Long Trip Part III: Camping di Pantai Siung Yogyakarta

Bismillah.

Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah yang memiliki peran penting dalam perpolitikan Indonesia di masa lampau. Daerah Swapraja ini aku kenal baik sebagai daerah yang pernah menjadi ibu kota negara Republik Indonesia. Meski telah lama mengenal Yogyakarta lewat buku pelajaran sejarah, bagiku Yogyakarta hanyalah sebuah nama. Namun persepsiku berubah ketika berkesempatan mengujungi tanah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, kali pertama menjelajahi aku dibuat jatuh cinta pada tanah, langit, dan lautnya.
Perjalanan ke Yogyakarta adalah salah satu dari rangkaian perjalanan panjang ke Gunung Lawu dan Kota Solo yang saya lakukan pada akhir Juli 2016. Perjalanan dimulai dari Stasiun Lempuyangan pukul 2 siang. Saya dan seorang teman dijemput oleh mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta kenalan kami. Dari stasiun kami diantar menggunakan sepeda motor, kendaraan yang tepat karena memungkinkan saya untuk lebih leluasa memandang sekitar. Mata menatap lekat-lekat setiap sudut tempat yang kami lalui, saya ingin memastikan semua sudut itu terekam dengan baik di kepala. Kota Jogja, ternyata tidak beda jauh dengan kota penopang Jakarta seperti Depok, Bekasi, dan sekitarnya. Kafe-kafe bertebaran di mana-mana, macetnya pun sama. Kota Jogja siang itu belum mampu memperkenalkan saya pada DIY seperti cerita-cerita banyak orang. Tepat ketika kami tiba di rumah si mahasiswi UNY, hujan mengguyur Kota Jogja tanpa ampun, hati saya menciut juga melihat cuaca yang serba tak terduga: Apakah kami bisa melakukan perjalanan besok dengan cuaca yang begini?
Berusaha tetap optimis, kami mencari tahu lokasi wisata yang akan didatangi. Sesuai rencana awal, kami sangat ingin berkemah di pantai, tetapi hingga sehari sebelum perjalanan kami belum menemukan pantai yang sesuai—atau lebih tepatnya kami belum mencari tahu lebih dalam. Berbekal aplikasi maps dan sinyal yang timbul-tenggelam di tengah lebatnya hujan, kami menelusuri setiap jengkal pesisir selatan Yogyakarta. Tak hanya itu, lewat berbagai grup kami bertanya pantai apa yang indah dan masih asri? Sejumlah nama disebutkan, Pantai Wedi Ombo, Pantai Kosakora, dan Pantai Siung. Mendengar satu nama terakhir itu saya merasa tertarik, Pantai Siung? Seperti istilah takaran bawang. Maka, dari namanya yang unik itu kami sepakat memilih Pantai Siung.
Pukul 20.00, hujan tinggal menyisakan rintik saja yang masih mungkin untuk diterobos. Kami memacu sepeda motor berharap memperoleh suasana Kota Jogja malam. Rupanya genangan air hujan membuat macet di mana-mana. Dengan menelan sedikit rasa kecewa kami putar haluan mencari makanan di sekitar rumah, yang penting perut terisi dan kami kembali untuk istirahat.
Subuh sekali kami terjaga oleh suara azan dari speaker masjid sebelah. Setelah sholat subuh berjamaah, kami memastikan kondisi logistik, motor, dan tenda. Pagi itu, satu teman laki-laki dari Sleman menyusul kami, genaplah  kami berempat melakukan perjalanan ini. Tanpa seorang pun yang pernah mengunjungi Pantai Siung, kami berempat berangkat dengan sepenuhnya mengandalkan aplikasi maps, “GPS berjalan” yakni penduduk sekitar, dan berserah diri pada Tuhan. Dari padatnya Kota Jogja, kendaraan kami mulai melipir ke tepi kota ditandai oleh pemandangan sekitar yang mulai berubah. Dari deretan beton dan deru kendaraan, perjalanan mulai diwarnai oleh hamparan sawah penduduk dan terus naik memasuki kawasan perbukitan Kabupaten Gunung Kidul.
Satu jam perjalanan, punggung mulai terasa pegal menahan angin dan massa badan. Kemudian, dari aplikasi maps saya melihat ada air terjun Sri Gethuk. Dengan sedikit berembuk kami sepakat untuk menghabisan siang dan istirahat sejenak di air terjun tersebut. Tanpa disangka, ternyata lokasi air terjun cukup jauh, agak merasa dikelabui oleh maps sebenarnya. Tapi nasi telah menjadi bubur, punggung kami pun sudah merengek minta istirahat, kami pacu terus motor sekitar 1 jam hingga tiba di air terjun Sri Gethuk.
Beruntungnya kami yang datang pada hari biasa, air terjun Sri Gethuk sedang sepi. Setelah membayar retribusi kami menaiki perahu rakit yang membawa ke pusat air terjun. Ya, ternyata air terjun ini cukup unik karena dari gerbang masuk kami harus menggunakan perahu rakit menyusuri Sungai Oya untuk bisa sampai ke lokasi air terjun, keunikan ini membuat hati senang setelah lelah menuju lokasi yang cukup jauh. Sungai Oya dibatasi oleh ngarai, dinding ngarai itu dipenuhi oleh relief horizontal yang saya duga terbentuk dari aliran air sungai yang entah berapa ratus tahun lamanya. Sungai yang kami lalui tidak seberapa lebar, tetapi dari cerita pengemudi rakit kami mengetahui bahwa sungai sempit itu memiliki kedalaman 5-7 meter, cukup dalam rupanya.
Tibalah kami di air terjun Sri Gethuk, sesungguhnya kami begitu tergoda untuk mandi di air terjun, tentu kami tak bisa karena tidak membawa banyak pakaian. Jadi cukuplah kami mendengarkan suara berisik khas air terjun sambil bermain-main kecil dengan riak air di pinggiran. Setelah memulihan tenaga, perjalanan kembali kami lanjutkan. Kali ini, kami mengandalkan GPS berjalan alias warga untuk mengetahui jalan pintas menuju Wonosari, kecamatan yang menjadi patokan kami. Dan perjalanan kami lanjutkan melalui jalan pintas, kiri kanan jalan dihiasi  sawah dan kebun singkong warga, hanya ada satu dua kendaraan yang lewat selain motor kami.
Setengah jam berkendara, kami sampai di Kecamatan Wonosari. Wajah kami mulai bersemangat, seharusnya sebentar lagi kami akan segera tiba di Pantai Siung. Pada kenyataannya, kami masih lagi harus menempuh perjalanan selama dua jam. Dua jam yang terasa panjang namun tidak melelahkan karena sepanjang jalan pemandangan mulai berubah. Dari hamparan sawah dan bukit, kami dapat melihat bahwa kontur tanah mulai menurun, kanan-kiri jalan mulai didominasi oleh bukit karst dan karang. Petunjuk jalan mulai menjejerkan nama-nama pantai, termasuk petunjuk arah menuju Pantai Siung. Setelah 4 jam mengendarai motor dari Kota Jogja akhirnya tepat pukul 15.00 kami tiba di Pantai Siung.


Sore itu, hanya ada kami dan beberapa pedagang yang memang menetap di pesisir pantai. Saya dapat melihat bahwa mata kami yang semula kuyu jadi begitu berbinar menyaksikan lautan biru berkilau dan hamparan pasir putih di depan kami. Tidak perlu dijelaskan bahwa perjalanan selama empat jam jelas terbayar, terlebih alam hari itu begitu pengertian. Tidak ada setitik air pun turun dari langit!
Lelah kami belum benar-benar hilang, tapi saya diam-diam meninggalkan yang lainnya. Saya sendirian menyusuri sisi kanan pantai, ada tebing karst disana. Ternyata dari sisi atas tebing itu saya dapat menyaksikan Pantai Siung dari sudut pandang yang lebih indah. Dinding-dinding bukit karang itu menghasilkan pantulan suara ombak yang lebih keras, dan sepi. Semakin naik ke atas, saya menemukan sepetak tanah datar berpermadani rumput dan berdinding karang, tempat yang tepat untuk mendirikan tenda. Saya menghabiskan hampir satu jam sendirian di antara bukit karang Pantai Siung.
Puas bermain sendiri aku kembali ke bawah bukit, memanggil teman-teman yang ternyata sedari tadi menungguku. Awalnya, kaki mereka terlalu berat untuk mendaki tebing Siung, tetapi aku memaksa hingga akhirnya mereka menarik kembali segala keluhan setelah melihat sendiri pemandangan apa yang ada di atas tebing. Rasa lelah berkendara dan angin pantai yang begitu membuai membuat kami berempat tertidur pulas beralas rumput.
Tepat pukul 17.00 saya yang pertama terjaga, angin pantai mulai terasa menusuk tulang tetap saya tak tega membangunkan yang lain. Saya melangkah ke tengah area rumput dan mendirikan tenda. Seharusnya sore itu saya bisa mendaki bukit sebelah kiri untuk melihat sunset, hanya saja kaki menuntut haknya untuk istirahat, selain itu pemandangan laut dari tebing Siung terlalu memikat hati untuk beranjak, maka setelah tenda didirikan saya kembali berdiskusi dengan batu karang dan lautan, sendirian.
Malam itu kami habiskan dengan suka cita, kami memasak nasi kuning racikan sendiri lalu kami tutup hidangan dengan secangkir cokelat panas. Tepat pukul delapan malam, kami turun dari tebing menuju pantai. Di bibir pantai, masing-masing dari kami berpencar dan mencari sudut ternyaman sendiri untuk menikmati malam, langit, dan pantai. Malam belum terlalu larut, tetapi bintang sudah bermunculan. Pantai Siung menyihir kami di tepiannya tanpa rasa bosan meski hanya duduk memandang langit yang serba kelap-kelip dan lautan yang hitam pekat. Tanpa terasa dua jam telah berlalu, kami bergerak mundur menuju tenda.
Sengaja saya menyalakan alarm pukul 3 dini hari untuk berburu Galaksi Bima Sakti. Tanpa menimbulkan suara, saya mengendap-endap ke luar tenda. Betul dugaan saya, malam itu langit Pantai Siung dipadati oleh bintang-gemintang, saya setel lagu kesukaan sambil merebahkan diri di atas rumput. Tidak lama kemudian, yang lainnya terbangun dan ikut bergabung, untuk melengkapi suasana yang syahdu itu kami seduh kopi bersama. Tak mau kehilangan momen, teman saya mengabadikan gambar lewat lensa kamera, sementara saya tak begitu berminat berburu gambar karena hanya ingin menikmati pemandangan dengan lebih dalam.
Sejujurnya mata kami berat menahan kantuk tapi amat sayang melewatkan keindahan malam dan Pantai Siung, jadilah kami menikmati setiap detik hingga pagi tanpa jeda tidur kembali. Pukul 6 pagi kami putuskan untuk menyusuri bukit sebelah kiri, ternyata untuk mencapai puncak bukit cukup menguras tenaga apalagi kami belum sarapan dan tidak terpikir untuk membawa botol minum. Pagi itu rupanya kami sedikit kurang beruntung, ternyata awan masih menyisakan sedikit kelabu di ufuk timur tepat di titik matahari terbit. Tanpa kekurangan rasa antusias, kami menikmati biru lautan dari ketinggian bukit. Di ketinggian itu pula kami dapat melihat dengan lebih jelas ombak pantai selatan yang ganas sekaligus memikat di waktu bersamaan.
Ada pula rumah kosong di tepi ujung bukit Siung yang tertangkap mata kami, dapat kami imajinasikan bagaimana pemandangan Pantai Siung dari dalam rumah kosong tersebut, pasti indah. Pukul 7 pagi kami turun dari bukit, menyempatkan waktu untuk bermain bersama ombak Pantai Siung, kemudian bersih-bersih diri  dilanjutkan dengan memasak sarapan. 
Hal unik lainnya pagi itu adalah kehadiran monyet-monyet liar dari atas tebing Siung, tampaknya mereka dapat mencium masakan kami tetapi terlalu malu-malu untuk turun dari puncak bukit. Selesai dengan sarapan, kami segera berkemas dan pamit dari Pantai Siung untuk kembali ke Kota Jogja. Tak seperti perjalanan berangkat yang penuh drama dan melelahkan, perjalanan pulang terasa lebih mudah dan cepat.
Singkat memang, tak sampai 24 jam aku habiskan di Pantai Siung, pantai pertama yang saya kunjungi di Yogyakarta. Namun, segala keindahan dan keteduhan Pantai Siung begitu membekas di kepalaku hingga detik ini. Sampai di Kota Jogja kami segera berkemas dan pamit kepada mahasiswi UNY yang berkenan menemani perjalanan kami. Jam menunjukkan pukul 2 siang ketika kami kembali lagi ke titik perjalanan, Stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Dalam kereta pulang menuju Jakarta itu rasa sedih dan bahagia campur aduk di kepala saya. Yogyakarta dan Pantai Siungnya terlalu mengesankan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia