My First Trip to South Sulawesi: Jelajah Enrekang dan Tana Toraja

Bismillah.

Sedari masih mahasiswa dulu, ada satu mimpi yang konsisten saya tulis di buku target hidup, "Aku ingin menginjakkan kaki ke Sulawesi, entah Sulawesi sebelah mana yang penting Sulawesi". Bukan sekali saya menulis, paling tidak sudah enam kali pergantian tahun mimpi itu nangkring di buku target saya. Dan ternyata, jawaban Allah atas mimpi itu adalah Ya. Ya, akhirnya saya benar-benar dapat menapaki kaki ke Pulau Sulawesi. Tak tanggung-tanggung, takdir membawa saya ke pelosok-pelosok desa di Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Tana Toraja.

Sekali lagi, urusan pekerjaan kantor menjadi wasilah saya untuk bisa sampai ke tempat-tempat yang ngga disangka ini. Awal 2018 divisi saya memperoleh amanah besar dari kantor pusat, yakni untuk melakukan pengukuran di 121 kabupaten di Indonesia, sedangkan SDM pada divisi kami hanya berjumlah belasan orang. Maka jadilah tiap orang kebagian turun lapang ke beberapa titik sekaligus. Dan masuklah nama saya sebagai penanggungjawab untuk 2 kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan: Enrekang dan Tana Toraja. Sejujurnya pada hari pengumuman itu hati saya meletup bahagia, seperti tidak percaya, "Ini beneran nih gue ke Sulawesi?!". Dan begitulah, awal 2018 satu mimpi saya tercapai.

Sawah warga di Tana Toraja
Senin, 12 Maret 2018

Pagi ini jadi pagi yang sangat riweuh. Saya lari tergopoh-gopoh menuju gate 4 setelah mendengar nama saya dipanggil lewat final call Bandara Soekarno-Hatta.

"Kursi 27A", dengan nafas yang tersengal saya menunjukkan boarding pass pada pramugara.
"Disini saja mba, pesawatnya sudah mau berangkat", si pramugara meminta saya duduk di bangku depan. Beberapa menit kemudian pesawat yang saya tumpangi pun lepas landas.

Huft.. Saya salah melihat jam yang ada di boarding pass, untungnya tidak sampai ketinggalan pesawat menuju penerbangan perdana saya ke Sulawesi. Saya bersyukur kru pesawat masih memaklumi keteledoran saya, tidak ada yang bermuka masam, mungkin justru kasihan lihat muka saya yang berpeluh keringat menuju gate. Ketegangan sudah mereda, saya mulai bisa menikmati penerbangan 3 jam ini, meski dalam hati saya masih deg-degan, saya ke Sulawesi!

Akhirnya saya tiba di Makassar. Saya cek jam di handphone, setting jam masih 09.00 AM, saat paket data dinyalakan langsung berubah jadi 10.00 AM, great saya benar-benar sudah berada di belahan lain Indonesia. Saya mencuri dengar percakapan-percakapan orang di sekitar saya, and I was so amazed.. logat, bahasa, semuanya sungguh berbeda. Saya terdampar cukup lama di bandara karena mobil travel yang akan menjemput saya datang terlambat. Setelah berjam-jam menunggu di kedai kopi bandara, mobil travel pun datang, perjalanan dilanjutkan menuju Kabupaten Enrekang dengan estimasi waktu sekitar 5 jam.

Sepanjang perjalanan tersebut sudah bisa dipastikan saya hampir tidak bisa tidur, I was too excited. Atmosfer Sulawesi sungguh terasa dimana-mana, dialek orang-orang, rumah penduduk, dan relief alam, semuanya sungguh berbeda dan membuat saya terlalu sayang untuk tidur. Saya tiba di Enrekang sekitar pukul 22.00 WITA. Sesampainya di hotel saya baru merasakan kalau badan saya benar-benar capek dan ngantuk, heuuh~

Selasa, 13 Maret 2018

Hari pertama di Enrekang saya langsung menuju lokasi survey bersama tim dari kabupaten dan perwakilan dinas pertanian setempat, yakni Pak Bahar dan Pak Deni. Tempat yang kami sambangi ini Desa Cendana namanya,

Desa Cendana, sentranya pengolahan keju dangke
"Desa ini penghasil keju dangke, Mba", kata Pak Bahar.
"Ohh", saya menjawab datar, padahal dalam hati saya meluap-luap, "Ini dangke yang sering di acara jalan-jalan tivi itu kan?? Yaampun ini keju tradisional Indonesia itu?? Gils gue ga sabar pingin nyobain!!!" hahaha.

Selesai dengan urusan pekerjaan, acara dilanjutkan dengan makan siang bersama. Dan seperti yang dijanjikan staf kantor desa, salah satu menu makan siang yang disajikan adalah keju dangke goreng. Wah dengan cepat tangan saya langsung menyambar sepotong keju dangke, penasaran parah! 

Lalu bagaimanakah first impression saya makan keju tradisional ini??? Ternyata, rasa keju dangke itu enak loh, teksturnya seperti tahu, tetapi tidak ada rasa kedelainya sama sekali. Dan rasa kejunya pun tidak seperti keju yang biasa kita kenal (cheddar, parmesan, mozarela, dll), rasanya sangat ringan, agak mirip tahu sutera, tapi tanpa rasa kacang kedelai, haha.. Bingung deh mendeskripsikannya, harus coba sendiri baru paham. Cara pengolahan dan bahan baku pembuatannya pun Indonesia banget: susu kerbau/susu sapi segar direbus dengan getah kates (pepaya muda), difermentasi hingga jadi keju, kemudian dibungkus dengan daun pisang. Ohya, yang juga unik dari keju ini, selain kejunya digoreng atau dipanggang, makannya juga paling enak pakai sambal, benar-benar keju dengan cita rasa Indonesia deh!

Keju dangke goreng :)

Zoom zoom

Kayak tahu kan
Sekitar pukul 2 siang agenda kami di Desa Cendana telah selesai. Saatnya kembali ke Kota Enrekang. Di perjalanan, Pak Deni menawarkan saya untuk mampir sebentar ke sebuah kedai kopi.

"Suka kopi kan Mba?"
"Suka pak", jawab saya kalem, deuh meuni ga enakan deh kalau turun lapang bersama bapak-bapak, jadi ngga bisa ngobrol banyak, atau mungkin karena saya juga yang agak introvert sih.

Hingga tibalah kami di sebuah coffee shop bernama "Coffee Latimojong" di Jln. R.A Kartini, Enrekang. Kedai kopi ini cukup unik, sepanjang pengamatan saya pengunjungnya sangat beragam. Di seberang meja kami ada tetamu yang menggunakan seragam warna senada dengan Pak Deni, dugaan saya sih PNS. Kemudian, di sudut depan ada serombongan lelaki muda dengan gaya super kasual sambil sibuk menatap laptop, wah mahasiswa nih kayaknya. Di meja luar, ada juga rombongan remaja putera dengan pakain putih abu-abu, fix anak SMA. Dinding kedai didominasi warna krem dengan garis merah-hitam yang tipis, dihiasi foto-foto dan grafiti seputar kopi, tidak ada ornamen hits kekinian yang instagramable; kedai ini sederhana sekali. Meja kasirnya mepet dengan etalase yang memajang kopi bubuk siap beli sebagai oleh-oleh. Selain kopi, si empu kedai juga turun memajang foto-foto masa mudanya dengan latar puncak-puncak gunung Indonesia, ciee mantan anak mapala.


Kalo ke Enrekang kalian kudu mampir ke sini gaess!!
Sederhana tapi berkesan :)
"Kopi kayak biasa, 3 cangkir bang" Kata Pak Deni kepada pemiliki kedai.
"Siap, kebetulan baru di grinding", jawab bapak pemiliki kedai. Beberapa saat kemudian tiga cangkir kopi hitam telah tersaji di meja kami, tak lupa semangkok kecil susu kental manis nangkring cantik di samping si kopi hitam.

"Silakan Mba, kopi susu. Nah kalau mau coba juga, di sini yang khasnya minum kopi pakai gula semut", jelas Pak Bahar, tangannya sibuk menakar gula semut ke dalam cangkir kopinya.
"Kedai ini salah satu binaan kami, Mba. Kami bedakan kopi di sini bukan cuma berdasarkan jenis kopinya, robusta, arabika, tapi juga berdasarkan desanya. Kayak kopi ini yang kita minum, ini Arabika Kalosi Potokullin dari Desa Potokullin di kaki gunung Latimojong, walaupun bibit kopi yang sama kami tanam juga di desa tetangga, tapi rasa kopinya beda, karena tanahnya beda", Pak Deni menginisiasi obrolan soal kopi. Saya amat tertarik dengan perbincangan soal kopi ini. di kedai Latimojong Coffee, proses produksi sejak dari hulu ke hilir ditangani sepenuhnya oleh bapak pemiliki kedai kopi yang merupakan binaan Dinas Pertanian Kab. Enrekang. Biji-biji kopi tersebut ia ketahui betul sejak dari masih di batang pohon hingga dipanen para petani, kemudian dalam proses pengolahannya ia turun tangan langsung mulai dari menjemur, roasting, grinding, hingga diseduh jadi secangkir kopi americano yang sedang kami minum, wah dedikasinya sungguh luar biasa dalam mengelola kedai kopi ini.

Dan, secangkir kopi di hadapan saya ini, sungguh enak sekali! Kopinya tidak asam sama sekali, apalagi yang saya minum kala itu adalah kopi yang benar-benar baru digiling dan langsung seduh di tempat. Kemudian, ini adalah pengalaman pertama saya menikmati kopi dengan gula semut, dan rasanya sungguh juara! Sulit saya mendeskripsikan betapa dalam biji-biji kopi itu tersimpan sari-sari tanah Sulawesi, yang kemudian saya teguk hingga habis #tsaah. Gula semut sendiri adalah 'barang mahal'. mungkin di Indonesia belum awam menikmati kopi dengan gula semut karena harganya yang tinggi yakni 15 ribu per 100 gram (while kalo gula pasir biasa 15 ribu dah dapat 1 kg). Pak Bahar bilang kalau gula semut laku sekali diekspor ke Malaysia sebagai bahan tambahan untuk menikmati secangkir kopi, sama seperti yang sedang kami nikmati siang ini. Getir rasanya, tak semua orang Indonesia dapat mencicipi kopi yang super enak ini lengkap dengan gula semutnya, padahal baik kopi maupun gulanya adalah hasil bumi Indonesia. 

Kopi, susu kental manis, gula semut :)

Siap jadi oleh-oleh 

Kecil-kecil harganya mahalll
Oke jadi hikmahnya adalah ternyata obrolan di kedai kopi ini cukup mencairkan suasana antara saya dan para bapak-bapak di hadapan saya. Saat akan membayar bill, saya cukup kaget dengan harga yang tertera di bill, untuk tiga gelas kopi enak barusan kami cukup membayar 45 ribu, alias hanya 15 ribu per gelas, di Jekardah mana dapetttt~

Sore mulai merangkak naik, setelah mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya saya putuskan untuk langsung meluncur ke Kabupaten Tana Toraja. Alhamdulillah-nya saya diantar langsung oleh rekan-rekan Kabupaten Enrekang, katanya mereka pun mau sekalian silaturrahim sama rekan-rekan kami di Tana Toraja. Jarak tempuh dari Enrekang ke Tator hanya 3 jam. Selama perjalanan langit sudah mendung kelabu diselingi gerimis kecil, tapi hati saya justru cerah ceria, Toraja I'm coming!

Perjalanan  Enrekang-Tana Toraja


Di sepanjang jalur Enrekang-Tana Toraja, kita akan disuguhkan pemandangan perbukitan yang wah banget. Sebelah kanan jalan ada bukit teletibbies yang namanya Bukit Nona, sementara di sebelah kirinya ada bukit berbatu yang terjal, namanya Bukit Bambapuang. Kata staf  Kabupaten Enrekang sih area Bukit Nona masih termasuk rantai pegunungan Latimojong, however rantai pegunungan ini tak sampai ke Toraja, alias di Toraja nanti pegunungannya sudah beda lagi, bukan Latimojong. So kalau kalian mau lihat 'remah-remah' Latimojong, lihatlah Bukit Nona di Enrekang.

Bukit Nona, sayang cuacanya sedang mendung

Bukit Bambapuang, terjal banget kan, btw puncaknya ketutupan kabut
Di setengah perjalanan, mobil kami menepi, rupanya Pak Ketua kelaparan, maka kami pun bersantap di sebuah restoran yang menghadap persis ke Bukit Nona. Menu yang disajikan di restoran ini  adalah makanan khas Enrekang yang tidak akan ditemukan di daerah mana pun di Sulawesi Selatan #uyeaah, namanya  Nasu Cemba, yakni daging beserta tulang-tulangnya yang dimasak dengan kuah mirip masakan pindang, tetapi tidak terlalu asam. Yang unik dari Nasu Cemba adalah cara penyajian daging yang diikat dengan tali rafia tipis (wallahua'lam deh gimana hukumnya tali rafia ikut dimasak, haha) dan serutan daun yang kayaknya sih daun asam jawa. Saya ngga tahu sih apakah daun 'cemba' ini memang nama pohonnya cemba atau 'asam jawa' dsini namanya cemba, soalnya bentuk daunnya persis banget daun asam jawa. Daun ini meninggalkan scent rasa yang gurih-gurih gimana gitu, sulit untuk dideskripsikan, sama sulitnya dengan mendeskripsikan manisnya durian atau manisnya nangka: harus coba sendiri baru paham gimana rasanya.

Waainii si Nasu Camba
Hujan turun semakin deras selama kami makan. Sangat disayangkan cuaca sedang tidak mendukung, padahal hamparan bukit di belakang kami sangat mengusik rasa, membayangkan betapa indahnya ketika bukit teletubbies itu bersanding dengan langit biru. Baiklah mari berhenti berkhayal dan kembali lanjutkan perjalanan menuju Tana Toraja~

Mirip bukit kapur tapi bukan, sepanjang jalan menuju Tator pemandangannya kayak gini nih~

Dan Hamparan Alam Mulai Berubah

Lagi-lagi saya dibuat kagum dengan bentang alam Sulawesi, setelah dimanja barisan bukit teletubbies-nya Latimojong yang kalem, perlahan relief alam mulai berubah menjadi bukit batu yang garang, sedikit mirip dengan bukit-bukit kapur di wilayah Gunung Kidul Yogyakarta, tetapi ini lebih tinggi dan bukan kapur at all,  lebih mirip karang raksasa sih kalau kata saya. 

"Mba, ini di depan kita Kabupaten Tana Toraja Mba", kata Pak Bahar.
Saya tak bisa menyembunyikan perasaan kagum saat menatap gapura selamat datang di Kabupaten Tator.
"Mau stop dulu mba? Kita foto-foto" ujar Pak Ketua yang sepertinya membaca wajah kagumku. Tetapi karena di luar hujan dan badan saya juga sudah capek, saya minta untuk tetap melanjutkan saja laju kendaraan.

Sawah di Tana Toraja
Dan, atmosfer Tana Toraja menyeruak semakin kuat. Dari gerbang perbatasan bangunan-bangunan adat khas Toraja sudah bertebaran, menyadarkan saya bahwa saat itu saya benar-benar sedang ada di Toraja, bukan main! Sepanjang di perjalanan, para staf Kabupaten Enrekang sangat antusias bercerita pada saya tentang segala hal yang mereka tahu tentang Toraja. Biar seru saya tulisin deh beberapa fakta paling menarik soal Toraja yang saya rangkum dari staf Kabupaten Enrekang, ahaha.

Lumbung Padi

Dari mereka saya jadi tahu kalau bangunan mirip rumah gadang yang akan kita lihat sepanjang jalan kenangan menuju Toraja rupanya adalah lumbung padi. Bangunan lumbung padi di Toraja kerap kali lebih mewah daripada rumah si pemiliknya. Salah satu ornamen unik yang ada di lumbung padi ini adalah gantungan tanduk kerbau di bagian depan lumbung, semakin banyak tanduk kerbau yang digantung, semakin mewah lumbung tersebut. Dan semakin banyak lumbung padi yang dimiliki di halaman rumah, menandakan semakin tinggi kasta si empu rumah, sekaligus bermakna semakin besar biaya pesta kematian yang harus dilaksanakan saat ada anggota keluarga yang wafat.

Hai gaes ini adalah lumbung padi

Adat Istiadat yang Masih Kuat

Di Toraja, kepercayaan adatnya masih kuat banget. Bahkan, tak jarang sesorang menulis agama apapun di KTP-nya, tapi dalam kenyataannya keyakinannya masih dinamisme gitu, yap orang sini menjungjung tinggi banget (atau mungkin mengkultuskan?) leluhur mereka. Kecintaan mereka terhadap keluarga dan leluhur besar banget, saking cintanya.. mereka sampai 'merawat' jasad sanak-keluarga yang telah meninggal..

Rumah-rumah Kecil yang Mencurigakan

Selain lumbung padi, saya juga melihat banyak bangunan serupa rumah yang mungkin hanya seukuran satu kamar, hanya ada 1 pintu, tidak ada ventilasi, tidak ada jendela, ini rumah apa?
Menyambung bagian sebelumnya, masyarakat adat Toraja mengekspresikan bentuk cintanya pada anggota keluarga yang meninggal dengan membuat suatu upacara adat pemakaman besar-besaran, bahkan hebohnya upacara adat kematian mengalahkan keriuhan upacara pernikahan, mirip-mirip Ngaben di adat Hindu gitu. Dalam upacara tersebut, keluarga yang ditinggalkan akan menagih kurban kerbau kepada sanak-famili atau rekan almarhum yang dulu pernah mereka berikan juga kurban kerbau saat keluarganya ada yang meninggal, simple-nya gantian, "Dulu kan bapakku ngasih kerbau pas bapakmu meninggal, nah sekarang gantian nih bapakku meniggal, kau harus nyumbang kerbau juga untuk arwah bapakku", gitu maksudnya.. Tetapi, hidup rupanya tak semulus kisah cinta ftv, harga kerbau mahal.. banyak sanak-famili almarhum yang belum mampu untuk membeli kerbau, sehingga upacara adat pun belum dapat dilangsungkan. Maka jadilah jasad almarhum pun diawetkan oleh keluarganya dengan formalin sambil menunggu dana terkumpul untuk melakukan upacara pemakaman yang layak (bisa sampai bertahun-tahun loh). Setelah diawetkan, jasad akan disimpan di rumah sementara, yap jadi rumah-rumah tersebut adalah makam~

Belumlah sampai Kota Makale (ibu kota Kabupaten Tator) sudah banyak sekali kisah yang saya peroleh. Seru deh, seperti mendengar dongeng masa kecil~
Magrib menjelang, akhirnya kami tiba di Kota Makale. Kami mampir ke Masjid Raya Makale untuk sholat magrib. Satu hal yang bikin saya kaget saat pertama sampai Kota Makale, ternyata Toraja teh dingin!

Sampai Kota Makale pas magrib dan hujan

Rabu, 14 Maret 2018

Desa yang saya survey selanjutnya adalah Desa Bone Buntu Sisong, Kecamatan Makale Selatan, Kabupaten Tana Toraja. Desa ini berlokasi di area perbukitan, saya juga sampai heran ada gitu ya manusia yang tinggal di tempat seterpencil itu.. Jalannya rusak gak karuan, tidak ada kendaraan umum, jauh dari mana-mana, listrik pun belum masuk desa. However dibalik rasa heran itu saya merasa beruntung banget, sekalinya ke Sulawesi langsung masuk ke pedalamannya banget-nget-nget. 
Jalan menuju desanya kayak gini gaes, bayangkannnn

This is Indonesia!!

Di Desa Bone Buntu Sisong, ada satu SD Negeri yang luar biasa banget sih ini gurunya, mau mengabdi mengajar di desa pelosok begini. Bayangkan kalau tidak ada guru dan SD itu, apa dan siapa lagi yang dapat menjadi jendela dunia bagi anak-anak desa ini. Bicara soal anak-anak, para bocah desa ini tuh lucu-lucu dan cakep-cakep loh, wajahnya Indonesia banget! Kulit hitam glowing, matanya hitam dan belo. hidung mancung-mancung sedang. Selain itu, mereka juga cerdas-cerdas, jauh dari bayangan saya kalau mereka akan jadi anak-anak yang tertinggal dari pada anak-anak kota. Mungkin ini efek tinggal di gunung yang alamnya makin bersih ya, dan makanan mereka pun pasti tak seinstan makanan orang kota, jadinya otaknya pada bersih (gini banget ya kesimpulan).

Anak SD baru pada pulang sekolah

Sebut saja Mawar
Adiknya Mawar, ya Allah lucunya
Dedek Halim yang amazed dengar orang baca doa
Saya iseng mengetes Mawar -salah seorang bocah berseragam SD yang saya temui- untuk membaca sembarang teks yang ada di buku catatan saya, dan anak kelas 3 SD ini membaca dengan sangat lancar. Kata ibunya Mawar, bahkan di desa ini tidak ada yang buta huruf (kecuali yang sudah  lansia) yap, adik-adik disini meski baru kelas 1 SD pun sudah pada mahir membaca, mungkin karena gak terdistraksi juga kali yaa.. kan mereka ndak ada tivi, benar-benar main, makan, semuanya di alam. Kunjungan ke Desa Bone Buntu Sisong meninggalkan kesan buat saya, alamnya, keramahan orang-orangnya, dan adik-adiknya yang lucu dan polos-polos, masya Allah.

Buibuk pada mau ke ladang
Beres kerjaan di Desa Bone Buntu Sisong, saya dan staf kabupaten kembali lagi ke Kota Makale. Hari ini sangat melelahkan, selama perjalanan menuju Desa Bone Buntu Sisong badan tuh kayak dibanting-banting. Sesuai agenda, saya akan diantar langsung menuju hotel untuk istirahat. Setelah memasuki Kota Makale, Pak Kepala pamit duluan dan 'menitipkan' saya pada stafnya, Mas Madan, untuk diantar langsung ke hotel. Saat di perjalanan, mata saya tertuju pada satu patung yang berdiri kokoh di atas sebuah bukit.

"Itu.. patung Yesus, Mas?"
"Iya Mba"
"Kok keren ya, kayak yang di Brazil"
"Iya Mba, dibuat sama Pak Gubernur yang sekarang, gubernurnya Muslim, tapi karena di Toraja ini mayoritas Nasrani jadi dibuatkan patung Nabi Isa, untuk ikon Tana Toraja juga", papar Mas Madan.
"Mau mampir kesana Mba?", Mas Madan menawarkan
"Wah, boleh boleh. Tapi ngga kesorean mas?"
"Tidak, masih buka sampai jam setengah 6"

Dan mobil kami pun meluncur menuju patung Yesus. Lokasi wisata ini berada di Buntu Burake, sekitar setengah jam dari Kota Makale. Setelah membayar retribusi dan memarkirkan mobil, kami melanjutkan jalan kaki menaiki anak tangga sampai berada tepat di bawah patung raksasa. Angin berhembus cukup kuat karena kami benar-benar berada di atas bukit tanpa penghalang apa-apa, suasananya mirip daerah Cisarua Bogor. Dari atas bukit ini, kita dapat melihat seluruh Kota Makale, kalau diperhatikan pose patung Yesus ini pun filosofis sekali, ia membentangkan kedua tangannya menghadap Kota Makale, seakan-akan sedang memberkahi (?) atau mendoakan seisi kota.

Patung Nabi Isa AS
Selain dapat melihat Kota Makale, dari bukit ini kita dapat pula memandangi secara utuh bentang alam Tana Toraja, bikin saya realized Toraja ini kawasan 'puncak'-nya Sulawei banget, dari suhu udara, ketinggiannya, bukit-bukitnya, Cisarua banget deh! Salah banget sangkaan saya di awal kalau Tana Toraja itu daerah panas, heheu.. Dan yang uniknya dari bukit-bukit di Toraja adalah bentuknya yang menjulang tinggi dan berongga, mirip batu karang seperti yang saya mention di perjalanan Enrekang-Tator, selintas juga rada mirip Negeri Pandora di film Avatar.

Kota Makale dari spot wisata patung
Masya Allah :')
Tidak banyak yang saya lakukan di area wisata ini karena badan memang sudah lelah dan nampaknya juga akan segera turun hujan. Jadi setelah berfoto-foto, kami bergegas kembali ke Kota Makale, dan benar saja tidak lama setelah saya sampai di hotel hujan turun dengan deras, membuat suasana jadi semakin dingin, brrr...

Kamis, 15 Maret 2018

Hari ini saya akan ikut acara kantor cabang di sebuah desa dekat perbatasan Tator-Enrekang, namanya Desa Gandang Batu Sillanan. Desa yang saya kunjungi ini lebih sejahtera dari pada Desa Bone Buntu Sisong (btw nama desa disini panjang-panjang ya, hehe). Pertanian di desa ini produktif sekali, warganya berkebun tumpang sari tanaman palawija. For the first time saya bisa lihat pohon-pohon palawija yang selama ini jadi misteri buat saya (halaah), saya jadi tau pohon lada, pohon ketumbar, pohon manggis, pohon vanila, dan pohon pala. I'm too excited! Kunjungan hari itu juga diisi dengan makan siang bersama warga. Lagi-lagi, kopi disajikan, serius saya mabok kopi deh selama di Sulsel, haha.. Selain kopi, kami juga diajak menikmati panganan khas petani sini yakni pisang goreng dan ubi goreng yang dimakan dengan sambal terasi, asli sih ini enak banget!

It's just.. perfect!
"Dik Kamilah ini beruntung loh, Pak Farid (atasan ane dari Jekardah) yang sudah kesini saja belum sampai merasakan cemilan khas sini, kamu dapat paket lengkap. Kopi, pisang goreng, dan ubi goreng yang dimakan pake sambel" Kata Pak Ketua.

Yap saya pun sepakat, I'm so lucky, bisa makan bersama bapak-ibu petani, disuguhkan kopi, pisang, dan ubi hasil kebun sendiri, semuanya masih hangat-hangat, dan sambalnya itu joss banget, cabenya segar dipetik dari kebun langsung, terasinya enak dan nggak amis. Kopinya? Beuh sama mantabnya dengan yang di Enrekang, di desa ini mereka mengolahnya dengan sangat tradisional, roasting-nya di atas tungku dapur, racikan kopi dicampur sedikit jahe bakar. 

Sambil makan saya asyik mendengarkan mereka bercengkrama dengan bahasa yang tidak saya mengerti, tapi seakan-akan saya ikut seru dalam perbincangan mereka. Ketika ada obrolan lucu kami refleks tertawa, padahal mah saya juga gak ngerti ini lagi pada ngomongin apa, haha..

With the kiddos
Generasi penerus bangsa #apasih
Sekitar pukul 2 siang kami kembali lagi ke Kota Makale. Sampai di kota, saya ditawari untuk jalan-jalan ke Toraja Utara sebelum kembali ke Makassar nanti malam. Oh tentu saya mau! Ini dia kesempatan lihat wisata mainstream-nya Toraja. Dan berangkatlah saya ditemani Mas Olla dan Pak Sudarman, yuhuu~

Selama di Tator saya jadi paham nih, Toraja itu ada 2 kabupaten, yakni Tana Toraja yang beribukota Makale, dan Toraja Utara, sebuah kabupaten pemekaran baru dari Tana Toraja yang beribukota Rantepao. Naah, semua lokasi wisata yang terkenal itu adanya di Toraja Utara, bukan Tana Toraja (kecuali patung Yesus yang notabenenya baru ya). Sore itu karena keterbatasan waktu saya hanya bisa mengunjungi Pemakaman Londa dan Kete Kesu, padahal sebetulnya ada satu lagi tempat wisata yang menurut saya kudu banget dikunjungi biar lengkap wisata 'kuburan'nya, yakni Lemo, disana terdapat kuburan bayi di batang pohon.

Oke, pertama kita ke Londa. Londa adalah spot yang menurut saya paling wajib untuk dikunjungi, soalnya pemakaman adat yang satu ini unik banget, setiap jenazah leluhur yang konsentrat darah birunya paling tinggi (apasih) alias paling ningrat dan paling tajir melinting akan dibuatkan patung yang menyerupai orangnya semasa hidup. Yap, Londa merupakan pemakaman milik keluarga kasta tinggi di Toraja, semua kerangka yang kita lihat di Londa ini sejatinya adalah masih satu pertalian keluarga, kerangka-kerangka ini selama hidupnya adalah para bangsawan, heuheu.

Londa
Dulu mereka adalah bangsawan
Selama kunjungan singkat di Londa,saya cukup merinding sih karena melihat langsung tengkorak-tengkorak manusia dari jarak amat sangat dekat, bahkan bisa disentuh kalau mau, tapi saya sih ogah, hehe. Sejak awal tiba di gerbang, sudah ada bapak guide yang menawarkan jasa untuk menjelajahi lorong-lorong di dalam bukit batu ini. Awalnya saya nggak mau, ngapain gitu masuk ke dalam kuburan, tapi karena mumpung disini jadinya saya iyakan deh, dan masuklah saya, Mas Olla, dan bapak guide menyusuri lorong di dalam kuburan batu ini. Sepanjang jalan bapaknya menjelaskan banyak sejarah tentang setiap sudut makam. Dan saat kami berkunjung itu kebetulan sedang ada jenazah yang baru dimakamkan satu bulan yang lalu, hahaha... meringis saya dengernya, berarti dalam peti itu jenazahnya masih dibungkus daging dong. Sebenarnya saya juga agak terganggu sih melihat tulang-belulang manusia disini tuh berserakan, tulang badannya mah dimana tengkoraknya nangkring di atas, hadeuuuh..

Dan satu lagi yang bikin saya agak gimana gitu, adalah tetesan air yang keluar dari celah-celah batu, sebenarnya biasalah ya kalo daerah bukit gitu memang suka ada mata air dimana-mana, cuma yang nggak biasa adalah itu air sebelum netes melewati apa aja, hahaha. kan bukit ini isinya kerangka manusia, glek! Saya langsung niat: setelah sampai hotel harus langsung mandi dan ganti semua pakaian yang saya kenakan.

Senyum gue udah ga enak, serasa dzikrul maut gitu

Izin yah pak, buk, om, tante yang baik hati, semoga tenang di alam sana
Setelah dari Londa, kami lanjut jalan ke Kete Kesu. Naah ini nih tempat yang suka masuk acara tivi-tivi, di Kete Kesu terdapat lumbung-lumbung padi khas Toraja dalam satu area yang sengaja dibuka untuk tujuan wisata. Sepintas Kete Kesu mengingatkan saya dengan Taman Mini. 

Kete Kesu, cuacanya lagi mendung kelabu nih
Tanduk kerbau yang I maksud
Setelah puas foto-foto berjalanlah melewati area belanja oleh-oleh, lurus saja terus sampai ke ujung, dan again kita akan melihat makam adat miliki masyarakat Toraja. Di Kete Kesu ini jenis makamnya lebih beragam dari pada Londa, ada yang dikubur di celah-celah batu persis macam Londa, ada yang ditaruh di dalam rumah, dan ada yang ditaruh di dalam tabung raksasa yang mirip sekali dengan gong, variatif sekali.

Di dalam gong merah ini isinya jasad manusia, sekeluarga, itu foto orang-orangnya ada di atas, hmmm..

Katanya sih patung ini dibuat semirip mungkin dengan si empunya saat masih hidup, sampai ke ukuran badannya juga dibuat mirip

Izin ya pak, buk, om, tante, semoga damai di alam sana
Nah, di kuburan batu Kete Kesu, kita juga bisa jelajah ke dalamnya, bahkan kata Mas Olla disini lebih ekstrem, karena kita akan literally berjalan di atas tumpukan tulang belulang manusia. Sebenarnya saya ingin sekali masuk ke dalamnya, keberanian saya sudah teruji di Londa, tapi hati saya bimbang karena waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore alias dekat-dekat magrib, akhirnya kami putuskan untuk menyudahi jalan-jalan singkat sore ini dan langsung cus pulang ke Kota Makale. Di jalan, saya dimampirkan sebentar ke pasar tradisional Rantepao yang saya lupa namanya, untuk berbelanja oleh-oleh. Harga souvenir dan baju di pasar ini memang relatif lebih murah daripada di toko-toko souvenir spot wisata, cuma memang lebih butuh perjuangan sih untuk ke pasar karena lokasinya di pusat kota Toraja Utara, bukan di kawasan Kete Kesu atau Londa. Setelah belanja sebentar, kami lanjut jalan ke Kota Makale, mampir dulu makan baso halal yang jualannya kelang 1 ruko doang sama baso babi, hahaha...Perut dah kenyang, saya balik deh ke hotel. Sampai kamar saya langsung mandi (akhirnya!) dan packing semua barang, pukul 9 malam ini saya akan naik bus pulang menuju Kota Makassar.

Terima kasih Allah dan semesta :)
Transportasi di Enrekang dan Tana Toraja

Transportasi Makassar-Toraja nyaman sekali dan banyak armadanya, jadi ngga usah pusing-pusing mencari cara gimana untuk bisa sampai ke Toraja. Jenis busnya adalah jetbus, kursinya nyaman sekali seperti sofa, ada bantal dan selimutnya, kursi pesawat mah lewat! Nah Enrekang ini kebalikannya.. Transportasi Makassar-Enrekang biasanya pakai travel gelap gitu, bisa saja pakai jetbus karena sejatinya kalau mau ke Tator pasti lewat Enrekang, tapi karena jalannya malam otomatis sampai Enrekangnya juga bakal tengah malam atau bahkan dini hari.

Kenyamanan yang HQQ
Cuma nih.. yang jadi PR kalau mau jalan-jalan di Enrekang dan Tator adalah transportasi selama di kotanya, kendaraan umum tidak lumrah di sini. Jadi satu-satunya pilihan kalau mau explore Enrekang dan Tator ya harus sewa kendaraan, bisa motor atau mobil. Kalau saya sih lagi-lagi beruntung ya, karena ini urusan pekerjaan jadi kendaraan semua difasilitasi kantor, yuhuu rejeki anak solehah.

Epilog

Tentang Enrekang dan Tana Toraja, keduanya sama-sama worth it untuk di-explore, masing-masing punya warna dan ciri khas yang tidak akan (bahkan tidak pernah) saya temukan di tempat lain. Di Enrekang ada kopi kalosi, perbukitan Latimojong, dan keju dangke. Di Toraja ada adat istiadat, berbagai bentuk makam, dan patung Yesus. Untuk kontur alamnya: Enrekang kalem, Toraja garang, gitu kalo kata saya mah. Kalau dipikir-pikir, semakin banyak daerah yang saya jelajahi, semakin besar kecintaan saya pada Indonesia. Tiap saya galau, sedih, penyakit hatinya kambuh, langsung saya recall ingatan saya pada tempat-tempat dan orang-orang yang saya temui di setiap perjalanan, itu seperti jadi obat mujarab yang membuat saya kembali bersyukur dan semangat di setiap kondisi. Yang dapat saya share di blog ini mungkin hanya soal alam dan jalan-jalannya saja, tetapi sebenarnya yang saya peroleh lebih dari itu, banyak nilai-nilai dan pengalaman yang semakin membentuk pribadi saya. Tentang Enrekang dan Tana Toraja, saya jadi bertemu saudara-saudara seiman dan sebangsa yang amat-sangat ramah, adik-adik penerus bangsa yang lucu-lucu, dan banyak lagi. Selagi nyawa masih dikandung badan dan selagi ada kesempatan, maka jelajahilah Indonesia sejauh jangkauan kaki dan pandangmu.

Next trip kemana hayo??
Catatan kalau mau jalan-jalan ke Enrekang-Toraja:
1. Dari Makassar ke Tator naik jetbus aja, saya kurang tau dari bandara harus ke sebelah mana, tapi di Makassar sudah ada ojek online kok, nanti minta antar ke pool jetbus sama ojek online aja.
2. Dari Makassar ke Enrekang biasanya naik travel.
3. Baik Enrekang maupun Tator tidak ada transportasi umum di kotanya, jadi harus sewa kendaraan supaya bisa jalan-jalan.
4. Tata bahasa orang Sulsel agak melenceng dari tata Bahasa Indonesia, beberapa kali saya salah mengartikan apa yang dimaksud mereka. Walaupun sudah saya coba bertanya ulang soal kata yang dimaksud, tetap aja tidak terjawab maksudnya apa, jadi persiapkan saja pendengaran yang tajam dan semoga beruntung.
5. Buat yang muslim, hati-hati cari makanan di Toraja, makanan halal memang ada tetapi pilihannya tidak banyak.
6. Cari penginapan di Enrekang susah banget, asli. Untuk yang satu ini saya pun belum bisa kasih rekomendasi apa-apa, mungkin teman-teman bisa tanya ke admin ig Explore Enrekang.
7. Penginapan di Tana Toraja banyak banget, tenang aja pokoknya, rate harganya juga beragam dari yang 150 ribuan per malam sampai yang harga hotel bintang 5.
8. Untuk explore Enrekang dan Toraja kayaknya butuh waktu 1 minggu deh, jadi sekalian target kunjungi Kampung Lolai 'negeri di atas awan' Toraja Utara. Lebih mantap lagi kalau bisa sekalian ke Bukit Ollon, tapi kayaknya bakal lebih dari 1 minggu kalau mau ke sana juga.
9. Mau kemana pun please jangan buang sampah sembarangan atau melakukan tindakan-tindakan vandalisme ya mylov~




Komentar

  1. saya menikmati tiap pixel gambar2nya.. tentu, yang paling berkesan adalah ketika melihat gunung yang berjumpa dengan awan.. entah mengapa itu selalu yang saya ingin liat kalau sedang menempuh perjalanan yang berbukit..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk kunjungannya, semoga pada posting2 selanjutnya kemampuan mengambil gambar saya juga turut meningkat

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia