Ketika Saya Pertama Kali ke Papua

Bismillah.

Sudah cukup lama saya idle di blog ini, saya sedang berada pada titik bingung dan kehabisan ide untuk menulis cerita haha #terlalujujur. Namun baiklah, saya coba memulai lagi proses menulis cerita perjalanan. Kali ini bukan perjalanan yang baru, yah dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini tentu saya dan kita semua sedang tak bisa bebas kemana-mana. Jadi, saya akan memutar kembali episode perjalanan di akhir tahun 2019, mari kita mulai ceritanya :)

Tebak ini di mana?
Nggak terasa banget, tahun 2019 sudah tinggal hitungan hari. Banyak hal yang terjadi dalam hidup saya di tahun ini: bertemu dan berpisah dengan orang-orang, pergi ke tempat-tempat yang tak terduga, termasuk tentang hal istimewa tentang perjalanan ke Papua. Papua merupakan salah satu dream land deretan atas dalam wish list saya. Tahun 2018 saya pernah hampir berangkat ke Papua saat masih kerja di kantor yang lama, tapi batal karena pas banget dengan jadwal tes di kantor yang sekarang, harapan untuk menginjakkan kaki ke tanah Papua pun tertunda. Satu tahun berselang, siapa sangka Allah buat saya jadi berangkat ke Papua melalui pekerjaan yang sekarang, ajaib :)

Sebenarnya tidak banyak tempat yang saya kunjungi karena keterbatasan waktu dan cuaca mendung sendu selama jawatan, jadi waktu saya kebanyakan dihabiskan di Kota Jayapura, ibukota Provinsi Papua. Pun begitu, ada satu tempat yang alhamdulillah dapat saya kunjungi dan menjadi highlight dalam perjalanan ini, saat di Papua saya mengunjungi... Haha, pokoknya suatu tempat yang nggak pernah saya sangka.

Selasa, 17 Desember 2019

Bagi yang pernah ke Papua pasti sepakat, bahwa se;ain ongkos yang mahal, hal yang tak kalah effort soal perjalanan Jakarta-Papua adalah jam penerbangannya. Masih segar di ingatan saya Senin pagi itu saya sibuk dengan berbagai hal di kantor, padahal dini hari nanti saya akan melakukan penerbangan jauh menuju Jayapura, yah dengan estimasi check in ini-itu paling telat saya sudah harus naik Bus Damri jam 21.00. Kembali lagi ke hari Senin yang super sibuk, untungnya saya sudah siapkan koper dan segala keperluan lain sejak dari Minggu pagi. Jadi, pukul 16.00 tepat saya langsung pulang ke kosan, mengambil sedikit jeda waktu untuk istirahat, dan bergegas menuju Bandara Soetta pada pukul 21.00, semua berjalan sesuai rencana. Tiba di ruang tunggu, saya agak deg-degan sebenarnya, melihat mayoritas orang yang mengisi ruang tunggu ini saya dapat menebak kalau pesawat akan didominasi oleh penumpang pria. Dan benar saja, jumlah penumpang perempuan bisa dihitung jari, tidak termasuk awak kabin. Penerbangan ini memakan waktu 5 atau 7 jam (saya lupa persisnya), begitu pesawat take off dan sudah stabil di udara, saya meminta staf kabin untuk pindah tempat duduk supaya sendirian, dan untungnya saat itu banyak row yang kosong di belakang. Dan begitulah perjalanan ini saya awali dengan jadwal waktu yang padat, penerbangan panjang, serta mencoba tidur malam di pesawat.

Mata saya disilaukan oleh cahaya dari luar jendela pesawat, pelan-pelan saya terjaga. Sudah pagi. Saya cek airplane navigation dari layar, hmm sekitar satu jam lagi saya akan tiba di Jayapura, Papua. Dari sini saya sudah tidak bisa tidur, saya nggak sabar melihat tanah Papua dari udara. Jadilah saya memperhatikan ke luar jendela, yang saya yakini saat itu mungkin pesawat kami sedang berada di atas kepualauan Maluku.

Bukan iklan maskapai ya
Satu jam berlalu, pesawat mulai mengudara di atas sebuah daratan, ini pasti Papua! Semuanya hijau, hijau, dan hijau, satu-dua lembah terlihat jelas dari udara. Pesawat mulai menurunkan altitude-nya. Semakin jelas terlihat kalau hamparan hijau di bawah kami adalah hutan dengan kontur lembah yang tingg-rendah. Kemudian, pemandangan jadi semakin menarik karena pesawat mendekati area danau yang sangat luas, apa lagi kalau bukan the one and only Danau Sentani, bayangkan ketika pagi Anda diawali dengan terbang di atas danau ini :)

Pelan-pelan mulai mendarat
Pesawat kami terbang makin rendah, lembah dan hutan mulai berganti dengan bukit teletubbies. Pagi itu langit mendung, sehingga bukit teletubbies di sekitar Danau Sentani tidak berwarna hijau cerah, hmm begitu saja sudah oke pemandangannya, gimana kalau langit cerah ya.. Pasti jadi indah banget. Nevertheless, it was one of markable moment to start my trip at Papua, I bravely say, pengalaman landing pesawat di Bandara Sentani adalah salah satu pemandangan terbaik selain landing 'dari laut ke pantai' di Bandara Ngurah Rai Bali :)

Halo Sentani :)
Oke lanjut, masih di hari Selasa yang amat panjang ini, saya tiba di lobby Bandara Sentani sekitar pukul 7.30, dari sini saya harus segera ke Kota Jayapura untuk menyelesaikan pekerjaan, tentu saja dengan kondisi belum mandi dan hanya membawa 1 tas punggung (li*n air=ga dapat jatah bagasi). Dari Bandara Sentani menuju Kota Jayapura membutuhkan waktu sekitar 1 jam (dan di akhir posting akan saya tulis hal penting soal perjalanan menuju Bandara Sentani). Di mobil saya touch up sebisanya (teteup ya sis), sarapan roti, dan membuka-buka lagi file kantor untuk dipelajari. Pukul 8.30 saya tiba di kantor Dinas Perpustakaan Provinsi Papua, dan menyelesaikan pekerjaan.

Pukul 14.00, pekerjaan sudah, makan siang juga sudah. Staf di sini menawarkan sesuatu yang nggak saya duga sama sekali, yakni... Mengunjungi perbatasan Indonesia-Papua New Guinea 😦 Ehmm.. Saya berusaha senyum sok cool, padahal dalam hati, "Ini beneran nih gue diajak ke Papua New Guinea??? Gils!!" Sudah bisa ke Papua saja saya senang, dan tiba-tiba dapat tawaran untuk ke Papua New Guinea, wow daebak, tentu saja saya sudah sering dengar nama negara ini dari kecil, tapi nggak pernah sangka kalau bakal mendapat kesempatan menginjakkan kaki ke PNG. Kembali ke kesadaran, saya mengiyakan tawaran tersebut, tetapi berkali-kali juga saya memastikan bahwa ini tidak akan merepotkan mereka. Akhirnya kami berangkat, para staf mengingatkan saya bahwa kami harus cepat karena pukul 4 sore area perbatasan sudah ditutup. Maka, dengan ditemani 3 orang staf berangkatlah kami menuju Kabupaten Keroom, tempat di mana perbatasan itu berada, dan nama area perbatasan Indonesia-PNG ini adalah Skouw, I'm not sure juga apakah cara penulisannya pakai huruf kapital semua atau cukup di awal saja, jadi maaf ya kalau agak salah.

Awalnya saya kira dari Jayapura ke Skouw itu dekat, paling setengah jam. Ternyata, setelah saya lihat maps jarak dari Kota Jayapura-Skouw PP adalah sekitar 70 km, haha jauh cuy! Di perjalanan berangkat dan pulang kita akan melewati 2 spot ikonik dari Kota Jayapura, yakni tol laut dan Jembatan Youtefa. Selama otw ke PNG saya baru sadar, ternyata Kota Jayapura itu kota yang dekat banget sama laut, begitu pun sepanjang perjalanan ini, rasa-rasanya kami sedang menyusuri pantai di setengah perjalanan. Tak lama setelah masuk Kabupaten Keroom barulah landscape berganti jadi area hutan. Saya perhatikan tidak ada lampu jalan di sini, jadi harus beware banget soal manajemen waktu supaya tidak kemalaman. Di area hutan ini, akan ada pos tentara yang akan menyetop mobil kita untuk pemeriksaan, kebetulan staf yang menyetir mobil ini sudah sering ke Skouw sehingga pemeriksaan yang dilakukan tidak terlalu lama, kami diingatkan untuk kembali ke Kota Jayapura sebelum jam 5 sore.

Sepanjang jalan menyusuri pantai
Dari pos tersebut, mobil kami melaju sekitar 15 menit sampai  di area mirip seperti pasar, atau alun-alun ya? Mereka sih menyebutnya pasar, tapi bagi saya lebih mirip alun-alun karena barisan tokonya terlalu sedikit untuk disebut pasar. Dari pasar tersebut, kita cukup mengikuti jalan aspal yang hanya satu-satunya, ga ada belokan persimpangan jalan sis. Dari yang tadinya mata hanya melihat pantai dan hutan, kini menara-menara pengawas mulai nampak, nah sudah mulau terasa nih hawa-hawa perbatasannya. Menurut saya, kompleks Skouw ini mirip seperti kantor Bupati, hehe. Saat kita masuk, tengah-tengah kompleks ada bangunan utama (gedung imigrasi), di sisi kanan kompleks berbatasan dengan bukit, sedangkan di sisi kiri kompleks ada gedung-gedung (atau markas?) dan menara. Di sini banyak sekali pasukan TNI yang berjaga, pun saat kendaraan kita masuk, anggota TNI akan langsung memeriksa para penumpang kendaraan, akan ada interogasi singkat tentang asal dan tujuan kita berkunjung ke Skouw, dan  kita harus meninggalkan salah satu KTP dari anggota rombongan yang bisa diambil kembali saat mau pulang.

Oke lanjut, dari 'halaman kantor Bupati' ini, kami menuju spot ikonik selanjutnya, yakni tulisan 'SKOUW' seperti foto di bawah, hmm apa ya istilahnya, reklame? Bukaan. Setelah berfoto sambil menghadap matahari yang super terik, kami melanjutkan ke pos imigrasi. Sejujurnya saya sudah siapkan paspor--kalau ke luar kota saya memang suka bawa paspor sebagai cadangan KTP. Rupanya, di Skouw ini ada dua jalur imigrasi, yakni jalur tradisional dan jalur biasa. Kalau jalur biasa kita harus pakai paspor atau dokumen imigrasi lain seperti pada umumnya, tetapi kalau jalur tradisional, kita bisa lewat begitu saja, wah saya gak sangka ke luar negeri bisa tanpa paspor. Keberadaan jalur tradisional ini bukan buat iseng-iseng aja. Di wilayah perbatasan ini, banyak warga yang menikah atau bertani lintas perbatasan, keluarga dan mata pencaharian mereka terpisah batas negara walaupun secara jarak sebenarnya dekat. Oleh karena itu, dibuatlah jalur tradisional yang sebenarnya diperuntukkan bagi penduduk sekitar yang kadung berkeluarga atau mata pencaharian sehari-harinya masuk ke area negara tetangga. Mungkin ini ya alasan proses interogasi di depan akan berjalan lama kalau pengunjungnya terlalu 'stranger' bagi aparat TNI, biar nggak salah keluar-masuk perbatasan tradisional. Hal penting lainnya, kalau non-warga lokal ingin berkunjung ke PNG via jalur tradisional, dibatasi jam hanya sampai pukul 16.00 sore, lebih dari itu, bye, gerbang perbatasannya ditutup.
Foto di tulisan Skouw, ini apa ya namanya?
Dari pos imigrasi, kita harus jalan kaki sekitar 200 meter ke gerbang perbatasan Indonesia. Dekorasi gerbangnya dibuat Indonesia banget sih emang, kayak lukisan a la suku Dayak Kalimantan gitu (maaf ya kalau saya salah tebak). Sampai di gerbang ini tetap ada petugas penjaganya ya, satu-satu kita akan dilihat oleh para petugas. Sebagian besar orang yang lalu lalang di gerbang perbatasan ini memang untuk keperluan ekonomi, mereka pada bawa barang sembako dll dari Indonesia untuk dijual di PNG. Bisa dilihat foto utama di postingan ini, ada adek-adek yang bawa belanjaan karpet plastik untuk dijual lagi.

Gerbang perbatasan Indonesia
Lepas dari gerbang Indonesia, kita akan berada pada titik nol. Untuk masuk ke PNG, kita cukup melewati satu gerbang kecil yang letaknya di pojokan. Menurut saya, berbeda dari pos imigrasi Indonesia, di pos imigrasi PNG ini pengawasannya tidak terlalu ketat, tidak ada petugas yang menanyai kami satu per satu, tapi kata staf yang menemani saya polisinya ada di depan pos, tidak memakai pakaian seragam, tapi memang sih saat saya curi pandang ternyata orang-orang di depan pos itu mengawasi kami. Lewat dari pos, kita akan langsung berhadapan dengan terminal kecil, di sana tersedia kendaraan untuk menuju Port Moresby, ibu kota PNG. Namun, lagi-lagi nih untuk yang jalur tradisional dan tidak pakai paspor seperti saya, seingat saya tidak diperbolehkan ke Port Moresby, jadi intinya mah kita hanya diperbolehkan sekedar berkunjung ke perbatasan PNG saja.

Gerbang perbatasan Papua New Guinea
Dari terminal, kami jalan kaki ke sisi kiri, di sana banyak warung-warung kecil yang menjual souvenir bertanda PNG. Di sini, kita bisa berbelanja dengan mata uang rupiah, tapi usahakan uangnya pas karena para pedagangnya tidak punya kembalian. Untuk harga souvenirnya masih reasonable, antara 50-200 ribu-an. Oh iya, satu hal yang saya ingat juga, siang hari di Jayapura dan PNG ini panas banget, asli ga becanda, saya sampai mandi keringat waktu jalan dari pos imigrasi ke PNG. Makanya, saya beli souvenir topi yang bisa langsung saya pakai, saking panasnya.

Kami tidak lama di PNG, mungkin hanya sekitar 15 menit. Sebenarnya dari area souvenir ini ada pantai yang bisa dikunjungi, tetapi kalau tahu kita orang luar pasti akan langsung dikenai tiket masuk sangat mahal, bisa sampai 500 ribu per orang, dan tentu akan ketahuan kalau kita orang luar karena ciri fisiknya sangat berbeda (maaf bukan bermaksud rasis). Kata staf yang menemani saya pun pantainya biasa saja, masih lebih rapi area pantai di bawah jembatan Youtefa. Maka, setelah belanja oleh-oleh, kami langsung kembali ke gerbang perbatasan, lagi  pula jam sudah menunjukkan pukul 15.30, takut nanti gerbang keburu ditutup.

Dari perbatasan, kami langsung kembali menuju Kota Jayapura, dan sebelum masuk mobil beli es doger dulu untuk melepas haus saking panasnya udara sore itu. Di mobil saya udah K.O, benar-benar give up langsung tidur, kalau diruntut saya belum sempat istirahat dengan proper, dari penerbangan Jakarta-Papua langsung dilanjut kerja dan jalan ke Skouw, capeknya luar biasa. Saat sudah masuk Kota Jayapura (dan saya sudah terbangun dari tidur), kami menepi sebentar di atas jembatan Youtefa, sekedar untuk menikmati angin sore sambil melihat tempat nongkrong hits anak muda Jayapura, yakni pantai yang ada di bawah jembatan Youtefa. Pantai di sini memang bagus, bersih, airnya tenang, dan tidak terlalu ramai, dapet deh kesan syahdunya.

Tempat nongski muda-mudi Jayapura
Jembatan Youtefa
Jam 17.30 saya sudah tiba di hotel sekaligus menandai berakhirnya perjalanan saya di Kota Jayapura hari ini. Lega sekali rasanya, akhirnya tugas utama selesai, jalan-jalan ke PNG pun kesampaian. Sampai di kamar tujuan pertama saya adalah mandi, lalu saya lanjutkan dengan minum teh hangat dan istirahat.

Akhirnya istirahat...
Rabu, 18 Desember 2019

Berbeda dari dinas biasanya, pada perjalanan ke Papua kali ini saya putuskan untuk menginap di rumah kenalan orang tua saya di Sentani, selain untuk silaturrahim, saya rasa juga akan lebih efektif kalau menginap di Sentani agar tak buru-buru menuju bandara. Awalnya saya berencana memulai Rabu pagi dengan jalan kaki santai ke sekitar hotel, apa daya alam berkata lain. Seharian itu gerimis tidak berhenti mengguyur Kota Jayapura, saya tidak punya pilihan selain stay di hotel. Jam 11 siang, staf kantor tiba untuk mengantar saya menuju rumah kenalan di Sentani. Sebelum meninggalkan Kota Jayapura, saya sempatkan mampir untuk membeli roti abon gulung Manokwari yang surprisingly enak banget rasanyaa (sebenarnya ini oleh-oleh khas Papua Barat sih, bukan Papua). Staf yang bertugas ini pun dengan sukarela membantu saya memesankan kripik keladi produksi tetangganya. Maka, saya sudah mengantongi dua oleh-oleh khas dengan aman. Untuk menuju Sentani hari ini, saya diajak lewat 'jalur belakang', jalurnya berkelok-kelok melewati perbukitan, beda dari jalur yang saya lewati kemarin yang 'lempeng-lempeng aja'. Ini cukup menghibur hati saya yang tidak kesampaian keman-mana karena hujan sih, saya jadi melihat sisi lain Kota Jayapura yang area perbukitannya. Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 saat kami tiba di Sentani, masih diiringi gerimis hingga malam hari.

Pas ke Sentani kami melewati Kantor Gubernur Papua, aspalnya saja masih basah oleh air hujan kan

Depan Kantor Gubernunya itu pantai, dan deretan kapal di ujung kanan adalah pelabuhan kapal Pelni
Kamis, 19 Desember 2019

Subuh menuju pagi, awan mendung masih menggantung, tidak ada golden sunrise hari ini. Penerbangan saya sekitar pukul 9 pagi kalau tidak salah, maka dari itu sengaja saya sudah berkemas sejak lepas subuh, duduk-duduk di depan teras sambil melihat pohon alpukat yang sedang berbuah di halaman rumah, serta bukit cyclops di kejauhan.

Yang belum pernah lihat, ini loh pohon alpukat
Salwa, anak kenalan yang saya tumpangi ini, menjelaskan bahwa warna cokelat-krem yang ada di puncak bukit cyclops di depan kami adalah bekas reruntuhan bukit yang jadi penyebab banjir+longsor di Sentani pada Maret 2019 lalu, mungkin karena dilihatnya dari kejauhan jadi terlihat kecil, tapi sesuatu yang berwarna cokelat-krem itulah yang membawa material air dan tanah hingga ke rumah tempat saya berdiri pagi ini. Masih nggak terbayang di benak saya sedahsyat apa air bah yang tumpah kala itu, karena dari pandangan mata tuh jauh loh lokasi bukitnya. Salwa menunjukkan satu bangunan kosong di samping teras rumah, bangunan itu sebenarnya adalah rumah utama keluarga ini, sedangkan rumah yang kami tempati saat ini adalah bedeng kontrakan milik mereka. Banjir awal Maret 2019 telah menghancurkan setengah bangunan rumah utama Salwa, lagi-lagi saya tercengang, sungguhan sumber banjirnya dari bukit nun jauh di ujung mata itu? Begitulah sekilas cerita yang menutup pagi saya di tanah Papua.

Samting that I call cokelat-krem, hasil foto di-zoom
Selesai sarapan, kami langsung bergegas menuju bandara menggunakan motor. Jarak dari rumah Salwa ke Bandara Sentani hanya 1 km saja, makanya kami santai sekali. Dan pilihan saya untuk menginap di Sentani ini rupanya adalah hal yang tepat. Begitu sampai bandara terlihat antrean check in mengekor di semua bilik maskapai, kenapa? Berdasarkan hasil curi dengar, ternyata ada kerumunan massa yang memblokir jalan utama dari Jayapura menuju Sentani, saya lupa tepatnya dimana, yang jelas orang-orang jadi tidak bisa sampai bandara bahkan banyak yang ketinggalan pesawat penerbangan jam 7, duh saya yang cuma dengarnya aja meringis, harga tiketnya itu loh di atas 4 jutaan, nyesek banget kan kalau ketinggalan pesawat, hmm. Mungkin ini bisa jadi pertimbangan buat pembaca yang berencana mengunjungi Papua, saran saya di hari terakhir carilah penginapan yang paling dekat dengan Bandara Sentani, karena kita tidak pernah tahu situasi darurat yang tiba-tiba dapat menghambat lalu lintas dari Jayapura ke Sentani.

Alhamdulillah urusan check in saya berjalan lancar, penerbangan tepat waktu, dan saya pulang dengan selamat sampai Jakarta. Bonus kecil dalam penerbangan pulang ini pesawatnya transit dulu di Timika, walaupun saya tidak berhasil melihat area tambang Freeport even dari udara, setidaknya saya pernah berada di atas langit Timika. Oh ya, saking istimewanya perjalanan ke Papua ini, saya juga mengabadikan footage dalam bentuk video berikut:


Sekian catatan chapter Papua. Sebenarnya banyak catatan-catatan bittersweet lainnya yang mewarnai perjalanan, tapi menimbang baik-buruknya kalau dipublikasikan di blog maka sebaiknya saya simpan saja di memori otak dan memori laptop, heuheu. Eh sebagai gantinya saya tambahkan curhat dikit ah, sampai hari ini, di tengah pandemi Covid tahun 2020 ini, saya masih nggak menyangka pada akhirnya saya benar-benar bisa sampai ke Papua, bahkan tembus Papua New Guinea, kayak mimpi deh! Saat perjalanan itu berlangsung usia saya memasuki penghujung 25 tahun, rasanya semua ini masih terlalu ajaib, pada umur seperempat abad ini yang bisa dikatakan cukup-tua-sekaligus-masih-muda, cerita hidup saya diwarnai oleh berbagai perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, apalagi kalau ingat betapa anak rumahannya saya ketika SD-SMP dulu, seorang yang  yang hanya mementingkan urusan akademis (dan untungnya selalu dapat ranking jadi nggak merasa nyesek-nyesek amat haha), gak kebayang gitu kalau di usia dewasa muda menjelma jadi seorang pencinta hiking dan traveling, sekaligus dapat banyak kesempatan untuk traveling. Derawan. Papua. Tana Toraja. Dubai. Rinjani. Tempat-tempat ini dulunya hanya sebatas jadi pengetahuan umum di buku sekolah atau ulasan konten feature di stasiun televisi yang saya tonton saja, sama sekali nggak pernah saya bayangkan atau bahkan rencanakan--seniat dan seambisius ketika saya berurusan sama hal akademis-- untuk bisa sampai ke sana, semua mengalir saja. Saya tidak tahu ke depannya hidup akan membawa saya ke mana lagi, tapi yang mungkin bisa saya katakan adalah sepahit apapun situasi hari ini, kita tidak pernah tahu kejutan apa yang akan dihadirkan oleh hidup pada kita, jadi selamat menanti kejutan manis dari cerita hidup kita masing-masing! :)




Komentar

  1. Papua, permata indah dari timur, yang sedikit terabaikan oleh kemajuan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia