Jelajah Selatan Banyuwangi, Ada Pantai Pulau Merah dan Taman Nasional Meru Betiri

Bismillah.

Hai hai kembali lagi di blog saya, kali ini saya mau melanjutkan cerita sebelumnya pada edisi jalan-jalan ke Banyuwangi. Sebelum masuk ke cerita utama, saya mau cerita sedikit deh kesibukan saya belakangan yang bikin intensitas saya sama blog ini berkurang banget.

Jadi, pada akhir tahun 2018 lalu kantor saya yang lama lagi banyak-banyaknya kerjaan dah macam romusha. Saya bahkan tidak punya waktu untuk me time nyaman di kamar karena jam 11 malam pun kadang masih dihubungi oleh orang kantor. Di tengah keriweuhan itu saya mendapat kabar diterima CPNS di sebuah instansi perpustakaan milik negara. Nah, kepindahan kerja ini tentu juga akan mempengaruhi intensitas jalan-jalan saya, dalam satu tahun ke depan saya akan fokus banget sama berbagai kegiatan CPNS, tidak ada cuti, tidak ada bolos.

Nah balik lagi ke cerita jalan-jalannya. Di bagian sebelumnya saya sudah sharing 2 tempat super hype-nya Banyuwangi yang kami kunjungi, yakni Gunung Ijen dan Taman Nasional Baluran. Sekarang masuk hari ketiga di Banyuwangi, ayo kita lanjutkan ceritanya~

Selat Bali
Jumat, 17 Agustus 2018

Tujuh belas Agustus tahun empat lima itulah hari kemerdekaan kita~

Hari ini kami pingin cari lapangan yang mungkin melakukan upacara bendera, tapi ternyata kami bangun kesiangan, hmm. Pendakian Ijen dan off road di Baluran sukses membuat kami berenam tepar. Kami semua tidur sangat nyenyak. Hingga keesokan harinya badan sudah mulai segar, sekitar jam 9 pagi kami ke depan Stasiun Karangasem yang masih sepi untuk mencari sarapan. Sekitar jam 9.30 kami  sudah selesai makan dan bergegas memanaskan mesin motor, hari ini destinasi tujuan kami adalah Pantai Green Bay dan Pantai Pulau Merah. Semula kami berniat untuk ke Hutan De Djawatan, hutan pohon tembesu yang katanya mirip hutan tua di film The Lord of The Ring, sadly rencana ini tidak kesampaian karena keterbatasan waktu. Dengan diawali doa bersama, kami pun memulai perjalanan hari itu dengan semangat. Sepanjang di perjalanan langit mendung sendu, cukup membantu sih jadinya kami tidak kepanasan di jalan, tapi agak insecure juga jika hujan turun. Dan akhirnya hujan benar-benar turun, kami pun berteduh dulu sekitar setengah jam sambil meluruskan kaki yang pegel motoran 1 jam lebih. Berdasarkan petunjuk maps, kami akan tiba di lokasi sekitar 1 jam lagi, well itu jarak yang cukup jauh sebenarnya karena ini 1 jam di jalanan yang tidak macet, hehe.

Hujan reda, kami bergegas mengenakan jaket dan jas hujan yang tetap menempel di badan, laju motor terpaksa kami perlambat karena kondisi jalan yang agak licin. Tujuan pertama kami adalah Pantai Green Bay yang ada di kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Setengah dari perjalanan akan kita lalui dengan kondisi jalan yang sepi, karena apa? Karena kita akan memasuki kawasan PT Perkebunan Nusantara, wow! Ini adalah kali kedua saya melalui perkebunan--selain sawit tentunya--yang pertama saat ke Curug Ciupang Lampung, perjalanan ke Meru Betiri ini jadi yang kedu kalinya. Sejak dari Lampung itulah saya jadi tau kalau melewati area perkebunan, apalagi ini milik PTPN, itu seru! Saya makin senyum-seyum sendiri seiring maps mengarahkan kami semakin dekat ke PTPN, hingga akhirnya kami tiba di depan gerbang PTPN yang dijaga oleh security guard, tapi ternyata kita lewat-lewat saja sih tidak ada pemeriksaan gitu-gitu, mungkin karena kebunnya membelah jalan poros kabupaten kali ya?

Oke lanjut, dan si Irvan yang boncengin saya pun mulai terpelongo, ini keren banget! We were really enjoy the moment! Kami melewati perkebunan kopi, cokelat, karet, dan kayu yang batangnya berwarna putih seperti ditutupi salju. Jalannya mulussss sekali, dengan bonus oksigen berlimpah dari perkebunan rapat di bahu kanan dan kiri jalan. Nah sepanjang jalan ini tidak ada lampu penerangan atau pun rumah warga sama sekali, pasti sih jalan yang cantik ini akan berubah jadi horor saat malam tiba. Jadi kalau teman-teman berniat main ke Meru Betiri pastikan datang dari pagi atau sekalian meninap saja ya.


Well, foto ini mungkin masih kurang menggambarkan perkebunannya, tapi inilah jalur PT PN yang kami lewati 

45 menit melewati PTPN, akhirnya kami sampai di gerbang masuk Taman Nasional Meru Betiri, alhamdulillah~

Dari gerbang kita akan diarahkan oleh petugas Taman Nasional sekaligus bayar retribusi, 10 ribu per orang kalau tidak salah. Nantinya petugas TN akan menawarkan dua pilihan untuk menuju Pantai Green Bay: jalur darat atau menyeberang dengan perahu nelayan. Kalau lewat jalur darat kita harus berjalan kaki naik-turun tangga sekitar 1 km, sedangkan kalau naik perahu cukup 10-15 menit saja. Kami memilih jalur darat, karena ingin melihat sisi dalam hutan Meru Betiri. Karena ini hari Jumat, maka sebelum lanjut ke Green Bay para babang tamvan pun singgah sholat jumat dulu di dalam TNMB, yap di pinggiran TN masih ada perkampungan warga say. Sambil menunggu, saya dan Ela coba browsing sambil makan ciki, eh ternyata di desa ini tak ada sinyal gaes, hmmm...


Sholat jumat dulu biar makin ganteng
Selesai sholat jumat para babang tamvan masih jetlag karena tidak mengerti apa-apa soal khutbahnya yang berbahasa Jawa, hahaha. Setelah ngabisin sisa ciki kami lanjutkan perjalanan sampai ke area parkir terakhir dekat trek menuju Green Bay. 


Semacam jalan perbatasan antara desa dan hutan Meru Betiri
Nah, perlu diingat juga warung terakhir yang akan kita temukan adalah di parkiran motor ini, jadi silakan jajan-jajan disini kalau belum beli stok makanan. Perjalanan dari parkiran ke Green Bay memakan waktu sekitar 45 menit jalan santai. Di awal kita akan melewati jalan menanjak, roman-roman hutan macam di film anaconda dan jurassic park kental terasa, terkejut saya terheran-heran melihat pohon yang entah apa namanya setinggi 30 meter ๐Ÿ˜ฎ Beberapa kali mata saya juga menangkap berbagai jenis burung beterbangan di langit Meru Betiri, dari kedalaman hutan juga terdengar sayup-sayup suara satwa liar, sudah macam channel Natgeo versi live.



Pohonnya segede-gede itu gaes
Dari pinggiran hutan yang rapat kami mulai naik-turun tangga. Di sisi kiri kami laut membiru sudah terpampang nyata, suaranya berisik tapi padu sekali dengan suasana alam sekitar. Langkah kami makin semangat karena ini berarti Green Bay sudah semakin dekat! 


Sisi kiri kami, lihat deh hutannya serapat itu

Ini dia tangganya
Setelah melewati ratusan conblok, tibalah kami di pantai yang sangat berisik... Dan bukan pantai Green Bay ๐Ÿ˜ถmelainkan pantai dengan batu kali dengan gradasi warna abu-abu, cokelat tanah, dan hitam. 


Pantai Batu toh namanya..

Ambil napas dulu ceritanya

Pak Faisal
Seumur hidup baru kali ini saya melihat pantai yang dipenuhi dengan batu kali alih-alih pasir pantai, tarikan ombak menghempaskan bebatuan ini hingga menghasilkan suara yang jauh lebih berisik dibandingkan pantai pada umumnya. Kami berhenti dulu di pantai bebatuan ini, menarik nafas sembari menikmati pemandangan unik ini. Di antara semak-semak mata saya tertuju pada sebuah aliran air yang berasal dari dalam hutan Meru Betiri, agaknya ini muara sungai yah, mestinya air tawar. Ukuran sungai tidak begitu besar, mungkin lebarnya hanya sekitar 5-7 meter dengan kedalaman hanya selutut, airnya jernih sekali dan saya bisa melihat ikan-ikan  kecil berenang riang di aliran sungai ini, sambil iseng saya mencoba meminum air sungai ini dengan menggunakan tangan, airnya segar dan bersih loh. Ah, pengalaman minum air langsung dari aliran sungai di hutan begini yang mahal sekali harganya, terharu saya :')


Ini sungai yang aku maksud.. Hulu sungainya masuk ke dalam hutan itu..
Kami melanjutkan perjalanan beberapa puluh meter lagi menuju Pantai Green Bay. Sesampainya di pantai ternyata banyak sekali pengunjung yang main ke pantai ini. Bocah-bocah asik berenang, banyak juga yang bertamasya santap siang di tepi pantai, eits tapi perlu hati-hati saat membawa makanan ke sini karena masih banyak monyet liar yang suka mencuri makanan. Saya sendiri memilih untuk tidak basah-basahan karena tidak bawa baju ganti dan tak ada kamar bilas di area pantai ini, yaa dapat dipahami sih namanya juga di tengah hutan haha. 


Sedikit lagi kapten!

Thi is it! Green Bay Beach :)

Lari-lari di pantai seru yah :)
Air di pantai ini memang biru kehijauan, ombaknya cukup besar, relatif lebih besar dibandingkan ombak di pantai batu padahal mereka masih satu area. Hmm apa ya, pantai Green Beach mungkin akan terasa biasa saja jika dibandingkan dengan pantai-pantai di Lombok atau Bali, tetapi buat saya pribadi yang membuat pantai ini istimewa adalah somehow pantai ini merupakan batas terluar dari sebuah taman nasional alias hutan rimba. Tetapi, nampaknya kehadiran wisatawan yang ramai membuat pantai ini kehilangan sisi misteriusnya, apalagi sedihnya ada satu-dua sisa sampah pengunjung, please deh jangan pada alay nyampah di sini napa ๐Ÿ˜ž


Until we meet again, Green Bay :)


Sekitar jam 3 sore kami melanjutkan ke destinasi selanjutnya: Pantai Pulau Merah. Dari TNMB menuju Pantai Pulau Merah memakan waktu 2 jam--ini termasuk jalan kaki dari Green Bay menuju parkiran yang lumayan bikin keringetan. Kami tiba di Pantai Pulau Merah sekitar jam 18.30, kesorean memang. 


Kesorean mamank
Pantai ini ramai sekali oleh pengunjung yang nampaknya sih kebanyakan adalah warga lokal. Di sini ada fasilitas voli pantai, warung penjajak makanan juga banyak, termasuk ketersediaan lahan parkir yang luas, mushola, dan toilet. Tadinya saya tidak berekspektasi apa-apa tentang pantai ini, sudah datangnya kesorean, pantai ramai sekali dengan pengunjung, air laut yang mulai menggelap.. Tetapi semua itu berubah ketika perlahan matahari merapat ke ufuk barat, gais... sunset-nya bagus banget! Rasanya lelah-lelah perjalanan hari ini tuntas oleh atraksi alam sore ini di depan mata kami.


Makin sore mulai keluar cantiknya pantai ini :)
Asik

Cantik :)
 Selesai menikmati sunset, kami lanjutkan sholat magrib di mushola sini, makan popmie dulu, lalu melanjutkan perjalanan sekitar 3 jam motoran untuk kembali ke homestay. Nah ini yang jadi catatan penting buat saya, setelah tak evaluasi nampaknya itinerary saya dkk ke selatan Banyuwangi ini tidak efektif, kami jadi kelelahan karena perjalanan jauh dari Kota Banyuwangi ke daerah selatan sini yang memakan waktu 3-4 jam PP. Saran saya buat teman-teman yang mau menjelajahi selatan Banyuwangi menginaplah barang 1 malam di homestay-homestay sekitar Pantai Pulau Merah, why? Di sini relatif lebih dekat ke jalan raya dan banyak warung-warung dan penjual makanan, dari sini kalian bisa explore 2 taman nasional: Meru Betiri dan Alas Purwo. Ah, satu lagi yang saya sesalkan di perjalanan chapter Banyuwangi kemarin adalah tidak membeli buah naga yang bertebaran di sepanjang jalan dari TNMB ke Pantai Pulau Merah, padahal saat saya berkunjung sedang masa panen buah naga produksi petani lokal. Yah semoga kekurangan-kekurangan di perjalanan kali ini dapat dituntaskan pada perjalanan ke Banyuwangi selanjutnya (yang entah tak pasti kapan akan terwujud kembali) ๐Ÿ˜…

Sabtu, 18 Agustus 2018

Hari ini adalah hari terakhir petualangan kami di Banyuwangi. Kami bangun agak kesiangan karena memang kondisi badan yang sudah habis-habisan dari Kawah Ijen hingga Meru Betiri. Sekitar jam 9 pagi kami semua mulai ngumpulin nyawa, diskusi di depan teras kamar: Mau kemana kita hari ini? Kami pun memutuskan untuk mengunjungi ekowisata Kalibendo, maka kami panaskan mesin motor dan menuju lokasi yang kata maps sih hanya sekitar 1 jam dari lokasi penginapan kami. Dilalah, ketika sampai di lokasi ternyata sedang dilakukan renovasi gaes ๐Ÿ˜ฉ

Waktu menunjukkan pukul 10.30, kereta kami baru akan jalan pukul 8 malam. Ini di tengah desa, sehingga tidak ada restoran atau kedai kopi sekedar untuk jadi tempat kami diskusi. Maka, iseng-iseng saya tanya ke warga sekitar apakah ada tempat wisata di sekitar area ini? Rupanya ada sebuah bukit yang disulap mahasiswa KKN jadi spot instagramable, Puncak Asmoro namanya. Bukit ini memang pas sih untuk jadi tempat nongkrong cantik sore-sore gitu. 


Asik kan tempatnya buat nongkrong cantik

Kreatif!

Full team nih :D

Cantik :)
Sambil duduk-duduk kami memikirkan kembali kira-kira mau ngapain sepanjang siang ini? Lalu, dari atas bukit di kejauhan kami lihat laut membiru beserta pulau di seberangnya, saya pun mendapatkan ilham, "Gimana kalo kita nyebrang ke Bali?", dan semua pun setuju. Gila, ini adalah ide keren di luar rencana awal. Akhirnya kami mulai browsing-browsing tempat apa yang bisa dikunjungi di Bali Barat (kabupaten di Bali yang paling mepet ke pulau Jawa). Setelah mengantongi cukup informasi, pukul 11.30 WIB kami berangkat menuju Bali, yuhuu!

Pertama, kami menuju Pelabuhan Ketapang Banyuwangi, kami tinggalkan motor di parkiran khawatir kalau dibawa nyebrang akan jadi masalah sama penyedia sewa motor. Tiket menyebrang Ketapang-Gilimanuk ini murah banget, hanya 6 ribu rupiah. Ukuran kapalnya memang relatif lebih kecil jika dibandingkan kapal-kapal di Pelabuhan Merak yang biasa saya lihat. Kalau dilihat pakai mata nih, kayaknya deket banget Banyuwangi-Bali tuu, dan begitu kapal berlayar eh ternyata butuh 45 menit untuk menyeberang, why? Karena ombaknya kuat banget... Beda kayak Selat Sunda yang ombaknya santuy haha. 


We were too excited! :D

Kapal oleng kapten!
Setibanya di Pelabuhan Gilimanuk kami berniat order Grabcar, ehhh nda taunya nda ada driver grab yang terdeteksi dong~ Harus diakui meski berdekatan tapi ketersediaan kendaraan umum dan fasilitas antara Banyuwangi dan area Gilimanuk ini jomplang banget. Okelah kami sholat ashar jamak dzuhur dulu, lalu berjalan ke luar pelabuhan. Ternyata sudah banyak taksi gelap yang mencari penumpang di depan pelabuhan, langsung deh bejibun bapak-bapak sopir menyamperin kami, rata-rata pada menawarkan untuk diantar ke Denpasar, tapi kami tolakin. Hingga datang Pak Alex yang bertanya kami mau kemana, tak jelaskan bahwa kami mau ke pantai di sekitaran sini, kemudian pulang kembali ke Pelabuhan Gilimanuk, "Karena masih pada mahasiswa yasudah 200 ribu saya anter keliling gimana? Tapi nanti saya tinggal selama kalian jalan-jalan", emmm padahal tak satu pun dari kami yang masih mahasiswa sih pak, however kami sih hepi mendengar kesepakatan harga yang ditembak Pak Alex, harganya masih make sense 200 ribu bagi 6 berarti hanya sekitar 34 ribu per orang. Akhirnya meluncurlah kami menuju destinasi utama di Bali Barat ini: Pantai Karang Sewu, Taman Nasional Bali Barat.

Tadinya kami nda tau kalau Pantai Karang Sewu ini masuk dalam area taman nasional, di mobil Pak Alex yang menjelaskan kalau pantai ini masuk area TNBB, dari Pak Alex juga kami jadi tau kalau gugusan bukit yang ada di seberang Pantai Karang Sewu ternyata masih merupakan area TNBB yang tak berpenghuni. Wagilasih, andai kalian bisa melihat langsung bahwa gugusan bukit teletabies yang dimaksud itu luasss banget, dan penghuninya hewan-hewan semua, takjub rasanya. Tibalah kami di tempat tujuan, Pantai Karang Sewu adalah pantai yang tidak berpasir, justru di tepi pantainya adalah padang rumput, cukup unik kan? Seingat saya dalam seumur hidup baru kali ini saya melihat pantai yang tepiannya padang rumput alih-alih pasir atau batu. Tapi apa iya air laut langsung ketemu tanah? Pas aku menjorok ke samping ternyata tidak langsung air fusion tanah kok, rupanya tepian Pantai Karang Sewu ini memiliki pagar alami bernama batu karang, pantas namanya Karang Sewu, hence tetap amazing ngga sih.. bisa-bisanya terbentuk karang kayak begini trus di atasnya ada padang rumput ๐Ÿ˜ฎ 


Feel of Taman Nasional sekali

Sampai jugaa!
Oh iya, salah satu ikon dari pantai ini adalah sebatang pohon yang berdiri tepat di tepi pantai, dinamakannya pohon jomblo, lucu sih ini, semacam pemanis yang bikin landscape pantai ini jadi makin cantik. Selain itu di sekitar pohon jomblo juga ada sejumlah properti untuk mempercantik agenda foto-foto, ada papan 'welcome' dan ayunan kayu unyu-unyu haha. Sementara hal paling asik untuk dilakukan versi saya adalah pasang headset, gegulingan di rumput sambil madep ke pantai (liat-liat dulu takutnya ada kotoran), dan menikmati pemandangan bukit TNBB yang ada di seberang pantai , uuu~


Pohon jombs

Kapan kesini lagi ya:')
Sekitar 45 menit kami nongski dan foto-foto di pantai yang sepi meski sedang weekend. Perut kami udah keroncongan, apalagi yang cowo-cowo udah beringas dahh gegara lavar. Kami telpon Pak Alex minta dijemput, 15 menit kemudian kami sudah bersama Pak Alex dan request untuk diantar ke rumah makan mana pun deh yang penting halal, ceritanya kami lupa ini di Bali, kalau pun mau makan ayam belum tentu penyembelihannya dengan cara halal. Sejurus kemudian Pak Alex merekomendasikan Ayam Betutu Bu Lina 1, "Dijamin halal ini yang jual udah naik haji", oke siyap pak! Pak Alex meninggalkan kami untuk makan dulu sambil cari penumpang lain. Kami pun bergegas memesan makanan, 6 porsi ayam betutu lengkap dengan nasi, sambal, lalapan, dan es teh manis. Makanan pun tiba, saat suapan pertama saya udah speechless, ini enak banget tulung! ๐Ÿ˜ญ 

Btw gara-gara nulis ini saya jadi kabita ayam betutu trus beli di Jkt, tapi rasanya tetap nda semantap Ayam Betutu Bu Lina 1 :)
Dari penampakannya sih ini kayaknya ayam kampung, dari segi harga cukup pricey sekitar 40 ribu per porsi di luar nasi dan minum kalau tidak salah, tapi yaa enak rasa makanannya jadi oke banget lah. Harus diakui ayamnya  pedas, tapi masih oke untuk lidah saya, mungkin akan cukup menyiksa buat yang tidak suka pedas. Saya kira tadinya ayam betutu itu adalah something yang digoreng, ternyata direbus dan berkuah loh, kuahnya ini pedas, tapi saya sih masih tambahin sambal lagi karena sambalnya juga enak dong huhu rasanya pingin ku bungkus bawa ke Jakarta. Bahkan kalau diingat sampai sekarang pun rasanya saya nda rela ayamnya habis haha, apakah di Jakarta ada ayam betutu seenak ini? Kelar makan kami telepon Pak Alex lagi untuk diantar balik ke pelabuhan. Tetiba di tengah jalan Pak Alex menepikan kami ke toko oleh-oleh Bali dong, wuih langsung saya beli anggur Singaraja dan pie susu bali endeus, teman-teman yang lain juga pada belanja baju dan gantungan kunci, mau dikata apa juga ini lagi di Bali cuy lumayan haha. Setelah belanja kami meluncur kembali ke Pelabuhan Gilimanuk, terpujilah wahai engkau Pak Alex yang bawa kami keliling-keliling dengan harga bersahabat ๐Ÿ™† Saat adzan magrib kami sudah di kapal menyeberang balik dari Gilimanuk ke Ketapang, semua pada tepar di bangku tapi kuyakin semua happy. Saya sendiri feel so blessed banget karena tanpa direncanakan dalam trip ini bisa tembus 3 taman nasional: TN Baluran, TN Meru Betiri, dan TN Bali Barat.

Sekitar jam 19.00 kami tiba di Ketapang. Kami langsung tancap gas menembus angin malam menuju homestay. Sampai di homestay kami langsung antre mandi, sholat, dan beberes tas. Kami tidak makan malam karena masih kenyang sama ayam betutu endeus parah yang tadi, sebenarnya dibandingkan makan kami justru lebih pingin tidur haha. Packing udah, bersih-bersih udah, kami pamit sama pemilik homestay, jalan kaki beberapa ratus meter menuju Stasiun Karangasem yang ada di depan homestay, menunggu kereta malam yang akan mengantar kami dari Banyuwangi ke Surabaya selama 6 jam :)

Goodbye Bali, untuk we meet again :')

Minggu, 19 Agustus 2018

Subuh ini kereta kami tiba di Stasiun Surabaya Gubeng, kami langsung bergegas menuju mushola stasiun untuk sholat subuh. Setelah ini kami harus berpindah ke Stasiun Pasar Turi menunggu kereta yang akan mengantar kami ke Gambir pada jam 8 pagi, yap 8 pagi, lumayan lama kan nunggunya.. Sampai di Stasiun Pasar Turi perut kami sudah keroncongan lagi. Faisal, Eboth, dan Aziz memilih makan sate di samping stasiun. Tapi saya, Ela, dan Irvan pinginnya lontong balap, ini kayak jadi sejenis makanan wajib sih buat saya kalau berkunjung ke Surabaya. Tadinya mau pesan lewat Gofood, dilalah toko yang jual lontong balap belum ada yang buka, hmm. Kepalang niat sudah terucap, maka dengan berbekal petunjuk dari warga sekitar kami pun naik angkot menuju perempatan lampu merah dekat Pasar Turi, di sana ada penjual lontong balap gerobakan yang direkomendasikan banget oleh warga sekitar. Dari angkot kami sudah melihat gerobak biru 'barokah' di sisi kiri jalan. Kami langsung memesan 3 porsi lontong balap sama si kakek penjual, dan saya sih tak lupa menambahkan 2 tusuk sate kerang. Lontong balap pun tersaji, begitu suapan pertama lagi-lagi kami dibuat speechless, enak banget dong terharu kami tu ๐Ÿ˜†

Lontong balap terenak sejauh ini yang pernah aku coba

Penampakan gerobaknya nih
Kami langsung pamer ke tim sate, mereka langsung nitip dibungkusin dong haha, tapi tetap aja sensasi makan langsung di emperan ruko sama warga sekitar itu tak tertandingi, heuheu. Kelar makan kami balik lagi ke stasiun, masih 1 jam dari jadwal kebernagkatan kereta, saat lagi bengong tiba-tiba Om Aziz kembali membawa bungkusan, you know what.. Lapis Kukus Pahlawan Subaya dong omaigat itu kan murah dan enak bangetttt, saya selalu bawa oleh-oleh lapis kukus ini kalau habis dinas dari Surabaya. Langsung deh kami berlima tancap gas menuju tokonya di dalam stasiun, saya membawa 3 kotak lapis kukus dan alhamdulillah ada yang varian terang bulan which it's enak banget. Kelar belanja kami langsung masuk ke ruang tunggu stasiun dan selesailah cerita panjang perjalanan saya dkk ke Banyuwangi :')

Bagi saya, perjalanan ke Banyuwangi ini adalah salah satu perjalanan favorit yang memorable. Di perjalanan ini saya dapat rejeki view dan kulineran yang banyak banget, dan makin hepi karena dibersamai oleh teman-teman yang baique dan asyique, teman-teman yang konsisten ga ninggalin sholat biar pun main sejauh apa juga. Perjalanan ini juga entah gimana bisa murah meriah loh, mungkin karena faktor berkah, jalan-jalannya pakai wang yang ditabung dari pekerjaan yang halal #ea, pokoknya saya total-total habis 1,5 juta diluar jajan-jajan di Surabaya, itu sudah berangkat naik pesawat Citilink dan pulang naik kereta eksekutif, sungguh mevvah untuk ukuran ngebolang. Terakhir saya ke Banyuwangi bulan Oktober 2018 sebenarnya tapi karena untuk urusan pekerjaan feel nya jadi beda, saya nda tau kapan lagi saya akan ke Banyuwangi untuk jalan-jalan, dan rasanya kalau pun jalan-jalan kesana lagi feel-nya tak akan sama dengan perjalanan Banyuwangi chapter yang ini. Ah, Allah memang Maha Baik sampai-sampai saya diberi kesempatan untuk memperoleh kenangan semanis ini :')

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia