen, huff luar biasa kan setelah capek turun, mau pulangnya juga harus naik lagi sis. Tapi, di sepanjang jalan naik ke puncak, kami tak henti-hentinya takjub dengan rekahan tanah di sekeliling kawah, dan makin takjub rasanya saat menyadari kami sebenarnya jalan menyelinap menyusuri rekahan kawah ini~

Mari mencari yang mana orang yang mana batu~

Nanjaknya bener-bener nanjak, mau pulang aja susah istilahnya mah :"

Di puncak Kawah Ijen kami bertemu kembali dengan trio kwek-kwek Faisal, Ebot, Aziz. kami rehat sebentar, makan roti dan minum sambil menikmati hangat sinar mentari yang mulai naik dari ufuk timur. Permainan cahaya sinar matahari dan bayangan punggung bukit cakep banget! Sesuatu yang paling pas kalau dilihat langsung, tak tertangkap kamera soalnya. Setelah mengembalikan sedikit energi, kami lanjut turun ke bawah.


Nah ini view di puncak Gunung Ijen (tempat yang saya foto ini bukan titik puncak tertingginya ya). Sebelah kanan ke arah kawah, sebelah kiri jalur ke basecamp. Nah di sini ada  beca orang.
Pagi begini baru deh terlihat jelas jalur macam apa yang kami lalui semalam, benar-benar curam gais, haha pantesan aja semalam capek banget mendakinya.. Tapi, jalur ini juga cantik, pohon cemara dan berbagai jenis pohon lainnya bikin mata dan hati jadi adem.. dan masya Allah-nya lagi di pagi yang cerah ini kami dapat melihat puncak Gunung Raung berdiri kokoh di kejauhan, wuah rasanya aliran darah saya terpompa makin cepat saking senangnya bisa lihat Gunung Raung, semoga suatu saat bisa mendaki ke sana ya Allah, aamiin!

Kami benar-benar di atas awan (bukan kabut loh)  waaw. Puncak yang memanjang di sebelah kanan foto ini adalah puncak Gunung Raung  loh 😍
Jalur pendakian Gunung Ijen nih~
Sampai di basecamp, kami kembali menyerbu warung subuh tadi, pesanannya masih sama: indomi rebus, hahaha. Setelah mengisi energi, kami lanjutkan perjalanan balik ke homestay dengan badan yang bau belerang kayak apa tau.

Sekitar jam 10 pagi, kami tiba di homestay, tujuan pertama adalah antre mandi. Asli deh ini bau belerang nyengat banget dan kata bapak warung basecamp ga cukup dicuci pakai deterjen, harus direndam pakai sunlight (it works gais!). Setelah mandi, kami tidur.. serius saya tuh udah lama ga ngerasain ngantuk yang teramat sangat parah sampai-sampai saat tidur pun gak mimpi apa-apa. Sekitar jam 1 siang barulah kami terbangun satu per satu. Bukan tanpa sebab loh.. Agenda kami hari ini belum selesai, destinasi selanjutnya adalah Taman Nasional Baluran, yuhuuu~


Kami bangun malas-malasan dan kembali antre ke toilet, bersiap-siap untuk sholat dzuhur. Kami sengaja tidak makan siang dulu karena mengejar waktu menuju Baluran. Selesai persiapan ini-itu, kami ready kembali di atas jok motor. Dari Stasiun Karangasem menuju Baluran menempuh waktu sekitar 1 jam. Bertepatan dengan azan ashar kami tiba di gerbang masuk TN Baluran, kami ke pos penjaga dulu untuk beli tiket masuk, harganya kalau tak salah 20 ribu per orang. Kemudian, sholat ashar dulu di mushola dekat gerbang Baluran. Dari gerbang ini aja hawa-hawa TN Baluran terasa banget karena cukup banyak monyet yang berkeliaran, bikin excited deh! Kelar sholat perjalanan menuju sabana Baluran pun dimulai. Jalannya masya Allah sekali gais... berbatu dan penuh debu. Kasihan sebenarnya sama motor sewaan ini, cuma yaa gimana lagi :')


Jalannya masya Allah.. kita akan melewati jalan rusak berdebu begini sekitar 45 menit loh
Kalau punya dana lebih sih saran saya sewa mobil jeep deh, beneran. Beberapa kali motor kami terpeleset karena jalan bebatuannya nggak selow banget, pantang mundur kami lanjut jalan terus sekitar 45 menit hingga akhirnya tiba di sabana Baluran, yeaay.
Baru sampai udah dilarang masuk #eh
Hal pertama yang kami cari adalah makan, hahaha. Kali ini makan yang bener pakai nasi dan lauk kok. Nah, di area TN Baluran ini cuma ada 1 warung penjual makanan dan minuman, awalnya kami ragu soal rasa dan harga, cuma yaa gimana lagi cuma itu satu-satunya. Kami pun sama-sama pesan sego ayam goreng khas Banyuwangi. Saat ditanya harga ternyata hanya 15 ribu, fiuuh hati jadi tenang. 15 menit menanti akhirnya makanan ready juga, dan ternyata... ini nasinya enak banget sih beneran sampai saya terharu :')

Kamulah satu-saatunya~ Penginapan yang ada di Baluran, di sampingnya ada penjual nasi yang enak banget banget banget.
Mana lagi laper-lapernya, belum ketemu nasi setelah pendakian melelahkan, lalu motoran nun jauh sampai ke ujung Baluran.. kesimpulannya adalah kalau kalian ke TN Baluran kalian harus cobain sego ayam goreng di sini, rugi deh kalo nggak coba!
Nasi putih anget, ayam goreng, terong goreng, lalapan, ikan asin, sambal rawit: enak banget!!! . Duh gue nulisnya aja sambil kebayang betapa enaknya ayam ini 

Perut kenyang hati senang, kami lanjut eksplor padang rumput itu loh yang ada sebatang pohon di tengahnya, ini semacam lansekap ikoniknya Baluran sih, saya ingat sekali saat pohon sebatang ini jadi latar tempat di salah satu scene film Jilbab Traveler, bayangkan pemandangan yang wild ala-ala Afrika bersanding dengan ketampanan Morgan Oey duh pemandangan indah deh 😆.

Ini loh batang pohon yang ikonik ituuu
Sungguh pemandangan yang indah 😍
Setelah melihatnya langsung, I admit, sabana di Baluran ini memang keren, apalagi di pinggiran padang rumputnya banyak dihiasi ornamen tulang kepala kerbau yang membuat suasananya jadi macam perkampungan cowboy gitu.
Ashiaap

Tulang banteng apa ya? Atau kambing? Rusa? Kerbau?
Dan yang tak kalah menariknya, di area Baluran ini kita akan benar-benar melihat berbagai macam hewan bebas berkeliaran di sekitar kita, mulai dari kera, rusa, ayam hutan, anjing, dan burung.
Gagah 🐂
Nah untuk keluarga unggas-unggasan ini saya perhatikan kalau di Baluran banyak sekali spesies unggasnya, benar buku yang pernah saya baca berjudul Burung-Burung Taman Nasional Baluran (pdf nya bisa di-download disini). Ini adalah pengalaman yang menyenangkan buat saya, selama ini saya hanya melihat langsung hewan-hewan liar di kebun binatang, paling bantar di Taman Safari yang hewannya tidak dikandang, tapi di Baluran ini saya benar-benar mengamati dari jauh saat hewan-hewan ini makan dan hidup di habitat aslinya, ditambah suasana Baluran yang jauh dari segala macam jenis kebisingan membuat sense of wild nya makin terasa, sangat menarik! Jadi buat saya pribadi sih tak perlu jadi mahasiswa kehutanan atau biologi pun saya tetap bisa menikmati atraksi alam yang ada di Baluran :) *drum roll* ini dia photo bomb hewan-hewan yang berhasil difoto pas saya ke Baluran

Sans banget mereka mondar-mandir di jalan

Ayam hutan yang berhasil kefoto, larinya cepet bangetttt
  
Makan sore

Hati-hati gaes, mereka cukup galak sama manusia
Nah cerita perjalanan ke Banyuwangi ini akan panjang, saya rencananya membaginya dalam 2 atau 3 part supaya nggak capek bacanya, di hari selanjutnya kami akan puas lari ke hutan melipir ke pantai 😃

-to be continued-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia