Belajar Kembali tentag Kesederhanaan di Tanjung Lesung

 Bismillah.

Akhir-akhir ini banyak hal yang lalu-lalang di kepala saya, mulai dari rasa bosan dengan rutinitas, merasa hidup saya mulai jalan di tempat, harapan untuk mempunyai keturunan, semuanya terasa tidak warna-warni seperti saat 4-6 tahun yang lalu,. Entah juga karena usia saya yang hampir menjelang kepala tiga, sehingga circle makin menyempit, waktu makin sedikit, atau faktor misterius lain yang belum saya pahami. Dalam tulisan ini saya ingin kilas balik perjalanan di akhir tahun 2022 lalu saat saya pertama kali berkunjung ke Tanjung Lesung, harapan saya proses menulis kali ini bisa sekaligus menetralkan pikiran saya yang sedang lelah.

Tanjung Lesung bisa saya pastikan bukan pantai dengan pemandangan terbaik yang pernah saya kunjungi, masih ada Derawan, Bali, Lombok, dan banyak lagi. Namun, Tanjung Lesung tetap punya kesan tersendiri bagi saya, ada satu kata yang menurut saya pas untuk mendeskripsikan Tanjung Lesung: kesederhanaan.

POV Pulau Liwungan

Jumat, 2 Desember 2022

Magrib itu, saya bersama dua rekan kerja yaitu Mba Niswa dan Mba Fahrus berjalan kaki menuju gerai McD di samping RS Carolus. Di sanalah meeting point kami sembari menunggu suami saya menyusul menggunakan mobil. Mendekati isya yang ditunggu telah tiba, dan tanpa berpanjang-lebar kami memulai perjalanan sekitar 4 jam menuju penginapan yang sudah kami sewa di daerah Tanjung Lesung. 

Malam itu lalu lintas tidak begitu padat, apalagi saat kami memasuki tol Pandeglang yang sepi senyap. Saya sibuk terjaga untuk menemani suami nyetir, sambil berpikir jauh tentang tragedi tsunami Tanjung Lesung dan cerita orang-orang yang bilang pantai di sana lebih bagus dari pantai Carita atau Anyer. Perjalanan sesekali diisi dengan tawa karena podcast Coki Pardede rehabilitasi, terpujilah Coki dan rekan-rekan rehabnya, terutama si petok-petok, yang menghibur perjalanan kami. Jalan tol Pandeglang sangat gelap dan kanan-kirinya tidak ada rumah penduduk, tapi malam itu kami juga ditemani bintang yang cukup banyak, mata saya memandang jauh ke langit sambil terus terjaga menemani suami.

Kami tiba di penginapan sekitar jam 11 malam. Saya masih ingat betul nama penginapannya, Castury Homestay. Kamar yang kami tempati sangat sederhana, benar-benar seperti rumah biasa, setiap kamar dilengkapi dengan AC dan kamar mandi dalam. Untuk sekedar tempat bermalam, kamar ini cukup bagi kami. 

Sabtu, 3 Desember 2022

Rencana kami hari ini adalah snorkeling di sekitar Pulau Liwungan. Tawar-menawar kami dengan calo open trip pulau liwungan agak alot, kami juga sempat nyasar jauh ke arah PLTU, haha. Akhirnya jam 10-an kami tiba di dermaga yang ternyata menyatu dengan restoran Kampoeng Nelayan. Setelah ngobrol-ngobrol dengan pemilik perahu, kami baru tau kalau ternyata pemilik perahu tersebut berteman dengan pemilih Castury Homestay, sebenarnya kami bisa berangkat dari dermaga kecil depan penginapan dan kontak langsung pemilik perahu saja tanpa harus ke calo dulu. Okelah ini jadi catatan kalau lain waktu kami mau ke Pantai Liwungan lagi. 

Sebenarnya saya agak deg-degan dengan trip kali ini, karena hari-hari sebelumnya hujan terus mengguyur Jabodetabek. Pagi itu, saya banyak berdoa supaya cuaca mendukung sepanjang perjalanan kami. Dan alhamdulillah, cuaca bersahabat, tidak hujan dan tidak juga terlampau terik. Rute kami hari ini diawali dengan snorkeling dulu, ternyata di Tanjung Lesung ada spot terumbu karang yang sengaja ditanam oleh warga sekitar, tujuannya selain untuk pelestarian juga sengaja supaya ada spot snorkeling. Ombak pagi itu sebenarnya lumayan tinggi, sehingga saya dan suami agak deg-degan juga saat snorkeling. Snorkeling pagi itu mengingatkan saya pada batas antara hidup dan mati yang sangat tipis, haha. Tapi, jujur saja terumbu karangnya memang bagus banget, mungkin salah satu terumbu karang tercantik yang pernah saya lihat langsung, bentuknya sangat mirip tanaman kapu-kapu versi 2x2 meter dengan warna biru kehijauan. 

Snorkeling Berjibaku dengan ombak

Sayang banget saya tidak bawa kamera underwater, sehingga gambaran tentang terumbu karang Pulau Liwungan hanya terekam samar di ingatan. Oh iya, pagi itu kami juga cukup beruntung karena bisa melihat siluet Gunung Anak Krakatau, duh impian saya banget untuk bisa berkunjung ke sana. Semoga suatu saat kesampaian. Snorkeling pagi itu dipenuhi dengan banyak guyon dan tawa dari kami berempat, saya masih ingat tingkah Fahrus yang bisa-bisanya baru ganti celana di atas perahu ditutup handuk saja, mana diliatin nelayan dan rombongan snorkeling dari kapal lain, haha kita pura-pura ngga kenal bisa ngga rus?

Setelah perjuangan bertahan hidup berkedok snorkeling selesai, kami lanjut ke destinasi utama selanjutnya: Pulau Liwungan. Pulau ini hanya berjarak 15 menit dari titik snorkeling tadi, pasirnya cukup putih, airnya biru bersih, dan panasnya terik haha. Meskipun saat itu adalah weekend, tapi pulaunya cukup sepi, sebenarnya kegiatan yang bisa kita lakukan di Pulau Liwungan adalah berenang, tapi kami sudah puas bermain air saat snorkeling, jadi kami hanya jalan kaki dan bermain pasir saja. Selama kami di pulau, ada satu anjing yang terus membuntuti setiap pengunjung, nama anjing itu adalah Bobi, walaupun dia adalah anjing betina. Awalnya kami heran dan takut karena Bobi terus membuntuti kami, kemudian kami baru sadar kalau dia minta makan dan minum. Begitu kami berikan air putih, dengan cepat dia menghabiskannya, begitu pun saat kami berikan biskuit jagung (hanya itu makanan yang kami bawa), tak perlu waktu lama biskuit itu pun ludes. Sebelum kami pulang, saya bertemu lagi dengan Bobi di tepi pantai, tatapannya lurus tertuju ke seberang pulau alias daratan, dia tidak bergeming walaupun kakinya tersapu ombak, matanya terlihat sedih. Saya tidak begitu paham soal anjing, tapi saya coba simpulkan bahwa Bobi sedang menunggu atau mengingat sesuatu dari daratan. Saya sedih dan kasihan melihat Bobi, entah siapa yang membuangnya ke tengah pulau kecil ini.. Kalau memang mau membuang binatang, kenapa tidak di pasar saja? Supaya masih ada sumber makanan dan minuan yang bisa dia kais. Hati saya tertinggal memikirkan nasib Bobi hingga saat ini. Semoga banyak pengunjung Pulau Liwungan yang berbaik hati memberinya makan dan minum.

Bobi and her mind

Pukul 1 siang kami mengakhiri pejalanan Pulau Liwungan. Dan betul saja, perjalanan pulang kami diiringi gerimis kecil-kecil, sementara di belakang Pulau Liwungan tampak cerah tanpa satu pun awan hujan menggantung di atasnya. Sungguh saya bersyukur, cuaca cerah yang kami rasakan pagi itu seperti hadiah kecil dari Allah. Tiba di dermaga Kampoeng Nelayan, kami sekalian saja beli makan di sini karena menyatu juga dengan restoran. Kami memesan ikan kerapu bakar, harganya tidak murah tapi juga tidak mahal kok, untuk rasanya enak-enak saja. Selesai makan kami kembali ke penginapan untuk sholat dan tidur siang. 

Sore hari, badan terasa lebih segar setelah tidur siang, dan kami sudah bersiap-siap menuju pantai untuk berburu sunset. Lagi-lagi saya tidak berharap banyak karena siang itu hujan mengguyur kawasan Tanjung Lesung. Kali ini kami berjalan lebi jauh ke arah Jalan Raya Ujung Kulon, dan ternyata di area ini Tanjung Lesung terlihat bagus banget! Ada satu tanjakan yang dari atasnya kita bisa melihat hamparan laut di bawah. Kami sebenarnya tidak punya tujuan khusus mau ke pantai yang mana, hingga kami melihat satu area yang sepertinya cukup oke dan ada mushola (sunset=mepet magrib). Meliprlah kami ke area Black Cliff Tanjung Lesung. Awalnya saya tidak ekspektasi apa-apa, dan sudah siap mental juga kalau ditembak harga. Ternyata tidak masuknya hanya 10 ribu sudah free wifi (iya, di area pantai ini tidak ada sinyal). Menunya hanya ada kopi sachet, ciki-cikian, dan kacang, harganya  terjangkau hanya 6 ribu untuk minuman da 10 ribu untuk snack. Sore itu pantai cukup sepi, kami turun ke bawah mendekati pasir dan bebatuan, Saya dan suami duduk berdua, Mba Niswa dan Fahrus berdua, kami cari posisi pewe masing-masing, menikmati kopi sambil menunggu senja, ehe. 

Katanya sunset di Balck Cliff ini bagus, tapi karena langit berawan, kami legowo saja kalau-kalau tidak melihat apa-apa sampai langit gelap total. Namun ternyata, lagi-lagi alam berbaik hati sama kami, sunset muncul dengan jingga sempurna sore itu. Air laut beriak emas sepanjang mata saya memandang. Saya dan suami menikamti susnet sambil bercerita banyak, mengenang kembali episode-episode pernikahan kami yang masih seumur jagung ini.


Sebelum sunset, ga ekspektasi apa-apa dengan kondisi berawan gini

Tapi alam berkata lain :')

Kami tidak beranjang barang sedetik hingga matahari tenggelam sempurna, barulah kami kembali ke atas dimana pondokan dan mushola berada. Agar bisa berjalanan dengan santai, kami pun sholat magrib dulu di Black Cliff, sambil ngobrol-ngobrol juga dengan pengelolanya. Di Black Cliff juga ada spot snorkeling loh, kalau tidak salah mereka juga menyewakan alat pelampung. Tapi saat kami cerita kalau hari itu kami sudah snorkeling di Pulau Liwungan, mas-mas pengelolanya dengan jujur mengatakan baguslah kalau begitu, karena ternyata spot snorkeling terbaik seantero Tanjung Lesung itu yaa di Pulau Liwungan, hehe. Oh iya, selain itu mas-masnya juga menginfokan kalau kita bisa camping di Black Cliff, fasilitas toilet dan musholanya bersih, airnya pun sama sekali tidak asin. Kalau mau camping di sini, biaya 100 ribu per malam, saya pribadi sangat berminat untuk camping di sini suatu hari nanti.

Area camping black cliff

Minggu, 4 Desember 2022

Hari ini adalah perjalanan pulang ke Jakarta. Kami menghabiskan menit-menit terakhir trip Tanjung Lesung di sekitaran homestay saja, apalagi homestay ini punya 2 lokasi berseberangan jalan, dimana yang satu memiliki akses langsung ke pantai. tadinya saya mau berenang, tapi dipikir-pikir lagi malu juga kalau cuma sendirian apalagi pagi itu ada tamu homestay lainnya yang sedang sarapan di pinggir pantai. Jadinya kami duduk-duduk saja sambil melihat matahari terbit dari mushola terapung di depan homestay. Pagi itu rasanya tenang sekali, ombak pelan menyapu pinggiran pantai, perahu nelayan berbaris di tepian pantai, mengayun pelan mengikuti gerakan ombak. Pagi itu suasana Tanjung Lesung sangat tenang dan damai, rasanya ingin saya bawa pulang.

Kami pindah duduk di bangku taman homestay, tiba-tiba satu per satu anak berseragam olahraga SD berhamburan ke bibir pantai. Kami yang agak bingung diam saja menonton anak-anak tersebut. Tak lama menyusul di belakang mereka pria dengan pakain rapi, sepertinya guru. Ternyata mereka adalah anak-anak penduduk sekitar yang sepertinya sedang pelajaran olahraga. Pantai yang tadinya tenang jadi lebih berwarna dengan kehadiran anak-anak tersebut. Mereka jago berenang, perahu kenalayan seketika dirompak menjadi papan lompat untuk terjun ke laut, haha. Mereka saling balapan salto dari perahu nelayan, sementara si pak guru mengawasi di pinggiran sambil 'ngemong'anak bawang yang menyusup jadi murid SD. Pagi itu saya tertawa, bukan karena lelucon, tetapi hanya karena melihat tingkah lucu bocah-bocah itu. Rasanya sudah lama sekali saya tidak tertawa karena hal sesederhana ini. 

Bociil
Akamsi parah

Puas melihat bocah main air. Saya, Mba Niswa, dan Mba Fahrus melipir ke penginapan di samping homestay kami. Itu adalah area resort yang sangat luas, ternyata posisinya menanjak jauh ke belakang. Resort itu bukanlah resort mewah, tapi terdapat banyak sekali kamar di sana, kalau bukan karena ada tulisan resortnya mungkin saya sudah mengira area itu adalah cluster perumahan. Saya kurang tau apakah resort tersebut sudha beroperasi, sedang diernovasi, atau bagaimana, tapi pagi itu suasananya sangat sepi.. Seperti tidak ada yang menginap di sana. Setelah keliling resort yang ternyata cukup bikin keringetan, kami pun kembali ke homestay untuk bersih-bersih dan bersiap pulang ke Jakarta.

Jam 10 pagi kami check out dari homestay. Sebelum perjalanan pulang 4 jam, kami sudah sepakat untuk brunch dan ngopi-ngopi dulu di pasar Tanjung Lesung. Awalnya kami bingung mau makan dimana.. Hingga mata saya tertuju pada ruamh makan serupa warteg yang tidak ada tulisannya. 

lokasi kuliner hidden gem

Kan? Ga ada papan nama rumah makan apapun

Ada bapak tua yang sedang mengipas cumi bakar di depan RM itu, saya mengajak teman-teman untuk makan di situ saja, tapi semuanya tidak yakin apakah RM itu sudah buka atau belum. Hingga akhirnya seorang ibu menyuruh kami untuk masuk, ternyata di adalah pemilik rm itu. Saya kira keberuntungan kami berakhir di pertunjukan bocah tadi saja, ternyata rm ini adalah harta karun Tanjung Lesung lainnya! Harga makanan di rm ini sangat masuk akal, dan termasuk murah menurut saya. Seafood-nya sangat segar karena ternyata dibeli langsung dari pasar ikan di belakang rm. FYI, harga ikan di pasar ini pun kelewatan murahnya, saya beli 1kg ikan cakalang hanya 10 ribu, yaampun bahagia banget! Di rm ini juga menjual gula aren lokal yang masih diproduksi dengan cara tradisional, dan lagi-lagi harganya murah-rah-rah, hanya 15 ribu untuk 2 batok gula. Saya jadi ingat pernah beli gula aren di Jogja dengan harga 21 ribu untuk 2 batok, jadi masih lebih murah yang di Tanjung Lesung pun.

Ikan ini 15 ribu per porsi, belum sama nasi yah. Nasi dan sayur dihitung flat 7 ribu mau sebanyak apa pun

Harga cuminya variatif, untuk yang paling besar 25 ribu per ekor

Cocok jadi oleh-oleh kannn

Setelah kenyang makan kami melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta dengan hati yang penuh, setidaknya itu yang saya pribadi rasakan :)

Tim hore

Suamiku



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia