Libur Lebaran ke Situs Gunung Padang, Kenapa Tidak?

Bismillah. 
Pada hari Kamis 4 Mei 2022, saya dan suami (ehem teman jalan baru nih) melakukan episode bolang perdana kami, kalau sudah pakai label bolang berarti terbayang ya kalau jalan-jalan yang kami lakukan bukan traveling fancy. Yet, pengalaman ngebolang ini memorable banget untuk saya. Ide perjalana ini tercetus dari saya (ofc) karena momentum cuti lebaran yang relatif tidak ada pembatasan. Yap, pandemi 2 tahun belakangan memang membuat mobilitas kami terbatas sekali, itu juga yang jadi penyebab utama blog saya ini sepi senyap, karena bahan ceritanya juga gak ada, saya nya di rumah melulu hehe. Oke, jadi kami semula bingung mau ke mana, lari ke gunung atau melipir ke pantai? Siang-malam saya giat cek situasi tempat-tempat wisata common di sekitaran Banten, Jakarta, dan Jawa Barat. As expected, hampir semua tempat wisata over capacity, apalagi wisata pantai. Singkat cerita, kami memutuskan untuk ke Situs Gunung Padang. Sudah lama saya dengar tentang situs ini, dan sudah lama juga saya memendam hasrat ingin menjelajahi wilayah Cianjur kesanaan dikit (bosan kan ke puncak pas terus, hehe). Disamping itu, saya dan suami juga ingin menjajal ketahanan motor second Supra Bapak keluaran tahun 2009 yang baru kami beli, maka jadilah perjalanan ke Situs Gunung Padang kami lakukan.
Say hi to Situs Gunung Padang update per Mei 2022

Dari rumah di Cibinong, kami mulai perjalanan sekitar jam 5.30 WIB, agak telat sebenarnya, tapi tidak masalah, toh kami jalan santai dan ingin menikmati suasana. Kami berjalan melalui jalur Puncak Bogor, untung kami tiba cukup pagi sehingga belum berhadapan dengan kemacetan jalur Puncak khas musim liburan. Jam 8 pagi kami sudah tiba di Cianjur, tak jauh dari Istana Kepresidenan Cipanas, kami menepi dulu untuk sarapan bubur ayam Cianjur di Cianjur 😎
Makan bang

Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan yang (ternyata) masih jauh kawan :') Di sepanjang jalan, kami beriringan dengan Gunung Gede yang berdiri gagah, kalau dirasa-rasa kami seperti mengelilingi Gunung Gede dari berbagai sisi. Setelah 1,5 jam memacu si kuda besi, kami menukik ke sisi kiri jalan dan mulai memasuki jalan perkampungan yang semakin menjurus ke tujuan utama. Semakin menanjak, sisi jalan kian berganti dari jajaran rumah penduduk menjadi hamparan kebun teh, bisa dibilang rute menuju Situs Gunung Padang sendiri sudah memanjakan mata. Tak perlu khawatir merasa sendirian, karena di pinggir-pinggir kebun teh ini banyak muda-mudi yang sedang memadu kasih dengan tema menyatu dengan alam, haha 😅 Dari kebun teh kita akan melihat gerbang penanda Situs Gunung Padang, tapi dari gerbang itu juga masih jauh ke lokasi parkirannya, jadi agak heran juga kenapa dibangun gerbang di sana. Sekitar 10 menit kami pun tiba di area parkir motor yang menandakan bahwa kita telah resmi memasuki Situs Gunung Padang. Nggak sangka rasanya, kalau bukit rimbun di belakang pos tiket tersebut adalah lokasi situs yang kami tuju berada.


Biaya tiketnya sangat murah, cukup 10 ribu per orang, ditambah biaya parkir motor 5 ribu per motor. Setelah mengantongi tiket, kita bisa memulai 'pendakian kecil' untuk menuju Situs Gunung Padang. Ada 2 jalur yang bisa kita lewati untuk naik ke situs, jalur kanan: lebih lama sampai tetapi tangganya lebih landai; jalur kiri: lebih cepat sampai tetapi tangganya curam. Kami memilih jalur kiri, bukan karena lebih cepat sampainya, tetapi karena jalur ini tersusun dari batu-batu atau anak tangga asli dari Situs Gunung Padang, memang perlu kehati-hatian dan tenaga ekstra jika melalui jalur ini. Sambil bermandi peluh, saya kagum dengan susunan anak tangga ini, gimana ya caranya manusia jaman dulu memahat dan menyusun batu-batu ini?
Bisa dilihat kan, anak tangganya masih asli

Sekitar 20 menit meniti anak tangga, kami pun sampai ke Situs Gunung Padang, rasanya puas sekali. Situs ini terdiri dari 4 undakan yang disebut juga pelataran. Di pelataran 1, tak jauh dari anak tangga tadi, kita akan disambut pohon cempaka yang pas banget untuk ngadem. Di sini, ada tumpukan batu-batu dari jaman megalitik yang ditumpuk sembarangan mengelilingi pohon cempaka, kita boleh menduduki batu-batu di sini, kecuali batu yang masih berdiri tegak (vertikal). Sambil duduk-duduk mengumpulkan tenaga, seorang bapak yang sepertinya tour guide menghampiri kami dan bercerita tentang latar situs ini dari sudut pandang warga lokal. Akhirnya si bapak ini pun jadi guide kami sepanjang pelataran 1 hingga 4, sengaja saya tak bertanya nama bapak tersebut, kami hanya fokus pada kisah situs ini saja, tapi biar gampang bercerita mari kita sebut saja bapak ini Pak Asep. Jadi, saya akan ceritakan sedikit latar tiap pelataran situs berdasarkan cerita dari Pak Asep ya. Hal pertama yang Pak Asep ceritakan adalah soal komposisi batu Situs Gunung Padang, dimana dalam batu-batu ini terdapat kandungan besi. That's why batu-batunya tidak mudah lumutan serta sangat kuat karena ada unsur besi, pun tidak berkarat karena ada unsur batu. Jadi kayak sengaja dirancang agar tahan banting ribuan tahun dan terbukti demikian. Lanjut ke pelataran. Di pelataran 1, ada 2 'pondasi' bangunan berbentuk persegi panjang dan persegi. Si bangunan persegi ini diperkirakan sebagai bekas tempat ibadah semacam masjid. Nah, yang menarik si bangunan persegi panjang yang diperkirakan sebagai aula pertunjukan seni, karena di belakang pondasi inilah terdapat batu seperti alat musik. Yap, ada 3 batu yang saya lihat dan coba ketuk, dimana batu-batu ini setiap bagiannya memiliki bunyi yang berbeda jika diketuk. Mind blowing banget.. Gimana caranya manusia jaman megalitik bisa membuat batunya jadi alat musik gini?? Apalagi pada jaman itu mungkin teknologi dan mesin belum secanggih sekarang.
'Aula' di pelataran 1, tiang yang paling tinggi itu pintunya

Aula di pelataran 1 Lanjut ke pelataran 2, yang khas dari pelataran ini adalah keberadaan batu kursi yang dipakai sebagai tempat duduk untuk bermeditasi, dan pengunjung dari agama mana pun diperbolehkan kalau memang mau meditasi di sini loh, tapi kalau weekend seperti saat kami datang sepertinya tidak kondusif ya karena ramai. Tepat di hadapan batu ini terdapat dua batang pohon yang berkelindan seakan mereka berasal dari 1 akar yang sama. Well, saya tidak tau apakah emmang dua pohon ini merupakan 1 pokok batang yang sama, karena kalau diperhatikan lamat-lamat warna batang pohonnya agak beda. Selain itu, dari tempat meditasi ini kita juga bisa sedikit melihat Gunung Gede, nggak bisa lihat full karena tertutup dua batang pohon tadi. Pak Asep menambahkan, mitosnya pelataran 2 ini juga merupakan tempat rapat para raja atau petinggi dan para menterinya di masa silam. Mereka merembukkan siapa yang pantas menduduki batu meditasi dan melanjutkan ke pelataran 3 sebagai raja atau pemimpin, dan pelataran 2 ini juga tempat para raja dan menterinya membahas persoalan rakyatnya pada masa itu. Ada pun dua batang pohon tadi kata Pak Asep memiliki filosofi yang sudah akrab juga di telinga kita: walau berbeda-beda tetap satu jua, walau batang pohonnya berbeda tapi pohon itu bisa tumbuh akur berdampingan dan tidak saling menjatuhkan, filosofi ini kiranya juga dianut para raja dan menteri pada kala itu.

Nyari wangsit om 

Meditasi di pelataran 2 Lanjut ke pelataran 3, pelataran ini palig lapang dari yang lain. Saat kita tiba dari pelataran 2 ke 3, di sisi kiri pelataran ada susunan batu cenderung melingkar dan batu tapak macan. Batu tapak macan ini menghadap ke pinggiran Situs Batu Padang, kata Pak Asep batu ini juga dapat dijadikan tempat meditasi, dimana pada bagian bawah batu ada semacam cerukan dimana kita bisa meletakkan tumit kaki dan bermeditasi. Lingkaran tadi kata Pak Asep adalah simbol jantung manusia, sedangkan keseluruhan hamparan pelataran 3 adalah simbol hati manusia. Digambarkan bahwa seharusnya seperti inilah kondisi hati manusia, lapang dari segala macam hawa nafsu dan perasaan jahat lainnya, menerima dengan lapang apa pun kondisi yang dihadapi, baik dan buruk. Saya kagum banget, memang juara ya leluhur-leluhur kita soal filosofi dan berpikir mendalam.
Ini nih pelataran 3, lapang sekali kawan 
Dari pelataran 3, kita dapat meliat lebih jelas batang pohon di pelataran 2, itu loh yang 2 batang dempetan

Terakhir adalah pelataran 4, yaitu pelataran puncak yang digambarkan sebagai singgasana. Uniknya, singgasana ini diapit oleh 3 susunan batu yang berbentuk persegi. Ini juga ada filosofinya kata Pak Asep, dimana singgasana adalah tempat duduk raja dan juga simbol 'keberhasilan' si raja mencapai puncak tertinggi dari karier atau hidupnya, tetapi demikian dia tidak serta-merta dapat mencapai titik tertinggi tersebut tanpa jasa 3 orang yang disimbolkan dengan susunan batu persegi di belakangnya, yakni ayah, ibu, dan gurunya. Jadi kesimpulannya ketika seseorang sampai pada puncak tertingginya, jangan sombong dan lupa diri, karena dia bisa ada di situ karena jasa-jasa orang di sekitarnya terutama orang tua dan guru, wah mantap sekali ini filosofinya.
Ini siggasananya kawan, di belakangnya ada 3 petak susunan batu mirip kayak gini juga

Dan selesailah perjalanan kami meniti 4 pelataran dari Situs Gunung Padang. Sebelum berpisah tak lupa kami sampaikan sejumlah tip untuk menghargai waktu yang sudah diberikan Pak Asep sebagai tour guide. Situs Gunung Padang memberikan pengalaman yang berkesan bagi kami, terutama setelah kami mengetahui latar dan simbol dari reruntuhan situs ini yang sekilas hanya tampak seperti batu berlonggok-longgok saja. Masih tak habis pikir di otak saya, bagaimana bisa manusia-manusia di jaman megalitik memahat dan menyusun batu sedemikian rupa di atas bukit pula, sedangkan di sekitarnya juga tak luput dari bukit-bukit lainnya yang tentu saja di zaman dulu berselimut hutan yang lebih lebat. 

Epilog 
Eh, tapi petualangan kami di hari itu rupanya belum benar-benar berakhir. Di perjalanan pulang, sekitar jam 3 sore kami tiba kembali di jalur puncak pas, dan kemacetan super horor terjadi di jalur puncak, kami yang pernah 'trauma'terjebak perjalanan 8 jam Puncak-Cibinong bergegas mencari jalur alternatif: Jalur Puncak 2. Kami berbelok menuju jalan Taman Bungan Nusantara, di salah satu persimpangan kami belok kiri yang tak lain adalah jalur alternatif puncak 2. Sedikit saja saya membahas perjalanan pulang ini, sepanjang saya negbolang keliling Bogor, baru kali ini saya merasakan hawa terdingin se-Bogor Raya, tak lain di jalur ini. Jalurnya memang memutar jauh yang tentunya memakan lebih banyak waktu, tenaga, dan bensin. Tapi kalau niatnya buat plesiran, jalur ini worthy untuk dijajal. Sayangnya, pada hari itu kami tidak benar-benar bisa lari dari kapdatan pengunjung Puncak, karena ternyata jalur tersebut juga ramai oleh pengendaran plat B, haha. 

Jalur alternatif puncak 2

Di perjalanan, kami tersasar dari jalur yang awalnya ingin diambil, yakni via Curug Ciherang. Suami saya lupa belokannya, jadilah kami terikut arus menuju Citereup dengan kondisi perut lapar dan mulai kelelahan. Baterai handphone kami habis, sehingga kami tidak bisa melihat maps dan hanya bisa mengandalkan ancar-ancar dari warga yang sedikittt sekali kami temui. Sepanjang jalan tidak kami temukan warung makan yang cukup layak dan mengunggah selera, yang ada hanya rumah warga, hutan, perkebunan, dan hutan lagi. Hutannya pun tak tanggung-tanggung, beberapa kali kami dihadang kabut tebal yang memperpendek jarak pandang. Sejujurnya perasaan saya bercampur antara kagum melihat pemandangan dan tegang kalau ada apa-apa di jalan karena kemana-mana jauh, haha. 

Mantap kan kabutnya, kayak di Dieng

Tibalah jam 4 sore, ketika saya dari kejauhan merasa pernah melihat bukit menjulang yang satu itu, sembari menerka-nerka apakah kami ada di jalan yang tepat menuju Cibinong. Samar-samar mulai terlihat banyak warung, ada satu yang paling besar, suami sudah tidak konsentrasi, tapi saya coba membaca plang rumah makan yang paling besar, "Warung Ki Demang", selintas suami saya antara gembira dan kaget. Dia gembira karena pernah mengunjungi restoran ini sehingga hafal betul jalurnya. Dan dia kaget karena ternyata sejauh ini kami nyasar: sampai ke Jonggol, haha. Sontak saya ikut kaget, pantas saya merasa bukit menggantung bak di dunia pandora yang sedari tadi saya lihat kok tampak akrab, dilalah itu Gunung Batu Jonggol yang pernah saya ndaki sekitar tahun 2016, nostalgia sekali... Kami singgah karena sudah kelelahan, lepas beberapa menit kemudian hujan deras mengguyur Jonggol dan sekitarnya sore itu, kami bersyukur juga memilih untuk berhenti dulu di Warung Ki Demang. Hujan sore itu awet sekali, dan deras. Rencana kami yang tadinya hanya singgah sampai jam 5 sore saja, molor jadi jam 7 malam. 

Nyasar sampe ke sini

Saking lelahnya pak

Perut kenyang, stamina membaik kembali, baterai handphone telah terisi, kami melanjutkan perjalanan pulang dengan lebih tenang, sekitar 45 menit lagi kami akan tiba di rumah. Rupanya, perjalanan yang kami kira akan baik-baik saja berubah sebaliknya, kami terjebak macet horor diiringi gerimis tanpa henti saat menuju pertigaan Pasar Desa Sukamakmur Jonggol, hiks. Kami terjebak di jalur tersebut selama 2 jam, hanya untuk melalui pertigaan yang berjarak 5 km, horor banget sodara-sodara! Update per hari ini pun kemacetan masih terjadi di jalur yang sama, jadi silakan dipikir ulang kalau mau melewati jalur ini. Kami berhasil melewati pertigaan tersebut sekitar jam 9 malam, sangat kemalaman dari target kami selanjutnya. Dan tantangan selanjutnya adalah kami harus melewati jalanan yang sepi, keluar-masuk hutan yang ternyata bagian belakang dari Gunung Pancar, saya tak lepas dari dzikir, karena jujur saya sangat takut kalau kami dibegal. Sepanjang jalan menuju sentul itu benar-benar hanya ada motor kami saja, padahal baru setengah jam yang lalu kami bermacet ria bersama ratusan kendaraan lainnya yang ternyata rata-rata mengambil jalur Citereup (beda arah dengan kami). Hingga akhirnya jam 10 malam kami sampai di Sentul, berkali-kali saya mengucap syukur karena tidak ada kejadian yang tak diharapkan. Dengan sisa tenaga kami kembali ke rumah, kelelahan, kedinginan, dan ngantuk, haha. Jadilah niat kami ngebolang hari ini benar-benar jadi 'ngebolang'yang luar biasa, dari Cibinong, Puncak, Cianjur, hingga nyasar ke Jonggol. Overall, perjalanan bolang perdana ini adalah perjalanan yang mengesankan, sampai ketemu di perjalanan selanjutnya!

Salam supra batok geterr


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia