Long Trip Part I: Pendakian 31 Jam di Gunung Lawu

Bismillah.
Sesungguhnya tujuh hari bukan waktu yang lama, tapi saya bilang panjang karena selama seminggu hampir setiap hari tidak dilewatkan tanpa jalan-jalan men. Kegilaan ini dimulai karena euforia telah menyelesaikan skripsi. Saya yang awalnya tidak berencana untuk mudik ditawari oleh seorang “pejalan” (saya lebih suka menyebut dia begitu) bernama Yan untuk mendaki Gunung Lawu. Mengingat selama Ramadhan tidak jalan kemana-mana dan fokus pada skripsi, saya sepakat untuk ikut bergabung. Sebenarnya bagi saya menuliskan pengalaman perjalanan butuh banyak pikir panjang, mengutip perkataan Yan bahwa alam punya hak untuk tetap terjaga, kurang lebih begitu. Kenapa akhirnya saya tuliskan di posting ini murni karena “keegoisan” saya yang butuh dokumentasi atas perjalanan yang telah dilakukan. Harapan saya, siapapun yang membaca ini lalu timbul niat untuk mendatangi tempat tersebut, tolong, jangan tinggalkan apapun kecuali jejak sepatu dan jangan ambil apapun kecuali kenangan :)

Selasa 19 Juli 2016
Perjalanan dimulai dari stasiun Pasar Senen, dengan ditemani satu rekan bernama Kak Putri. Kereta ekonomi Bengawan mengantar kami dari ibu kota negara menuju Stasiun Purwosari Surakarta. Malam menyambut saat kami keluar. Dari Purwosari kami dijemput oleh bibi saya yang tinggal di daerah Mangkuyudan, tidak jauh dari stasiun. Pukul sepuluh, Yan menyusul ke rumah bibi dari rumahnya di Boyolali, lalu kami packing dan istirahat untuk memulai perjalanan besok pagi.

Rabu 20 Juli 2016
Setelah selesai dengan urusan bersih-bersih badan dan sarapan, kami menuju Terminal Tirtonadi. Ambil bus kecil menuju Tawangmangu, sebetulnya dari terminal Tawangmangu bisa menggunakan ojek, tapi Yan meminta sopir bus yang kami tumpangi untuk mengantar ke Candi Cetho. Ya, pendakian kami lakukan via Candi Cetho. Setelah melewati perkebunan teh, sampailah kami di pintu simaksi. Selesai urusan simaksi, pendakian dimulai.

Untuk jalurnya, menurut saya tingkat kesulitan medan Candi Cetho standar saja dari awal hingga akhir, hanya perlu tenaga ekstra dari pos 4 ke pos 5 yang jalurnya menanjak hampir tanpa bonus. Dibandingkan medannya, saya pribadi justru lebih menyoroti keheningan dan udara di sana. Seorang teman berkata kepada saya bahwa Gunung Lawu sangat dingin, dan setelah merasakan sendiri saya pun mengakui hal tersebut, dari sejumlah gunung yang sudah saya tapaki Gunung Lawu adalah yang paling dingin. Saat di pos 4 kami istirahat sejenak, tapi karena udara sangat dingin kami sampai membuat minuman hangat. Benak saya tertawa jenaka, ini masih di jalur loh dan kami sampai membuat minuman hangat karena kedinginan. Selesai menarik nafas dan menikmati cokelat panas, perjalanan kembali dilanjutkan. Waktu menunjukkan pukul setengah 5 sore, target kami sebelum magrib sudah harus mendirikan tenda karena tidak seorang pun di antara kami yang berminat melakukan perjalanan malam pada udara sedingin itu.

Bentang alam dari pos 4 menuju pos 5 mulai terasa berbeda. Ketinggian yang terus bertambah membuat kami dapat mengintip deretan pegunungan lain yang malu-malu membentuk siluet diantara langit senja. Sementara pada badan gunung, pohon pinus dan sabana mulai mendominasi. Sore itu saya sedang ingin sendiri (dan sepanjang perjalanan ini pun cenderung terus ingin sendiri), maka saya percepat langkah dan meninggalkan dua rekan di belakang. Ya, kesunyian yang sangat absolut pada sore menuju malam, gradasi langit benar-benar indah, sungguh nikmat Tuhan mana yang akan didustakan jika sudah berhadapan dengan alam yang begini indah? Setelah melewati semak berry sekitar 15 menit, saya bertemu dengan rombongan lain di depan, dua pendaki di depan memanggil saya “Mbak, cepat sini Mbak. Ada pemandangan langka!”, ternyata di antara deretan pohon pinus ada rusa. Satu bonus di perjalanan kali ini, saya bisa melihat rusa di alam liar secara langsung :)

Kemudian, kami kembali mengitari satu bukit untuk bisa sampai di pos 5, Bulak Peperangan. Bulak Peperangan adalah kawasan lembah sabana yang membentang cukup luas. Menurut mitos, di Bulak Peperangan inilah lokasi terjadinya perang antara Majapahit dan Kerajaan Demak, saya sendiri sanksi apakah mitos itu benar, apa tidak keburu capek kalau mau perang di atas gunung begini? Ada pula mitos yang mengatakan bahwa Bulak Peperangan adalah lokasi terjadinya Perang Bubat, yakni tragedi kisah cinta Raja Hayam Wuruk terhadap Puteri Dyah Pitaloka yang berakhir pahit (untuk tahu kisahnya silakan googling). Setelah mengabadikan momen di Bulak Peperangan, kami melanjutkan perjalanan menuju kawasan sumber air  Sendang Macan. Sebetulnya banyak pendaki yang memilih nenda di Bulak Peperangan, tapi karena niat kami dari awal ingin perjalanan yang lebih hening dari biasanya maka kami memilih nenda di dekat Sendang Macan, apalagi persediaan air kami sudah mau habis.

Setelah memilih lokasi yang pas, kami bergegas mendirikan tenda dan bersih-bersih diri sebelum pendar matahari ditelan malam. Memang ya Gunung Lawu itu dinginnya terlalu. Malam itu kami habiskan dengan menghangatkan diri dengan minuman hangat sambil menikmati suasana sabana yang tengah diterangi purnama yang bulat sempurna. Maka dari itu, dibanding menyebutnya Sendang Macan, saya lebih suka menamai kawasan sabana itu dengan Padang Bulan.

Pagi hari saya dan Kak Putri bergegas mengambil air di telaga, tentu sambil menikmati sunrise. Yap ini adalah kali pertama saya menghitung mundur detik matahari terbit bukan dari puncak gunung, Padang Bulan rasanya lebih indah. Kami menghabiskan waktu mulai dari masak, menjemur baju, lari ke sana-ke sini, capek, minum, duduk, begitu terus hingga tengah hari. Selesai berkemas, saatnya mengucapkan salam perpisahan pada Padang Bulan.

Lokasi: di gunung :D

Perjalanan dilanjutkan melewati Pasar Dieng yang penuh dengan edelweis kering, rupanya kami datang pada waktu yang kurang tepat. Kemudian melewati Pasar Setan, bagi saya ada yang lucu di sini, banyak pendaki yang menyusun batu sedemikian rupa, tidak ada alasan khusus, hanya iseng saja. Dari kejauhan kami sudah dapat melihat warung Mbok Yem yang terkenal itu. Sebelum menuju warung, kami melipir ke sabana tanpa nama yang tidak seberapa jauh dari Pasar Setan, sabana itu terlalu menggoda hati untuk berfoto ria. Puas menikmati sabana, kami segera menuju warung Mbok Yem, melaksanakan shalat zuhur, makan siang, menitipkan keril di warung Mbok Yem, dan mulai pendakian ke puncak.
Awalnya saya kira jarak antara warung Mbok Yem dan puncak akan sangat jauh, tapi ternyata tidak. Kami menghabiskan waktu sekitar 25-30 menit untuk mencapai puncak. Kabut menyambut kami, jarak pandang hanya sebatas 2-3 meter saja. 

Saya sempat pesimis, apa yang ditawarkan puncak gunung di siang bolong begitu? Momen sunrise sudah lewat, menunggu sunset tentu masih lama, tapi kalau tidak ke puncak rasanya ada yang kurang. Kemudian, dari tugu triangulasi, Yan mengajak saya melipir ke sebelah kiri, ternyata masih ada lahan yang tidak seberapa luas di sana. Saat itu hanya ada kami dan satu rombongan lain di puncak, saya tidak bisa menahan hati untuk menepi sendiri di pelataran puncak (saya menamainya begitu), saya mengambil jarak dari rombongan tersebut. Tidak berapa lama kabut mulai pudar, dan masyaallah sekali, ternyata apa yang ada di hadapan saya adalah lembah hijau dan puncak bebatuan yang membentengi sekeliling puncak Gunung Lawu. Rasa bahagia dan takjubnya sulit dijelaskan, maka datang saja sendiri untuk mengetahui seindah apa ciptaan Tuhan yang satu itu.

Puncak Lawu


Kami cukup lama berada di puncak, semua sibuk dengan lamunan dan pikiran masing-masing. Setelah merasa hari makin meninggi, kami kembali ke warung Mbok Yem. Sekitar pukul 3 sore kami memulai perjalan turun via Cemoro Sewu, tidak balik ke Candi Cetho. Rute jalan dari puncak ke basecamp Cemoro Sewu sangat jelas, jadi tidak perlu takut tersesat. Perjalanan turun cukup melelahkan karena hampir seluruh jalur telah dibuatkan anak tangga, lebih memudahkan memang, tapi di lain sisi membuat lutut semakin menjerit kesakitan. Treknya minim bonus, dan ratusan anak tangga dari susunan batu itu membuat perjalanan turun terasa nggak sampai-sampai. Walaupun demikian, pemandangan yang ditawarkan punya warna sendiri, jika di jalur Candi Cetho kami pesta lautan sabana, maka di jalur Cemoro Sewu kami disuguhkan batu dengan berbagai ukuran, mungkin bagi sebagian orang relief bebatuan terlihat lebih indah. Kami turun dengan kecepatan luar biasa, total waktu yang kami butuhkan untuk turun hanya 2 jam 40 menitan  (saya lupa angka pasti menitnya), suatu kegilaan yang nyata.

Tepat setelah adzan magrib kami sampai di gerbang pendakian Cemoro Sewu. Yan mengurus segala laporan, karena kami naik dan turun dari jalur yang berbeda maka harus mengabarkan juga ke pihak simaksi Candi Cetho. Selesai urusan izin, kami bergegas mencari lokasi istirahat, basecamp Cemoro Sewu rasanya kurang nyaman karena saat itu basecamp dipenuhi oleh para kaum adam. Maka kami mencari warung di sekitar  yang bisa dijadikan “basecamp”. Malam itu saya tidak bisa tidur, karena dingin yang teramat sangat.

Kamis 21 Juli 2016
Pukul 6 pagi, kami berkemas dan menunggu angkutan pertama yang dapat membawa kami ke terminal Tawangmangu. Jam 8 pagi kami sudah kembali lagi ke rumah bibi di Mangkuyudan, Solo.


(bersambung ke part II)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia