Pendakian Gunung Prau Via Wates 2019: Akhirnya Berhasil Juga

Bismillah.

Halo gais, apa kabar? Semoga kita semua dalam keadaan sehat dan bahagia ya. Sebenarnya saya agak ragu untuk posting tentang pendakian Prau via Wates, kenawhy? 

Jadi gini, Prau memang jamak jadi spot favorit untuk mendaki karena aksesnya relatif mudah, pemandangannya cakep, dan nda terlalu capek. Ga heran kalau tiap weekend atau tanggal merah, jalur pendakian Prau jadi macet sama manusia dan tas keril. Saya ga nyalahin siapa-siapa soal ini, karena semua orang punya hak yang sama untuk menikmati keindahan alam Indonesia. Cuma balik lagi nih ke pendakian via Wates ini, saya hanya takut seandainya saya share cerita ini nantinya malah menarik minat pendaki serampangan untuk lewat jalur ini. Yap, saya sepertinya perlu bersuara cukup keras di awal untuk para pendaki serampangan ini, yaitu pendaki yang suka buang sampah sembarangan, ninggalin tisu basah seenaknya setelah buang hajat, nginjek rumput seenaknya di luar jalur, nginjek bahkan metik bunga daisy, matahin dahan/ranting pohon tanpa tujuan jelas, tidak menjaga sopan-santun dan perkataan selama di gunung--coba anda keluarkan kata-kata kebun binatang itu depan ortu/guru, auto banned gan. Jadi Please. Sebelum saya lanjutin cerita pendakian Prau via Wates ini saya harap siapa pun yang membacanya jadi pembaca yang bijak, karena jalur Prau via Wates ini masih lebih asri dan bersih. Please jangan dirusak. (maap yah belum apa-apa dah ngegas)  


Aku Cinta Alam Indonesia!
Gunung Prau adalah saksi pendakian pertama saya, bermula pada tahun 2015 seorang teman kampus ‘meracuni’ saya untuk mendaki Gunung Prau, ndilalah pendakian tersebut disambut hujan dan kabut dari malam hingga siang. Namun, kebersamaan selama pendakian tersebut sangat berkesan hingga membawa saya ke gunung-gunung lainnya di Indonesia, mulai dari Lawu sampai Rinjani. Meski demikian, saya masih penasaran sama si Gunung Prau ini. Maka, tahun 2017 saya coba peruntungan lagi buat mendaki Gunung Prau. And you know what? Saya disambut hujan dan kabut lagi gais 😷 Lalu, apakah rasa penasaran dengan ‘padang daisy’ berakhir? Oh tentu tidaaak. Lewat Instagram saya cari teman barengan untuk melakukan pendakian ke Gunung Prau (ni kebiasaaan banget saya cari barengan nanjak lewat IG, pantengin aja IG saya siapa tau saya lagi nyari barengan). Alhamdulillah terjaringlah tiga orang teman yang mau gabung ke pendakian ini, yakni Ikhsan, Aden, dan Intan. Maka, tahun 2019 saya mendaki Gunung Prau kembali untuk ketiga kalinya. Without any further ado, ayo kita mulai cerita perjalanannya!

Jumat, 21 Juni 2019

Hari ini adalah hari yang panjang. Sepulang kerja, saya langsung berkejaran dengan waktu menembus kemacetan Kota Jakarta menuju meeting point di Terminal Kampung Rambutan. Kami ketinggalan bus Sinjay andalanque kalau mau ke Wonosobo, hiks, akhirnya kami naik bus kecil merk ga jelas gitu, okelah yang penting kami bisa sampai Wonosobo weh lah.. Eh ga taunya, di jalan kami dapat kejutan. Bayangin yah, ini bus udah jalan dari Kp Rambutan jam 10 malam, tidur deh tuh kita di bus, macet banget memang di luar, pas jam setengah 4 bus stop di rest area, kalian tau rest area mana? Bekasi. Ku ingin marah 😭




Ceritanya ada backsound

Yaudahlah ya, abis itu bus lanjut jalan lagi, jalannya lambat banget kayak tayo (ga tau juga sih saya tayo jalannya ngebut apa lambat). Kirain cobaan terberat hanya di tol Cikampek saja, ternyata nggak pemirsa 😩 Di daerah sebelum Purwokerto ada perbaikan jalan sehingga yang dibuka hanya 1 jalur, imbasnya macet parah sampai 5 jam. Ya Allah itu kaki saya udah ga jelas lagi rasanya, belum mendaki aja udah keram. Saya udah hopeless sama pendakian siang, dalam hati udah ngebatin aja "Jalan malam lu La, jalan malam udah ini mah". Di bus kami berempat rundingan, ini ga bisa nih kalau pulang macet-macetan gini juga, fix lah pulang naik kereta aja, pas cek travel*ka kereta yang nyisa tinggal kelas bisnis dong... Yaudahlah jadi sultan sekali-sekali. Kami berempat langsung booking tiket Purwokerto-Ps. Senen 330rb, yang penting pulangnya nyaman. Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya bus kami sampai juga di Wonosobo jam 18.00 WIB. Wah gila sih ini, perjalanan yang semestinya cukup ditempuh 8-10 jam molor hingga 20 jam. Rasanya energi saya sudah terkuras habis dalam bus kecil ini. Pun demikian, saya merasa beruntung dibersamai oleh 3 orang rekan yang hebat, tak ada satu pun dari mereka yang mengeluh meski rasa lelah tergambar jelas di air muka kami semua, I love you 3000 gais :’)


Upin ipin kelelahan

Sabtu, 22 Juni 2019

Sampai di Wonosobo hanya ada satu hal yang kami pikirkan: makan. Saya sama Intan belum makan nasi dari pagi, laparnya itu sudah diubun-ubun.. Begitu keluar dari bus, kami langsung cari warung nasi, dapatlah warung nasi pecel lele tepat di seberang pom bensin Ngasinan, dan ini warungnya recommended! Udah enak, murah, enak, bersih, enak pokoknya enak, haha. Mobil sewaan menuju basecamp Prau via Wates sudah parkir cantik sejak pukul 17.00 WIB, dasar kami, sudah telat 1 jam tapi masih mampir makan pula.. Untungnya Pak Supir mengerti kondisi kami yang kelelahan, kelaparan, dan pingin ngelurusin kaki. Di warung makan, kami diskusi ulang tentang segala persiapan pendakian, karena rencana kami berubah total dums jadi mendaki malam. Sambil berdiskusi, kami packing ulang semua barang, sharing bawaan sama 2 porter upin ipin. Berdasarkan ilmu packing yang diwariskan oleh Lord Ubay (yang ngeracunin saya ke Prau pertama kali), saya melakukan  packing kering yakni membungkus setiap kelompok barang menggunakan kantong plastik. Sebelum dimasukin keril, bagian dalam kerilnya dilapisi lagi dengan plastik trash bag. Saya pun mewariskan ilmu hitam ini kepada Intan, tiba-tiba Aden nyeletuk,

“Lho kenapa harus berlapis-lapis? pakai satu trash bag aja cukup kok kak, jadi ga boros plastik”,

Benar juga sih perkataan Aden, secara logika kalau pendakiannya di musim kemarau atau sekiranya nda bakal hujan, tidak perlu packing kering gais, save earth jangan banyak-banyakin sampah plastik, cukuplah kesesatan Lord Ubay ini berhenti sampai di saya 😅



Selesai packing, bukan iklan ya gais
Selesai makan kami langsung mengangkut semua tas ke dalam mobil. Sepanjang jalan saya sudah harap-harap cemas, apakah kali ini alam akan berpihak pada kami atau justru mengganas seperti dua pendakian saya sebelumnya? Di tengah rasa harap-harap cemas, Pak Supir menepi ke mini market. Di mini market ini kami belanja logistik starter pack pendakian Indonesiyah, seperti madu, snack ciki-cikian, roti tawar, saus bbq, tisu kering, tisu basah, dan tentunya…air mineral botolPerjalanan kami lanjutkan dengan memasuki jalan desa, kelip lampu kota semakin jauh tertinggal di belakang. Angin malam sepoi-sepoi menyusup masuk dari celah jendela mobil seiring kontur jalan  yang semakin menanjak. Kami tengok keluar, masya Allah gais.. Jutaan bintang (kayaknya sih jutaan) terhampar di langit, pertanda cuaca sedang cerah-cerahnya, saya sumringan karena malam ini semesta berpihak pada kami, alhamdulillah :')

Pukul 20.00 WIB kami tiba di basecamp Gunung Prau via Wates. Kami packing ulang belanjaan yang telah dibeli dari mini market. Sambil sibuk bongkar muatan, Ikhsan mewakili kami untuk mendaftar Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi)


Ternyata basecamp Wates masuk wilayah Temanggung gais
Tas keril kami telah siap saat Ikhsan kembali membawa sebuah informasi dari loket petugas Simaksi, bahwa ada regulasi baru yang berlaku bagi para pendaki Gunung Prau via Wates, yakni dilarang membawa tisu basah. Kami agak kaget dengan aturan ini, apakah aturan ini benar-benar sudah berlaku, dan apa konsekuensinya? Jawaban pihak basecamp kurleb begini: tidak boleh bawa tisu basah, konsekuensinya tidak main-main, setiap anggota tim akan didenda 100 ribu rupiah apabila kedapatan membawa tisu basah oleh petugas/ranger Gunung Prau. Aturan ini sudah berlaku di semua basecamp Gunung Prau, bahkan sebenarnya tidak hanya larangan membawa tisu basah saja, tetapi juga larangan membawa botol plastik. Nah.. Karena basecamp Wates tergolong baru diresmikan, aturan tentang botol itu belum berlaku, tapi pastinya akan segera berlaku juga. Kalau di Patak Banteng, pihak basecamp telah memfasilitasi sewa dirijen bagi yang nggak bawa wadah air sendiri, nanti di basecamp Wates juga akan begitu gais~

Ini poster larangan bawa tisu basah gais, pesan: jangan ngeyel!
Maka, kami bongkar muatan dan repacking lagi. Awalnya saya agak ragu karena selama ini tisu basah telah menjadi perlengkapan wajib pendakian, tapi setelah dijalani B aja kok, ga begitu mengganggu pendakian 😉 Jadi jangan bandel ya gais, Tuhan Maha Melihat (keluar juga kata-kata sakti).


Ini anuannya
Pukul 21.00  WIB kami mulai pendakian dari pos 1 Gunung Prau via Wates, berdasarkan pendakian yang saya lakukan tahun 2017, estimasi waktu yang akan ditempuh adalah 4 jam sampai camping ground. Namun, kami tidak ngoyo mengingat separuh tenaga sudah terkuras oleh bus tayo horor 20 jam Jakarta-Wonosobo. 


Kalian lihat ga sih ada penampakan di belakang? Ga lihat?? Ya emang ga ada penampakan sih~
Setelah memasuki batas hutan, bau tanah dan pepohonan memenuhi rongga dada saya. Katanya sih, kalau malam kita berebut oksigen dengan tanaman, tetapi yang saya rasakan sih justru bisa benar-benar ‘bernafas’, paru-paru saya mendapatkan hadiah setelah sehari-hari menghirup udara Jakpus dengan tingkat polusi yang tinggi. By  the way, malam ini senter tidak menjadi satu-satunya sumber penerangan kami, di langit timur menggantung bulan separuh, sementara sabuk galaksi bima sakti membentang dari ufuk barat, indah sekali! 😊


Bulannya terang, yaa itu aslinya bulan separuh gais :)
Dengan nafas tersengal-sengal dan hati yang gembira kami menapaki Gunung Prau selangkah demi selangkah, 1 jam.. 2 jam.. Hingga tiba di batas vegetasi hutan menuju area yang lebih terbuka. Seketika tubuh kami diserbu dinginnya angin gunung, kami sudah nggak kuku untuk lanjut jalan, akhirnya kami membuka tenda sebelum camping ground. Tenda sudah selesai didirikan, sambil menahan kantuk kami sempatkan membuat minuman hangat sekedar untuk memasok cadangan energi. Setelah minum minuman hangat, kami berempat langsung sleep. 

Minggu, 23 Juni 2019

Alarm dari handphone saya menyala, pertanda waktu subuh telah tiba. Udara dingin menggigit membuat saya dan Intan ga sanggup keluar tenda, alhasil setelah sholat subuh kami melengos kembali dalam sleeping bag masing-masing. Satu-dua jam kemudian, Ikhsan nepuk-nepuk tenda saya,

“Hei bangun-bangun, ini pemandangannya lagi bagus!”,

Saya refleks bangun dan segera keluar tenda dengan muka bantal (aib bet ya Allah 😂). Bisa tebak apa yang kami lihat di luar tenda?


Alhamdulillah, setelah penantian ratusan purnama dan percobaan 2 kali pendakian 😭


Golden sunrise meski sudah agak kesiangan

Gunung Sindoro yang berdiri gagah
Langit cerah, sinar matahari pagi, dan pemandangan Gunung Sindoro dan Sumbing nun gagah terbentang di hadapan kami, ini indah sekali! Gimana saya ndak cinta banget sama Indonesia kan? Kami menghabiskan waktu sekitar 1 jam menikmati matahari terbit pagi ini. Kemudian, kami kembali ke tenda untuk mempersiapkan sarapan pagi. Menu pendakian kali ini rada ‘bener’ karena tidak ada mie instan, mungkin kalau bisa ngomong badan saya udah ngucapin makasih nih dikasih makanan sehat-sehat gitu deh. Satu-satunya hal bar-bar dalam menu kami kali ini adalah makan roti tawar pakai selai saos bbq delm*nte, ga dimasak dulu!! Idenya si Ikhsan nih, saya rada ragu makannya pas awal, tapi si Ikhsan sama Aden terlihat sangat menikmatinya, pas tak coba yaah boleh juga. Trus saya gantian coba makan kemplang palembang pakai saos bbq, enak gais!! Untung kami ga coba energen pake saos bbq :')


Jadi makanan enak kalo di gunung hehe
Okeh balik lagi ke agenda masak-masak. Kami bagi tugas, Intan dan saya bertugas memasak sayur sop dan tumis sosis (yah banyakan Intan sih yang ngerjain soalnya saya males masak di gunung), Ikhsan bertugas memasak nasi (mateng sempurna loh nasinya, kewl!), dan Aden bertugas membuat minuman hangat (udah pas lah jadi professional mamang villa). Begitu semua makanan siap tersaji, kami mulai makan bersama dalam diam, saking laparnya~


Kami masak sayur sop nih
Selesai makan, ada sisa nasi dan sayur sop di piring. Saya membuat sedikit galian di bawah pohon cemara dekat tenda, lalu mengubur sisa nasi dan sayuran tersebut.

“Nasi maaf ya, kamu ngga habis, saya taruh di bawah pohon ini ya, kamu jadi pupuk buat pohon ini ya”, saya melantangkan ucapan tersebut biar pohon cemara juga mendengar.

Meski sederhana, tapi setelah melakukannya saya merasa no guilty! Ga ada makanan yang terbuang sia-sia 😊


Pemandangan depan tenda kami, masya Allah :)
Pukul 10.00 WIB kami mulai berkemas, mengejar waktu agar bisa sedikit berlama-lama di puncak Gunung Prau. Semua sudah ter-packing dengan rapi, sampah-sampah sudah kami pastikan tak ada yang tertinggal. Pukul 11.00 WIB kami mulai pendakian ke puncak Gunung Prau sekalian turun via jalur Patak Banteng. Ada satu tanjakan yang cukup berat sebelum kami sampai camping ground jalur Wates. Tanjakan ini cukup bikin kami kewalahan, sebentar-sebentar berhenti untuk narik nafas. Setelah pendakian setengah-jam-rasa-satu-jam, kami tiba juga deh di camping ground jalur Wates, uwuwuw~ 


Sampai juga di camping ground gais
Area ini memang ideal untuk dijadikan tempat berkemah karena terlindungi oleh pepohonan cemara, tetapi pepohonan cemara ini nutupin view Gunung Sumbing-Sindoro, that’s why jika berkemah di area ini mesti summit attack kalau mau dapat view point terbaik. Pun demikian, ada satu  pemandangan yang membuat kami kompak melongo ketika tiba di area camping ground: padang bunga daisy.


Padang bunga daisy 😍

Jangan dipetik ya!
Wow, di perjalanan ini kami dapat banyak banget rejeki pemandangan, selain golden sunrise dan cuaca cerah, bunga daisy pun sedang mekar-mekarnya. Kami yang tadinya buru-buru langsung berhenti dulu, santuy nikmatin suasana padang bunga daisy😊 Selama berada di area camping ground, kami semua ekstra hati-hati agar tidak menginjak bunga daisy. Meski pengetahuan saya tentang pelestarian alam sangat terbatas, tetapi I believe dengan tidak menginjak apalagi metik bunga daisy di Gunung Prau adalah salah satu cara untuk melindungi ekosistem alamiah yang ada di sini.

Setelah nongski 20 menitan, kami melanjutkan perjalanan. Kontur jalan dari camping ground hingga ke puncak Prau relatif landai, aman deh buat lutut, apalagi sepanjang jalur ini mata akan dimanjakan dengan pemandangan bukit Teletubbies yang cokelat kehijauan—sabana Sumba vibes banget deh. 


Mamang Villa gagal move on
Setengah jam kemudian, kami tiba di puncak Gunung Prau. Mesti saya akui, pilihan kami berkemah di jalur Wates adalah sebaik-baik pilihan. Area Patak Banteng yang saya lihat hari itu cukup berubah dari saat terakhir saya lihat pada tahun 2017, apalagi kalau dibandingkan pendakian pertama tahun 2015. Camping ground Patak Banteng terlihat lebih tandus, tanahnya memadat, dan berdebu, hanya tersisa satu-dua jumput rerumputan yang tumbuh di area ini. Di puncaknya sekarang dibangun semacam tugu dan bangku taman gitu, jalur pendakian yang dulunya bebatuan curam juga sudah disemen berbentuk tangga. Selain itu, seperti kebanyakan gunung di Indonesia lainnya, hampir di setiap jengkal area camping ground hingga ke pos 1 terdapat sampah kecil bekas sobekan bungkus makanan atau permen, kan sedih sampah kecil ini seolah jadi pengganti rumput  

Puncak Prau, bisa dilihat kan kondisi tanahnya agak gersang dan memadat..
Setelah ‘ritual sakti’ berfoto ria dengan plang Gunung Prau 2565 mdpl, kami melanjutkan perjalanan turun via Patak Banteng. Nah, selama perjalanan turun ini ada pemandangan baru yang membuat saya kagum sekaligus tersentil banget, kami berpapasan dengan para pendaki yang mondar-mandir membawa wadah minum alias nol botol plastik. Tak jauh dari pos 3, kami juga menyaksikan petugas basecamp yang melakukan pemeriksaan acak terhadap pendaki yang baru turun. Jujur, saya sekagum ini dengan keseriusan warga, pemerintah, atau pihak mana pun yang terlibat dalam pengelolaan Gunung Prau, seharusnya memang begini :"


Trek turun
Sekitar jam 2 siang kami tiba di pos 1 Patak Banteng. Selama di jalur, Intan cerita kalau dia sebenernya pingin main ke Dieng. Kereta kami juga jadwalnya jam 11 malam, jadi spare waktunya insya Allah cukup untuk ke Dieng. Kami kepo-kepo dulu sama bapak-bapak petani sekitar, kalau bus Dieng-Terminal Mendolo terakhir jam berapa? Kata bapaknya jam 5, okehlah, berarti maksimal banget jam 5 kami sudah harus di Terminal Mendolo. Pas sampai pos 1 kami sepakat nyewa ojek ke basecamp, biar kekejar main ke Dieng gituh. Dasar rejeki anak soleh, bapake nawarin jasa untuk anterin langsung ke Dieng, ongkosnya pun sama saja kalau dibandingkan kami ke bc dulu terus naik bus Dieng. Setelah sepakat soal harga, langsung deh kami berempat cabs diantar bapak ojek pos 1 Patak Banteng 😎
Untuk trip singkat Dieng ini tujuan kami hanya ke komplek Candi Arjuna saja, soalnya saat di jalur Patak Banteng kami sudah melihat Telaga Warna dan Kawah Sikidang dari atas, yawdah cukup lah yaa ituu~



Pemandangan Kota Wonosobo dari atas
Lawatan terakhir saya ke Candi Arjuna adalah tahun 2014, waktu itu Candi Arjuna sedang cantik-cantiknya sama rumput hijau, apalagi saat saya dkk berkunjung pas banget ada saudara-saudara umat Hindu yang sedang ibadah, makin dapat lah feel sakralnya candi ini. Ada yang baru dalam area Candi Arjuna kali ini, nda tau sih mulainya sejak kapan tapi sekarang kalau masuk area candi kita harus pakai kain Bali yang diikatkan di pinggang gitu, sebagai bentuk penghormatan karena bagaimana pun candi ini adalah tempat ibadah umat Hindu. Namun, di siang menuju sore ini, Candi Arjuna yang saya saksikan adalah Candi Arjuna yang sangat berbeda dari yang saya lihat di tahun 2014, area parkir dan ticketing sesak dengan pengunjung, kendaraan, dan sampah, padang rumput yang dulu mengelilingi 3 candi utama berganti jadi tanah yang berdebu, dan yang lebih menyedihkan adalah ada sejumlah pengunjung bar-bar yang memanjat candi hanya demi foto-foto gak jelas. Iya sih saya paham main ke candi itu memang rekreasi yang murah meriah, tapi nda manjat-manjat candinya juga 😓 Mereka yang manjat, saya yang merasa bersalah sama umat Hindu. Eniwei petugasnya bukan diam saja kok, mereka sudah menegur pengunjung yang tidak tertib lewat toa, tapi entah gak dengar atau pura-pura gak tau masih saja satu-dua pengunjung foto-foto gak cantik di atas candinya 😔 Buat teman-teman yang baca ini dan berniat berkunjung ke Candi Arjuna atau tempat ibadah mana pun, tolong ya jangan banget dicontoh bertingkah begitu, yang kayak gini nih yang bisa bikin suasana panas antar umat beragama. 


Difoto gini aja udah keren kok, ga perlu sampe dipanjat-panjat
Puas keliling candi, kami foto-foto sebentar, abis itu cari toilet umum untuk bersih-bersih badan dan sholat (btw kami ke candi dengan kondisi belum mandi dan penuh debu). Kelar ishoma, kami keluar cari oleh-oleh di ruko sekitar Candi Arjuna, saya beli 1 kaleng carica dan kentang goreng enakkk, kalian mesti coba deh kentang gorengnya. Habis itu, kami lanjut naik bus ke Terminal Mendolo dan sedikit drama menuju Terminal Purwokerto. Alhamdulillah kami tidak telat sampai Stasiun Purwokerto dan kembali ke Jakarta dengan happy 😉



Catatan:
- Untuk pendakian via jalur Wates harus bawa kendaraan sendiri karena tidak ada kendaraan umum yang mengantar sampai ke basecamp.
- Pihak basecamp Wates menyediakan jasa penjemputan Wonosobo-Basecamp, biayanya 300 ribu one way harga fix no tawar-tawar (waktu saya kesini tahun 2017 tarifnya juga segini, berarti belum naik). Saya ndak tau deh kalau PP kenanya berapa, kalau ada yang mau sewa bisa hubungi pihak basecamp Wates: 0838-6740-3002 (Mas Agus)
- Mulai sekarang kalau mau mendaki Gunung Prau jalur mana pun mesti bawa wadah air sendiri, gak boleh pakai botol kemasan sekali pakai lagi, jadi berdayakanlah taperwer mamah di rumah
- Selain itu sudah gak boleh lagi bawa tisu basah, harom
- Saya sangat sarankan kalau mau ke Wonosobo/daerah Jateng dsb. naik kereta/pesawat saja, sekarang kondisi jalan tol lagi gak jelas, kan horor kalau kejebak di jalan 20 jam kayak saya kemarin.
- Dari basecamp Wates ke pos 1 naik ojek saja karena bisa saving time sampai 1 jam lebih. Tarif ojeknya flat 15 ribu saja.
- Dari pos 1 ke basecamp Patak Banteng bisa naik ojek juga, tarifnya flat 15 ribu. Buat saya sih ini bukan soal kuat-kuatan jalan dari / ke bc, tapi lebih ke berbagi rejeki dan ngobrol sama warga sekitar. Oh iya rata-rata driver ojek di sini adalah petani, ngojek adalah kerja sampingan mereka saat Prau lagi ramai.
- Pokoknya mau di gunung, darat, laut, udara, jangan suka nyampah ya! Dah gitu aja


Salam friendzone









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia