Berdialog Dengan Jiwa di Kampung Dukuh, Garut

“Tak ada yang namanya kebetulan jika kalian bisa sampai ke Kampung Dukuh, hanya takdir Allah yang memilih kalian untuk kesini” - Mamak Lukman, kepala adat Kampung Dukuh.

Perjalanan ke Kampung Dukuh memiliki tempat tersendiri bagi saya, mungkin juga bagi kalian yang pernah mengunjunginya. Satu setengah tahun yang lalu bermodal rasa penasaran, saya dan tiga orang teman melakukan perjalanan menuju salah satu kampung adat Sunda yang bercorak Islam: Kampung Dukuh. Dengan perhitungan biaya seminimal mungkin a la mahasiswa, kami berangkat dengan bis dari Cililitan menuju terminal Guntur, Garut, Jawa Barat. Tak banyak yang kami tahu tentang Garut, karena itu adalah kali pertama bagi kami mengunjungi Kota Dodol tersebut. Sampai di Terminal Guntur, kami  khilaf dari perhitungan bahwa jam 1 malam tidak ada kendaraan yang beroperasi, untunglah kami terselamatkan oleh seorang Bapak yang  mempersilakan kami menginap di rumahnya. Pun begitu, lantai kayu rumah Bapak itu tidak mampu menahan udara dingin yang menggigit kulit hingga subuh, malam itu kami tidak benar-benar beristirahat.
Pagi harinya, perjalanan kami kembali berlanjut. Tak kurang dari 5 jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Kampung Dukuh. Selepas dari mini bis, perjalanan dilanjutkan dengan mengendarai ojek menyusuri jajaran hutan jati, naik dan terus naik ke atas bukit. Meski lelah, saya terpukau selama perjalanan “off road” tersebut, semakin tinggi kami naik, semakin terlihat hamparan Laut Selatan Jawa dari atas bukit. Perasaan takjub berputar di kepala seiring kontur jalan yang membanting tubuh kesana-kemari, hingga sampailah kami di balik bukit tempat Kampung Dukuh berada.

Welcome to Kampung Dukuh (ps: bukan kampung dukuh paruk ya, hehe)

Tak ada panorama alam atau bangunan mencolok mata di kampung ini. Semuanya masih terasa biasa saja, tetapi percayalah pandangan  itu akan runtuh ketika kalian telah bercengkrama dengan warga Kampung Dukuh. Menurut cerita Mamak Lukman, pada tahun 2011 silam kampung ini habis terbakar, tak cukup sampai disitu, hutan yang dikeramatkan di kampung ini pun makin menyempit hari demi hari, bertransformasi jadi perkebunan atau ladang. Maka terjawablah keheranan kami mengapa “tampilan fisik” kampung ini tidak begitu istimewa jika dibandingkan kapung adat Sunda lainnya. Namun, kondisi ini tidak memudarkan pesona Kampung Adat Dukuh, selain disambut keramah-tamahan warganya, kampung ini juga menawarkan wisata jiwa bagi para tamunya. Lantunan suara adzan shalat lima waktu dari Masjid Jami, riuh-rendah suara anak-anak belajar mengaji di surau, serta sahut-menyahut bacaan ayat suci Al-Quran terdengar dari tiap sudut kampung, sesuatu yang rasanya telah lama luput dari perhatian saya meski pada kenyataannya di kota pun masjid ada dimana-mana. Mungkin sebagian dari kalian juga akan semakin jatuh hati pada Kampung Dukuh ketika melihat tingkah lucu dan kepolosan anak-anak disana yang malu-malu ketika disorot kamera. Oh ya, maaf jika narasi saya jadi semakin panjang, tetapi saya harus memberitahu kalian bagian penting lainnya: pertama, bahwa Kampung Dukuh terbagi menjadi Kampung Dukuh Dalam dan Kampung Dukuh Luar; kedua, bahwa di Kampung Dukuh Dalam tidak  ada listrik dan barang elektronik. Ya, di Kampung Dukuh Dalam mau-tak mau kalian akan menikmati malam yang syahdu tanpa deru knalpot kendaraan atau perangkat gadget yang menempel jadi “tulang” di tangan, hanya ada suara jangkrik dan sayup angin yang menghasilkan nyanyian alam. Jika kalian berkunjung di musim yang tepat, malam kalian akan semakin lengkap dengan bintang yang menggantung di atas Kampung Dukuh. Atmosfer ketenangan yang sulit dijelaskan itu membuat pikiran jadi semakin jernih untuk berdamai dengan keresahan-keresahan hidup, semuanya melebur di Kampung Dukuh.
Bocah-bocah Kampung Dukuh, mereka malu-malu loh kalau diajak foto bareng

Puas berdialog dengan diri dan mendengar cerita Mamak Lukman sepanjang malam, esok harinya kami bersiap kembali ke ibu kota. Sebelum kembali, kami sempatkan menyusuri pantai yang ada di sepanjang perjalanan dari simpang desa Cikelet hingga Pantai Santolo. Itu adalah pantai terindah yang pernah saya kunjungi hingga saat ini! Memang sih tidak ada deretan hutan bakau atau gugusan pulau kecil yang “wah”, tetapi ketahuilah bahwa sepanjang 6 km berjalan kaki menyusuri pantai kalian tidak akan menemukan banyak manusia, tak ada rumah warga, tak ada jalan raya, tak ada sampah, pantai itu benar-benar tidak ada penghuninya! 
Lokasi terakhir yang masih ada warung dan manusianya

Belakangan saya baru tahu ternyata pantai tak bernama tersebut merupakan wilayah peluncuran roket Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). Perjalanan menyusuri pantai jadi pelengkap untuk menghibur jiwa seteleh puas berkontemplasi di Kampung Dukuh. 
Foto panorama pantainya

Saran saya, berteriaklah sesuka hati karena ombak akan menelan suara kalian, pantai itu jadi bonus sebelum kembali pada rutinitas di tempat asal kalian. 
Di mata saya, perjalanan ini menjadi salah satu bukti bahwa Indonesia selalu indah, setiap daerahnya memiliki warna yang berbeda, dan inilah warna yang ditawarkan  Garut dan Kampung Dukuh apabila kalian berkesempatan  mengunjunginya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia