It's Time to Throw Back Time: Petualangan Seru ke Pelabuhan Merak-Bakaheuni

Halo teman-teman semua, kali ini saya mau cerita tentang salah satu petualangan terbaik saya bersama Kapal Ferry di tahun 2017. Tulisan ini saya remake secara khusus, selain karena memang pengalamannya yang seru banget, juga untuk ikut memeriahkan ulang tahun PT ASDP Indonesia Ferry. Hayo sudah pada tau belum dengan PT ASDP Indonesia Ferry? Yuk kita berkenalan dulu sama BUMN yang satu ini. PT ASDP Indonesia Ferry adalah salah satu BUMN di Indonesia yang bergerak dalam jasa angkutan penyeberangan dan pengelola pelabuhan penyeberangan untuk penumpang, kendaraan dan barang. Kehadiran PT ASDP Indonesia Ferry penting banget mengingat negara kita Indonesia tercinta adalah sebuah negara kepulauan, sehingga angkutan laut jadi moda yang efektif banget untuk menghubungkan satu pulau dengan yang lain, apalagi hingga saat ini angkutan laut jauh lebih murah dan bisa dijangkau semua kalangan (pengalaman pribadi banget, haha).

Baiklah, saya akan memulai flashback ini ke tahun 2017. Tanggal 14-16 April 2017 menjadi tanggal sakti bagi para pegawai kantoran macam saya, karena tanggal tersebut adalah 'harpitnas' alias hari kejepit nasional. Kebetulan pula sudah berpuluh purnama saya memendam keinginan untuk naik kapal laut, maka jadilah edisi ngebolang kali itu saya main ke Pelabuhan Merak-Bakaheuni. Terdengar aneh ya, main kok ke pelabuhan? Hmm..Sepertinya banyak orang yang belum tahu ya, bahwa salah satu cara terbaik untuk menikmati laut adalah dari kapal laut.

Kamis, 13 April 2017

Laut oh laut.. Rencana perjalanan ini saya mulai dengan berandai kalau saja ada satu teman yang bisa turut membersamai perjalanan saya. Yah begitulah nasib ketika belum berani melakukan solo travelling, jadi ketergantungan pada kehadiran teman seperjalanan. Saya coba menebar jaring ke beberapa teman yang dirasa berpotensi menerima tawaran perjalanan saya. Gayung bersambut, seorang teman bernama Ela, si gadis asli Nusa Tenggara Barat yang belum pernah ke Sumatera, tiba-tiba menghubungi saya pada Kamis siang alias H-1 perjalanan, ia bersedia ikut ngebolang ke Pelabuhan Bakaheuni. Kami punya prinsip yang sama soal jalan-jalan: jalan-jalan bukan soal tujuan, tetapi perjalanan itu sendiri adalah jalan-jalan. Maka dalam edisi ngebolang ke Merak-Bakaheuni ini kami tidak ngoyo, tidak menetapkan tujuan khusus, jalani saja dan rencanakan ketika sampai di tempat.

Jumat, 14 April 2017

Sesuai kesepakatan di hari sebelumnya, pukul 07.00 WIB kami janji bertemu di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Matahari baru sepenggalan naik ketika seorang calo mendekati kami, mengarahkan ke bus tujuan Pelabuhan Merak, firasat saya tidak enak.. tetapi entah setan apa yang menghampiri, kami manut saja ketika disuruh naik, padahal sejak awal kami sepakat untuk berangkat menggunakan bus langganan saya menuju Pelabuhan Merak. Bus yang kami tumpangi memang berangkat lebih dulu, tetapi firasat saya jadi kenyataan, tepat di depan gerbang keluar terminal, bus itu 'ngetem' dengan seenaknya. Baiklah, saya coba untuk sabar. 15 menit, 30 menit, 1 jam, bus tidak jalan-jalan. Merasa tertipu, kami nekad turun dari bus tanpa menoleh meski si sopir mencak-marah meminta kami untuk kembali. Kami masuk kembali ke dalam terminal dan langsung melompat masuk ke bus langganan saya, kemudian tertawa lepas, puas.

Perjalanan Jakarta-Merak menghabiskan waktu 4 jam. Karena naik kendaraan umum, di setiap terminal besar kami harus berhenti, Kali Deres, Serang Pakupatan, Cilegon.. belum lagi ketika ada penumpang yang ingin turun di luar terminal. Padahal jika naik mobil pribadi perjalanan Jakarta-Merak hanya memakan waktu 2-3 jam saja. Kami ngobrol panjang-kali-lebar-kali-tinggi, berusaha membunuh bosan semampunya. 

Pukul 12.30 WIB akhirnya bus tiba di area terminal Pelabuhan Merak. Kami melanjutkan jalan kaki menuju loket penumpang Pelabuhan Merak. Saat itu harga tiketnya sangat murah, hanya Rp 13.000,- saja. Oh iya teman-teman, saat membeli tiket kartu identitas wajib ditunjukkan dan akan dipindai oleh petugas. Nah, perlu diketahui juga saat menggunakan kapal ferry, kita tidak bisa memilih mau naik kapal yang mana dan jam berapa, tetapi tenang saja karena akan selalu ada armada kapal ferry yang beroperasi, saya rasa untuk penyeberangan di Selat Sunda ini kapal ferry-nya beroperasi 24 jam (pengalaman dari kecil selalu mudik ke Sumatera, heuheu). Siang itu kami dapat kapal yang cukup besar, Ela dibuat terpelongo melihat ukuran kapal ferry yang akan kami tumpangi,

"Kayak gedung ya La", celetuk gadis Lombok ini. Maklum, Ela belum pernah sekali pun naik kapal laut, katanya. Kami masuk kapal pukul 13.00 WIB, tetapi kapal baru diberangkatkan pukul 13.30 WIB, mungkin untuk memberi jeda istirahat bagi para Anak Buah Kapal (ABK).

"we bridge the nation", ini epic banget!
Kami memilih duduk di samping geladak kapal, niatnya sih ingin melihat pemandangan laut. Namun udara laut terasa sangat terik, saking panasnya kami yang hanya duduk diam saja keringatan, ckckck... Akhirnya kami mendinginkan badan dulu di mushola kapal yang nyaman dan full AC. Setelah hilang semua peluh, kami keluarkan 'peralatan perang' anti sinar matahari, mulai dari sunblock, pelembab wajah, lotion.. pokoknya semua kami pakai, kami tidak boleh kalah dari panasnya sinar matahari dan  harus mengeksplor kapal ini, sebisanya! Setelah beres menggunakan 'peralatan perang', kami mulai penelusuran. Sampai akhirnya kami menemukan spot paling cantik dari kapal ini: geladak kapal paling atas! Dari geladak ini kami dapat menyaksikan lautan luas tanpa penghalang. Walaupun panas matahari mendidihkan ubun-ubun, tetapi laut yang biru tua itu membuat perasaan kami senang, bau air laut menguap di udara.

Geladak kapal paling atas
Puas berswafoto di geladak, sejurus kemudian mata kami tertuju pada satu ruangan di sudut depan kapal, itu adalah ruang nakhoda. Kami sama-sama penasaran tetapi di pintu masuk sudah jelas tertulis "penumpang dilarang masuk". Masih penasaran, kami mengintip-intip dari luar jendela sampai seorang ABK menyadari mata-mata kami yang mencuri pandang ke dalam. Tak dinyana, kami justru diajak masuk, wah! Mungkin ini adalah berkah karena kapal sedang lengang sehingga para ABK pun  mencari teman bicara seperti penumpang-penumpang macam kami ini. Kami bertemu dengan Bapak Nakhoda yang duduk rileks sambil memandang lautan, mata saya pun ikut tertuju kemana Bapak Nakhoda melempar pandang, sungguh luar biasa.. Laut luas nan biru membentang di segala ufuk, dari ruang kemudi nakhoda ini kami dapat melihat daratan yang sedang kami tuju, Pulau Sumatera. Kami berkenalan, berbincang ringan, kemudian segera keluar, tidak enak berlama-lama mengganggu orang yang sedang bekerja. Ini adalah pengalaman yang menarik buat saya, bertahun-tahun mudik ke Sumatera menggunakan kapal ferry dan baru kali ini saya dapat melihat langsung ruang kemudi kapal.

Pukul 15.00 WIB kapal kami berlabuh di Pelabuhan Bakaheuni, Lampung. Ela sangat excited karena ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Pulau Sumatera. Kemudian, Ela meminta untuk naik kapal ferry pada malam hari, biar lengkap dapat suasana kapal pagi dan malam. Sejenak saya berpikir, jika kami langsung kembali saat itu juga, jam 5 sore pun sudah sampai lagi di Merak sehingga tidak mungkin mendapatkan suasana laut di malam hari. Maka, kami memutuskan untuk menghabiskan sore di pantai sekitar pelabuhan. Dengan bantuan ojek pangkalan, kami menuju Pantai Tanjung Tua, Lampung. Biaya ojek cukup merogoh kocek, entahlah mungkin kami memang tidak pandai menawar, kami membayar Rp 60.000,- untuk jarak 14 km pulang-pergi. Ternyata jalur yang dilalui sangat jelek dan berbatu, sehingga biaya yang dikenakan terasa lebih pantas.

Kami tiba di pantai ketika orang-orang sudah pulang, sehingga tinggal kami berdua yang menjadi pengunjung pantai sore itu. Tidak banyak yang kami lakukan, tidak ada senja atau makan-makan, kami hanya duduk sambil memandang Pantai Tanjung Tua yang sunyi tanpa ombak. Ya, sore itu Pantai Tanjung Tua tidak berombak, lebih mirip telaga dari pada pantai. Tanjung Tua tidak begitu luas, bibir pantai hanya memiliki lebar 5-7 meter sebelum masuk area rawa-rawa dan air payau. Tidak ada pasir putih, hanya hamparan karang hitam dan vegetasi khas tanah gambut yang entah bagaimana dapat tumbuh di kawasan pantai. 

Pantai Tanjung Tua, hampir tidak ada ombak
Dengan vegetasinya yang tak biasa

Pantai Tanjung Tua
Bagi orang yang mengutamakan view cantik dan air laut biru yang epik, Tanjung Tua bukan destinasi yang tepat. Namun, untuk orang yang ingin berkontemplasi atau dapat melihat suatu keindahan dari berbagai sisi, bolehlah mampir sejenak ke pantai ini, apalagi ketika sedang sepi. 


Nasib saya punya temen ga jago motret, akhirnya jadi tukang motret mulu, hiks..

Pukul 17.00 WIB kami kembali lagi ke Pelabuhan Bakaheuni. Lapar mendera sejak di pantai, akhirnya kami beli nasi bungkus dan makan di emperan pelabuhan, sungguh saat sedang lapar mau makan apa pun dimana pun akan terasa sangat nikmat. Saat makan belum benar-benar tuntas, seorang petugas pelabuhan memanggil kami, duh saya gugup apakah kami akan kena marah karena makan di lantai pelabuhan?

"Mbak-mbak, mau ke Jakarta ya?"
"Iya pak"
"Sini mbak buruan naik kapal yang ini, kapalnya bagus. Beneran deh saya, kalo nggak percaya ntar balik aja lagi ke sini"

Gugup saya sirna, ternyata petugas pelabuhan ini ramah-ramah. Kami ingin membuktikan ucapan bapak petugas itu, maka dengan setengah berlari kami tap in dan menuju tangga penumpang. Ternyata bapak itu tidak bohong, kapal yang kami naiki benar-benar bagus, Kapal Dharma Rucitra I namanya, saya sendiri yang sudah khatam menyeberangi Sekat Sunda baru pertama kali melihat kapal ferry Merak-Bakaheuni  sebagus ini. Kami disambut oleh pramugara kapal yang mengarahkan penumpang ke ruang ekonomi AC. Semua fasilitas standar di kapal ini gratis. Selain fasilitas standar, pihak manajemen kapal juga menyediakan kamar VIP untuk penumpang yang lebih butuh privasi dan kenyamanan, yang lebih mengagumkan lagi di kapal ini pun ada ruang bermain anak. Wah kapal ini membuat saya berkhayal sedang naik kapal Titanic, haha.. Sayangnya, saya terlalu asyik menikmati suasana kapal sampai lupa mengambil foto selama di dalam kapal, setelah searching sana-sini ternyata kapal ini pun pernah diliput media loh, wah bukan main..

Sampai diliput loh

Sama seperti perjalanan berangkat, di perjalanan pulang pun kami memilih duduk di geladak luar, demi melihat pemandangan laut malam. Sebenarnya tidak ada yang bisa dilihat di laut malam, semuanya serba hitam gelap. Namun suara-suara ombak yang pecah pada dinding kapal sudah lebih dari cukup untuk memuaskan hati kami berdua. Kemudian kelap-kelip lampu kapal lain saat berpapasan, serta bintang malam yang mulai bermunculan sungguh mempercantik pelayaran malam kami.

Kapal kami terlambat berlabuh karena kondisi ombak yang sempat meninggi, sementara waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Saya mulai khawatir soal malam yang mulai larut. Untuk naik bus ke Terminal Kampung Rambutan rasanya tidak mungkin, agak ngeri jika anak gadis harus berkeluyuran di terminal pukul 2 dini hari. Menginap di pelabuhan? Itu jadi opsi terakhir saja, jika bisa pulang ke rumah tentu saya akan memperjuangkan pulang untuk mengistirahatkan badan yang kotor dan kelelahan. Maka, sebelum kapal berlabuh, saya menyampaikan ide,

"Ela, gimana kalo kita ke parkir mobil di bawah sekarang, kita cari mobil apapun yang ke arah Jakarta, terus kita nebeng?"
"Oke", sahut Ela yang juga tertarik melihat area parkir di dalam kapal ferry.

Kami turun ke area parkir mobil, mata saya tertuju pada satu mini bus dengan stiker besar 'Turn Back Crime', sepertinya kursi penumpang mobil itu kosong. Bapak supirnya sudah bersiap di bangku kemudi menunggu pintu kapal dibuka. Sesuai kesepakatan, Ela yang lebih jago ngomong maju duluan,

"Permisi pak, mobil ini menerima tumpangan nggak?"
"Mau kemana mbak?"
"Depok, pak"
"Wah kami ke Tanah Abang"
"Oh yasudah nggak apa-apa pak, nanti kami turun di Stasiun Tanah Abang aja"
"Yasudah, silakan masuk, ada dua bangku kosong di belakang"

Dan si bapak membukakan pintu mobil bagi kami.

Mobil tumpangan penyelamat kami
Perasaan saya meluap-luap, ini pertama kalinya saya naik tumpangan gratis, ternyata trik cari tumpangan a la bacpacker itu benar-benar ada ya, haha.

Semula, dari Stasiun Tanah Abang kami berniat naik ojek online  menuju kantor saya di Jakarta Pusat, lebih nyaman tidur di kantor, dan ada kamar mandinya. Saya telpon Office Boy kantor, hmm tidak dapat dihubungi. Oh saya lupa kalau ini long weekend, para OB pasti sedang mudik semua, habislah.. Saya memutar otak lagi, naik taksi ke Tanah Abang-Depok? Jangan! Nanti sakit hati sama ongkosnya, naik taksi online? Waduh ternyata ongkosnya tidak kalah mencekik. Tidur di Masjid Istiqlal? Hmm.. apa  masih buka? Baiklah opsi terkahir menginap di Stasiun Gambir, pasti jauh lebih aman dari pada di kawasan Tanah Abang. Perang batin selesai.

Bapak sopir mengemudikan mobil dengan sangat cepat, tidak sampai 3 jam mobil yang kami tumpangi sudah masuk daerah Kebon Jeruk. Tiba-tiba saya  baru terpikir satu hal, saya buka website KAI Commuter Line, rute Tanah Abang-Bogor dengan perjalanan KRL tersedia keberangkatan terakhir pukul 23.44 WIB. Saya lirik jam di handphone, 23.12 WIB, saya tengok ke luar jendela, Mall Taman Anggrek. Cepat-cepat saya buka aplikasi maps, rute Mall Taman Anggrek-Stasiun Tanah Abang 2,7 km atau sekitar 10 menit lagi. Masih ada selisih waktu 22 menit jika mobil ini tetap melaju dengan kecepatan yang sama dan tanpa hambatan. Jantung saya berpacu lebih kencang, saya guncang badan Ela yang bisa-bisanya tidur lelap saat kondisi sedang genting; kami harus bisa masuk ke kereta pemberangkatan terakhir, demi kasur nyaman dan kamar mandi bersih di rumah!

Pukul 23.30 WIB mobil yang kami tumpangi tiba di Stasiun Tanah Abang. Kami tidak sempat banyak berbasa-basi kepada Pak Sopir yang untungnya paham kondisi kami yang sedang terburu-buru. Kami memberikan sebungkus roti perbekalan sebagai tanda terima kasih, dan langsung berlari menyusuri tangga masuk Stasiun Tanah Abangberlomba-lomba untuk tap in. Nafas saya rasanya hampir putus kalau tidak kalah oleh rasa gembira karena kami masih sempat mengejar kereta pemberangkatan terakhir itu. Lagi-lagi kami tertawa. Ini perjalanan yang gila.

Epilog

Saya tidak mengira jika jalan-jalan ke Pelabuhan Merak-Bakaheuni bisa seseru dan semenarik ini. Pemandangan yang tertangkap lensa dan mata saya juga tak kalah menakjubkan dibanding tempat-tempat yang memang berlabel 'destinasi wisata'. Selain itu, saya senang sekali bisa memperkenalkan kapal ferry dan Pulau Sumatera kepada Ela si gadis Lombok, bercerita banyak padanya tentang pengalaman saya sedari kecil yang selalu naik kapal ferry setiap mudik, tentang suara peluit kapal laut yang membangkitkan kenangan masa kecil, dan tentang semakin baiknya kualitas pelayanan di Pelabuhan Merak-Bakaheuni. Kami sampai ke rumah masing-masing dengan selamat, sebelum tertidur lelap saya masih terus senyum-senyum sendiri, ah menumpangi kapal ferry ternyata bisa semenyenangkan ini :)

Laut Selat Sunda :)
#AsyiknyaNaikFerry

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia