Serunya Jadi Pendaki Muslimah

Assalamu’alaikum ukhti salihah (cihuy!)

Di posting kali ini saya ingin berbagi cerita tentang salah satu hobi saya yaitu mendaki. Sebetulnya baru satu tahun belakangan saya serius menjalani hobi yang satu ini. Ketertarikan pada pendakian dimulai ketika seorang teman mengajak saya mendaki Gunung Prau di awal tahun 2015, sejak itu saya jatuh cinta pada ketinggian.

Banyak teman-teman atau anggota keluarga yang kemudian tidak percaya dengan hobi saya, jangankan mereka, kalau mesin waktu Doraemon beneran  ada dan saya bisa mengabarkan pada diri sendiri “La, lo itu bakal punya hobi naik gunung”, yakin deh saya sendiri juga akan kaget. Pasalnya, postur tubuh saya ini “imut”, punya penyakit musiman rhinitis dengan alergen udara dingin, berkacamata dengan angka minus yang tinggi, dan saya berhijab.

Hal yang menarik adalah pada awal menggeluti dunia mountaineering banyak kekhawatiran yang menjadi mind block, utamanya soal kapasitas diri sebagai seorang perempuan dan muslimah. Jika domain keterbatasan perempuan selama ini dikaitkannya dengan kemampuan fisik, lah ini ditambah dengan aturan agama. Nyatanya menjadi perempuan dan muslimah  tidak menjadi penghalang untuk mendaki gunung – tapi memang, ada hal-hal khusus yang memerlukan prinsip dalam setiap pendakian.

Kita sama-sama tahu batasan antara lelaki dan perempuan dalam Islam itu tegas. Meski demikian saya amat sarankan sebaiknya libatkan laki-laki dalam tim pendakian untuk menjaga selama di perjalanan dan pendakian, tapi tetap hati-hati. Misalnya begini, sudah tahu bukan mahrom maka sediakan tenda terpisah: sebisa mungkin hindari satu tenda dengan lelaki (saya nggak pernah tidur satu tenda dengan lelaki). Iya, memang betul, di gunung tidak ada teman atau keluarga yang akan melihat apapun yang saya lakukan, tapi predikat muslimah tetap melekat pada diri dan hijab; terlebih lagi Allah SWT Maha Melihat. Begitu pun selama di jalur pendakian, saat melewati medan berat dan butuh pegangan – ini literally pegangan ya – sebisa mungkin juga dihindari kontak fisik sama lelaki, biasanya saya menggunakan kayu atau sapu tangan sebagai perantara.
Ajak teman perempuan juga (lokas: Gn. Lawu)

Kemudian, soal cara berpakaian selama di gunung juga sedikit-banyak menjadi perhatian saya. Jujur, saya sendiri merasa belum nyaman kalau mendaki gunung pakai rok atau rok celana, sudah pernah coba tapi it doesn’t fit to me; the main point I want to say is “keep on the line”, bukan hanya di gunung sih tapi di tempat-tempat lain juga saya sudah mulai memperingati diri untuk tidak pakai pakaian yang ketat. Khusus untuk di gunung, saya menghindari menggunakan hijab dan pakaian warna putih karena saat hujan akan menerawang banget.

Really miss this place (Lokasi: Gn. Slamet)
Selain itu, dalam setiap pendakian saya selalu membawa serta semangat mencapai puncak  untuk bisa mengenal Allah. Percaya kan bahwa Allah yang maha menggerakkan hati manusia? Percaya juga kan hal sesepeleh warna baju yang kita pakai hari ini pasti sudah Allah atur dan takdirkan? Maka, saya  juga percaya bahwa Allah yang memberi hadiah kecenderungan hati untuk menyukai pendakian, jadi saya tidak mau sia-siakan kecenderungan hati ini untuk sekedar bersenang-senang dan mendukung hasrat jalan-jalan saja; berhubung diri ini adalah muslimah dan senang mendaki, kenapa tidak sekalian menjadikan setiap pendakian sebagai momen untuk bermuhasabah? Kebayang nggak sih saat  sholat di gunung itu rasanya seperti semesta raya ikut rukuk dan sujud sama kita? Bagi saya itu kebahagiaan yang luar biasa, sulit untuk dibahasakan, pokoknya harus diniatkan dan dirasakan sendiri, dan poin ini ngga harus untuk perempuan dan muslimah saja sih.


Muhasabah di tempat seperti ini bisa dicoba (Lokasi: Gn. Gede)

Pada intinya saya tidak menemukan kesulitan berarti dalam mendaki, tidak karena saya perempuan atau muslimah. Justru, menjadi anomali itu seru loh, melakukan hal-hal yang biasanya diidentikkan dengan domain kaum adam bisa dicoba juga sesekali (atau dua kali, atau tiga kali) yang penting jangan melampaui batas (ini reminder untuk diri sendiri). Saya tidak tahu apakah di sisi Allah hobi yang saya lakukan ini benar atau salah, dosa atau pahala, hmm.. sisi positifnya semoga bisa menginspirasi muslimah-muslimah lainnya untuk tidak takut bermimpi dan menekuni hobi sambil terus mengkaji dan menjalani aspek-aspek syari'ah dan batiniah dalam Islam, mana tahu pas kamu sholat di gunung terus ada yang lihat dan hatinya jadi adem..eh ikut sholat juga.. eh terus ketemu jodoh di gunung, wah jadi sambil berdakwah juga kan..
Nah sekian dulu posting-nya, Wassalamu’alaikum J

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia