Mengulik Kembali Perjalanan ke Gorontalo, dari Sate Ikan Tuna hingga Hiu Paus

Bismillah.

Halo halaman blog ku, apa kabar? Aku yang buat tapi aku yang lama nggak bersua ke sini, haha. Okay, kali ini aku akan menceritakan kembali salah satu perjalanan nggak terlupakan yang sebenarnya sudah lewat bertahun-tahun yang lalu, yaitu satu episode perjalanan ke Provinsi Gorontalo.

Mungkin sudah kenyang ya membaca alasan aku bisa ke luar kota: pekerjaan. Haha. Tidak bermaksud aji mumpung, aku pribadi juga tidak pernah pilih-pilih atau bahkan nge-tag untuk dinas ke suatu tempat, hanya berjalan saja mengikuti bagaimana jalannya urusan kantor. Oh iya, tulisan ini aku buat saat pandemi Covid-19, awalnya aku malas-malasan juga untuk melanjutkan menulis blog, entahlah sedang jenuh saja. Lalu kenapa tiba-tiba menulis lagi? Singkat cerita sejak kondisi pandemi gelombang kedua, dan mungkin karena pengaruh bertambahnya usia, aku mulai lupa detail-detail cerita di masa lalu. Thus, aku bertekad untuk kembali aktif menulis di blog secara rutin.

Oke, mari kita mulai cerita perjalanan ke Gorontalo sebatas ingatanku.

Sabtu, 25 Agustus 2018

Hari itu aku ada di penerbangan oagi pada pesawat Batik Air kalau tidak salah, dari Bandara Soekarno Hatta. Pada dinas ini aku tidak sendirian, ada Aneu yang menemani, tetapi aku berangkat 1 hari lebih cepat karena mau bertemu dulu dengan seorang teman asal Gorontalo, Sindy namanya. Setelah penerbangan sekitar 3 jam, pesawat itu mulai mendekat ke sebuah pulau besar, aku tebak itulah Gorontalo. Pesawat terbang semakin rendah, mendekati sebuah kota yang dibentengi perbukitan, sementara laut lepas berada di sisi lain bukit tersebut, pesawat mengitari kota itu dari atas, mengambil ancang-ancang untuk landing agaknya, sejurus kemudian pesawat yang ku tumpangi mendarat dengan selamat di Bandara Jalaluddin Gorontalo. Di luar, Sindy sudah standby menjemputku bersama 2 teman perempuan dan seorang laki-laki yang merupakan calon suaminya. Sejujurnya itu adalah kali pertama aku bertatap muka dengan Sindy, selama ini perkenalan kami hanya sebatas lewat instagram saja. Malam itu aku menginap di rumah Sindy, sebelum sampai ke rumahnya, Sindy mengajakku sarapan dulu tak jauh dari bandara, sarapan yang mungkin terdengar biasa, yakni nasi kuning. Tiba di rumah makan, nasi disuguhkan dengan lauk sederhana: bihun, kering kentang, sambal, dan sepotong timun, suapan pertama masuk ke mulutku, dan ternyata perkiraanku salah. Ini bukan nasi kuning biasa, ini nasi kuning yang istimewa, ternyata rasanya enak banget! Sampai dengan tahun 2022, aku belum menemukan lagi nasi kuning seenak yang kumakan di Gorontalo pagi itu.

Nasi kuning Gorontalo tuh enak banget!

Setelah sarapan, kami menuju rumah Sindy untuk istirahat dan melanjutkan wisata keliling kota pada sore dan malam hari. Sore itu, aku diajak mengunjungi salah satu ikon Kota Gorontalo, yakni Benteng Otanaha. Benteng ini berada jauh di atas bukit, berbeda dari benteng-benteng lain yang pernah saya datangi yang kebanyakan berada di pinggir pantai. Agak heran juga saya, kenapa di atas bukit ya? Padahal Kota Gorontalo sendiri hanya sejengkal dari pantai, tapi ya sudahlah. Benteng ini merupakan peninggalan Kerajaan Pinohu, untuk lebih jelasnya bisa googling ya. Tempat ini sekarang beralih fungsi jadi 'taman' yang asik untuk nongkrong sore, pemandangan desa dari ketinggian dan angin sepoi-sepoi akan menyambut kita tiap berkunjung ke benteng ini.

Seiring adzan magrib berkumandang, kami sudah di perjalanan turun dari Benteng Otanaha, mampir sejenak di mushola kecil samping jalan raya desa, dan kembali pulang ke Kota Gorontalo. Malamnya, kami ngemil-ngemil ringan di alun-alun kota, kalau tidak salah Lapangan Taruna namanya. Di sana, untuk pertama kalinya aku mencoba pisang goroho yang digoreng seperti stik kentang dan dicocol dengan sambal roa, enak banget! Aku selalu bahagia kalau berkunjung ke wilayah Sulawesi, makanannya hanya ada enak atau enak banget. Oh iya, pisang goroho sendiri adalah jenis pisang yang hanya tumbuh di daerah Gorontlao dna Sulawesi Utara, begitu cerita yang ku dapat dari Sindy dkk. Pisang ini tidak manis, teksturnya lebih padat dari pisang-pisang biasa, jadi cocoklah memang digoreng sebagai pengganti stik kentang. 

Baru inget foto pas pisangnya udah abis setengah wkwk

Perjalanan kami belum selesai, setelah ngemil di alun-alun kota, kami lanjut makan malam di kafe hits nya kawula muda Gorontalo, Kingdom Foodcourt namanya. Di sini, Aku mencoba milu siram, yakni bubur jagung asin khas Gorontalo, makanan serupa juga ada di Sulawesi Utara. Usai santap malam kami pulang.

Minggu, 26 Agustus 2018

Hari ini, Aneu tiba di Gorontalo, aku pun pindah ke homestay tempat kami akan stay selama di Gorontalo, saat itu kami kehabisan kamar di hotel yang 'standar', sehingga kami terpaksa harus menginap di homestay yang cukup ramai karena harganya memang terjangkau. Ini jadi catatan juga sih, ternyata di Gorontalo susah mencari hotel, mungkin karena kota ini pun sangat kecil, rasanya 1-2 jam sudah cukup untuk mengelilingin seluruh kota ini. Keesokan harinya, kami menuju tempat pertama dalam jadwal kerja kami, yakni Kabupaten Pohuwato, 4 jam perjalanan dari Kota Gorontalo, kebayang kan betapa lelahnya perjalanan ini haha. Jalur dari Kota Gorontalo ke Kab. Pohuwato akan melewati jalan menuju Pulau Cinta, tapi yaa kami tidak mampir ke sana ya, hehe.

Senin, 27 Agustus 2018

Di Pohuwato, kami berkunjung ke desa peternak sapi yang aku lupa namanya (sayang sekali). Area peternakan itu dikelilingi oleh tanah yang berbukit-bukit, kalau di Jawa mungkin sudah jadi lokasi ekowisata deh. 

Ini peternakan sapi loh

Aslinya lebih bagus dari ini

Kalau aku tidak salah ingat, hari itu kami bermalam di Pohuwato, sepertinya juga di homestay kecil. Sebelum ke penginapan, kami diajak makan malam bersama staf Kabupaten Pohuwato, sebuah makan malam yang syahdu di tepi pantai, yang aku ingat dari makan malam itu adalah warung makan berupa bangunan gubuk sudah agak reyot, berada di atas air laut. Dari gubuk itu kita bisa langsung melihat laut meski tak ada apa pun yang bisa di lihat dari laut dan malam yang gulita. Samar-samar aku juga ingat malam itu ada bulan, entah sabit atau purnama, cahayanya mempercantik gubuk rumah makan dan laut malam itu. Untuk lauk ikan bakar yang disajikan, rasanya standar saja, tapi yang jelas tidak termasuk golongan makanan tidak enak. Selesai makan, aku dan Aneu diantar ke homestay dan tak lama tertidur karena lelahnya.

Selasa, 28 Agustus 2018

Pagi-pagi kami sudah memulai perjalanan pulang ke Kota Gorontalo. Jam 8 pagi kami sudah keluar dari Kabupaten Pohuwato. Di perjalanan , mobil melipir sebentar ke area pantai yang sepi. Ibu pendamping kami sengaja memarkir mobil sejenak agar kami bisa melihat keindahan pesisir pantai Gorontalo. Aku bisa mengingat ombak kecil di pantai itu dengan satu-dua kapal nelayan yang ditambatkan. Disisi kanan pantai dari kejauhan terlihat dataran tinggi seperti bukit teletubbies yang memperindah pemandangan pantai itu, sayangnya kami tidak berhenti lama, aku sudah terbayang akan menyenangkan kalau bisa berlanjut gelar tikar dan main air di sana, hehe.

Just another beach di pinggir jalan, tapi bagus banget

Menjelang siang, mobil kami berhenti sebentar untuk makan siang dan menyelesaikan survei ke satu desa lagi. Setelah selesai survei, aku dan Aneu diajak ke warung makan pinggir jalan yang terlihat biasa saja, tapi makanan yang disajikan membuat aku kangen cita-rasanya sampai sekarang. Siang itu, untuk pertama kalinya aku makan ayam iloni. Aneu kurang suka dengan menu ayam iloni, terlalu pedas katanya, tapi di lidahku  ini enak banget! Aku memang suka makanan yang cukup pedas dan berbumbu kuat. Kapan-kapan ku mau coba cari penjual ayam iloni juga deh di Jakarta, walau dalam hati lebih memilih untuk makan langsung di Gorontalo, semoga suatu saat bisa ke sana lagi deh sama pak suami.

Ayam iloni yang pinggi sebelah kanan

Beres makan, kami lanjutkan perjalanan ke Kota Gorontalo, di perjalanan pun kami masih disinggahi ke toko oleh-oleh, bahkan dibelikan kenang-kenangan kain kerawang khas Gorontalo. Tiba di hotel, aku dan Aneu istirahat, dan hari itu ditutup dengan makan malam nasi kuning khas Gorontalo :)

    FYI ini loh yang namanya kain kerawang, sering lihat tapi ga tau namanya

Rabu, 29 Agustus 2018

Ini adalah hari terakhir kami di Gorontalo, sekaligus menjadi hari paling memorable dalam hidupku. Pagi-pagi kami telah dijemput untuk menyelesaikan segala administrasi di kantor Provinsi sekaligus berpamitan kepada Ketua di sana. Lalu, kami menuju ke Pantai Botubarani, apalagi kalau bukan untuk melihat hiu paus! Awalnya aku dan Aneu tidak berekspektasi banyak soal melihat hiu paus, karena tujuan utama kami ke Gorontalo adalah urusan pekerjaan, bukan wisata. Tetapi, saat mendengar Aneu bicara tentang hiu pasu, ternyata salah satu staf dari Gorontalo mengingatnya, dan akhirnya dengan suka rela mengantarkan kami ke Pantai Botubarani. Tiba di pantai, warga lokal yang menjadi pengelola pantai sudah menyambut kami, mereka menjelaskan berbagai t&c untuk melihat si hiu pasu. Mereka pun mengingatkan bahwa ini akan untung-untungan, karena kawanan hiu paus ini tidak melulu hadir di Pantai Botubarani, kalau hadir pun belum tentu cepat merespon 'undangan' manusia untuk muncul ke permukaan, ada pengunjung yang harus sabar menunggu dari 30 menit hingga berjam-jam. Oh iya, warga lokal juga mengingatkan kami untuk hati-hati selama di kapal, karena area laut tempat kami menunggu hiu paus kedalamannya mencapai 12 meter, dan kalian tau? Area yang dimaksud tersebut jauhnya tak lebih 10 meter dari bibir pantai, haha.. Aku cukup syok mendengarnya, berarti kalau dipikir-pikir saat itu kami beridri di pinggir jurang.

Bisa dilihat kan.. Perahu kami tidak jauh dari bibir pantai, tapi itu dalamnya 12 meteran

The story short, kami naik ke perahu nelayan, warga lokal memulai 'ritual' memanggil kawanan hiu paus dengan umpan udang segar. Dan betapa beruntungnya kami, tak sampai 15 menit kawanan hiu paus muncul ke permukaan, masya Allah...

Awal muncul ke permukaan

Gede banget kan

Hiu paus.. Panjangnya hampir 8 meter loh

Perasaanku  meluap-luap, merasa beruntung sekali bisa melihat hiu paus langsung di alam bebas. Aku rasa pengalaman ini jadi impian untuk banyak orang atau pun para pencinta hewan di luar sana.. Dan aku mendapatkannya dengan sedikit effort saja. Kalau ditanya bagaimana kesanku melihat hiu paus, tentunya amazed dengan ukurannya yang benar-benar besar, lebar mulutnya saja sekitar 1 meter, dan itu adalah pertama kali dalam hidupku melihat mulut mahluk hidup dengan ukuran sebesar itu. Siang itu ada 3 ekor hiu paus yang mengeliligi kapal kami, dan masya Allah sekali.. Bagaimana bisa hewan liar sebesar itu bisa jinak pada manusia (tentunya jangan disepelakan ya, hewan tetap hewan dengan segala instingnya). Setelah umpan udang habis, perahu kami perlahan menepi ke bibir pantai, kami kembali dengan senyum merekah tanpa kekurangan satu apa pun.

Sebelum diantar ke bandara, kami sempatkan makan siang dulu ke arah berlawanan dari Pantai Botubarani. Menu siang itu tak kalah spesial dari ayam iloni, yakni sate ikan tuna. Dan lagi-lagi, itu adalah sate ikan tuna terenak yang pernah ku makan. Warung sate ikan tuna itu amat sederhana, di teras rumah saja, tetapi rasanya juara! Kami makan dengan nasi putih hangat, sambal bawang mentah, dan tumis bunga pepaya, ya Allah enaknya luar biasa.. Walau aku tidak mengerti betul dunia perikanan tetapi lidah awamku bisa merasakan ada yang beda dengan ikan tunanya, ya, itu adalah ikan tuna segar. Kembali ke diriku di tahun 2022, rasanya ingin sekali aku mengajak suami, orang tua, dan adik-adikku untuk mencoba langsung sate ikan tuna di Gorontalo, di tempat yang sama, semoga suatu saat bisa ya.

Sate tuna terenak sepanjang perjalananku di Gorontalo

Selesai makan, kami sholat zuhur di Masjid Walima Emas yang terletak di atas bukit. Dari masjid ini kita bisa melihat jelas teluk tomini dan laut lepas, yang unik juga, ada kolam infinity di belakang masjid ini yang membuat kolam sperti menyatu dengan latar laut di belakangnya. Selesai sholat kami turun menuju kota, tetapi lagi-lagi kami diajak mampir sejenak ke Taman Wisata Religi Bubohu yang masih satu jalan lurus dengan Masjid Walima Emas. Salah satu wisata andalan di taman yang relatif kecil ini adalah kumpulan merpati jinak yang akan 'menyerbu' kita saat diberi makan, haha. Cukup menyenangkan sekaligus mencemaskan berdiri di antara puluhan burung merpati yang berebut biji jagung di genggaman tangan kita.

Infinity pool, asik bet dah

Teluk Tomini dari atas bukit

Dan perjalanan kami pun berakhir di Bandara Jalaluddin. Pengalaman pertama kali ke Gorontalo ini akan terus hidup di hati terdalam, dan membuat rasa merasa bersyukur sekali, bahwa ada sepenggal waktu di masa mudaku yang terasa begitu hidup dan berwarna, juga membuatku merasa beruntung karena pernah melihat, menyentuh, mengecap, menghirup, dan berpijak sisi lain Indonesia nun jauh ribuan kilo meter dari tanah kelahiranku di Sumatera. Terima kasih Allah, terima kasih semesta :) 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia