Pengalaman Sekali Seumur Hidup: Berkunjung ke Pedalaman Kabupaten Berau

Bismillah.

Masih sama kayak perjalanan ke Sulawesi Selatan, kali ini saya bisa berkunjung ke Kabupaten Berau karena kebagian jadwal dinas di sana, seru memang bisa kerja sekaligus jalan-jalan #eh. Sebenarnya dari SD sih saya  sudah sering keliling Kalimantan.. lewat atlas #krikkrikkrik. Tapi kali ini saya beneran menapakkan kaki langsung ke Kalimantan Timur kok, dan saking panjangnya cerita yang tercipta di tanah produsen Pupuk Kaltim itu,  tulisan khusus Kabupaten Berau saya bagi jadi dua, part duanya akan segera menyusul kalau rating part satu tinggi.

Di trip kali ini, saya ditemani oleh 2 orang rekan kantor yang akhirnya jadinya temen asik, yakni Neng Aneu dan Mas Yudi. Neng Aneu ini teman sekantor saya dari Jakarta, kami berdua yang diutus jadi assessor ke Kab. Berau, sementara Mas Yudi adalah penanggungjawab program dari Kab. Berau. Hari-hari saya di Berau ini melelahkan banget, karena ada 5 desa yang harus di-assess dan lokasinya jauh-jauh banget, bahkan sampai blusukan ke hutan Kalimantan. Cus lah kita mulai ceritanya~

Hutan  Kalimantan

Selasa, 27 Maret 2018

Penerbangan saya ke Kalimantan Timur ini drama banget. Pesawat dari Jakarta ke Balikpapan (Bpp) sih aman-aman aja, tapi situasi gak enak dimulai dari  di Bpp ketika saya transit naik pesawat kecil ke Berau.

Hello Kaltim
Pesawat Jkt-Bpp yang saya tumpangi mendarat mulus di Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, saya langsung mengabarkan Mas Yudi selaku orang yang akan ngeladenin saya selama perjalanan dinas di sini.

"Naik pesawat apa dan jam berapa Mba?" Tanya Mas Yudi via telepon.
"W*ngs Air, kalo di tiket transit 1,5 jam aja Mas"
"Waduh, gitu ya. Oke Mba, kabarkan saya aja kalo sudah landing di Berau"

Wah belum apa-apa nih orang udah bilang 'waduh', perasaan saya auto nggak enak, haha.
Dan benar saya, penerbangan Bpp-Berau rupanya jadi penerbangan terburuk yang pernah saya alami. Mungkin sudah pada bisa nebak ya kenapa, apalagi kalo bukan delay. Dari yang seharusnya sudah berangkat pukul 13.00 WITA, ujung-ujungnya kami baru diberangkatkan pukul 18.30 WITA, nyesek-nyesek dah tuh. Setelah penantian yang mengesalkan akhirnya pesawat yang ditunggu open gate juga, sebelum masuk pesawat kami diminta berbaris untuk menerima uang kompensasi sebesar 300 ribu kalau nggak salah.

"Mba difoto dulu ya, senyum ya mba", kata petugas W*ings Air saat memberikan uang  kompensasi kepada saya.
"Gak mau, ngapain saya harus senyum, orang telat", Jawab saya yang membuat si pegawai nggak enak hati sendiri. Okelah singkat saja saya cerita soal penerbangan ini, pukul 20.00 WITA, pesawat tiba di Bandara Kalimarau Berau, semua penumpang yang turun dari pesawat sudah pada "senggol bacok" mode on. Di parkiran mobil, Mas Yudi sudah standby untuk menjemput saya, malam ini kami tak banyak cakap, saya sudah mumet dan capek banget karena urusan pesawat ini seharian. Selesai makan malam, saya langsung diantar ke hotel dan istirahat.

Baru nyampe Berau nya malam :')
Rabu, 28 Maret 2018

Agenda saya hari ini sowan ke kantor cabang di Kota Berau, kemudian kami lanjut jalan ke 2 desa yang lokasinya ada di Kecamatan Talisayan. Perjalanan ke Talisayan memakan waktu sekitar 6 jam, haha tepar banget saya. Tapi seru sih, saya jadi bisa eksplor Kalimantan, perjalanan ke Talisayan ini lumayan naik-turun bukit, jalannya banyak rusak sehingga mobilnya sering "lompat-lompat", apalagi mobil '4x4' yang kami naiki ini juga sekaligus membawa barang-barang bantuan untuk orang desa, sehingga saya harus menggunakan bahu kanan untuk menopang segala macam kardus berisi bantuan agar tidak jatuh menimpa saya, bayangin coba.. 6 jam men duduk posisi nahan kardus, mau komplain nggak enak, mau tidur juga  nggak bisa, untung si Mas Yudi setel lagu yang asik-asik sehingga saya bisa karaoke, haha.

Kebanyakan hutan yang saya lalui sepanjang 6 jam itu adalah perkebunan sawit, area tambang, atau perkebunan pulp, cukup sedih sih karena saya yakin perkebunan itu dulunya pasti menjadi rumah satwa liar. Sambil tak habis-habisnya ngeliatin perkebunan sawit, ada beberapa titik yang ditunjukin Mas Yudi.

"Itu Mba, yang rata di ujung sana masih hutan "perawan" loh", Mas Yudi menjelaskan.

Difotonya dari bukit, dibawahnya lembah, di garis horizon itu adalah bukit juga, tapi semuanya terlihat sama di kamera

Wah saya excited dong, langsung tak foto pakai hp, sayangnya kapasitas kamera hp masih nggak mempan untuk menangkap langsung pemandangan indah yang dilihat mata secara langsung. Di kejauhan saya dapat melihat pohon-pohon menjulang tinggi dengan kanopi lebar di atasnya, menakjubkan, saya aja yang melihatnya dari jarak ratusan meter bisa engeh kalo pohon-pohon itu "raksasa" banget, gimana kalo dari dekat ya?

Hari kedua ini kami akhirnya memutuskan bermalam di tepi Pantai Talisayan. Niat saya sih, sore dan malamnya pingin jalan-jalan di tepi pantai, apa daya kasur hotel malam itu lebih menggoda, heuheu.

Sebenarnya, dari Talisayan ini kami tinggal berkendara sekitar 2 jam lagi untuk sampai ke Labuan Cermin, cuma yah belum rejeki, kami keburu tepar semua karena kesini memang tujuannya untuk kerja.

Pantai Talisayan. Blur :(
Kamis, 29 Maret 2018

Hari ini, saya dan Mas Yudi akan berkunjung ke 2 desa lagi sekalian jalan pulang ke Kota Berau, di saat yang sama satu rekan saya yakni Neng Aneu sedang menyusul kami ke Kota Berau dari Kutai Kartanegara. Ada yang kocak di perjalanan pulang ini, desa terakhir yang kami datangi berlokasi sekitar 12 km masuk ke dalam perkebunan sawit, pas pulangnya kami coba memintas jalan lewat perkebunan kertas (pulp). Setelah setengah jam berkendara hujan mulai turun, dari rintik jadi deras, jarak pandang jadi terbatas, meski waktu menunjukkan sekitar pukul 2 siang tetapi hujan yang turun deras membuat langit kelabu sekali. Di kiri-kanan jalan sudah tidak ada lagi rumah warga, suara serangga hutan pun sama sekali tidak ada, saat sudah setengah jalan tiba-tiba mobil kami terhenti, karena pohon di depan kami roboh, haha...gilaak, udah di tengah hutan, nggak ada tanda-tanda manusia, hujan deras, sekarang dihadang pohon tumbang, jadilah kami putar balik sekitar 1 jam dan di jalan literally tidak ketemu satu manusia pun.

"Dulu saya pernah pulang dari desa ini magrib Mba, dan sama penunggu sini diputar-putar deh sampai nggak ketemu jalan raya, akhirnya saya balik lagi ke desa dan minta diantar sama warga".

ma rainy day

Pohon tumbang!1!1! dan actually iyu jalannya udah kayak sungai aslinya mah

Jujur, kalo diingat-ingat lagi sekarang, pengalaman pulang ini horor sih. Saya lihat sendiri sebelum hujan turun kabut cukup tebal merayap di antara pepohonan setinggi tower BTS, tidak ada manusia satu pun, dan hutan ini sunyi sekali, sepertinya serangga-serangga pun tidak minat bertandang ke hutan ini, nggak kebayang deh lewat sini dekat-dekat magrib horornya kayak gimana.

Setelah ketemu jalan raya, akhirnya saya bisa bernafas lega, perjalanan pulang diiringi album lagu hits tahun 2000'an yang bikin saya dan Mas Yudi jadi karaoke sepanjang jalan. Sepertinya tadi kami semua udah ketakutan tapi berusaha stay cool, hmmmmm hmmmm *nisa sabyan mode on.

Kami sampai di hotel sekitar magrib, saya langsung bersih-bersih badan karena malam ini Mas Yudi akan menjamu saya dan Aneu dengan makan malam bersama, menunya spesial banget: kepiting.

Kami diajak makan di tepi sungai yang saya lupa namanya. Ini adalah kali pertama saya makan seafood model kekinian yang seafoodnya ditumpahin di meja itu looh~
Saya belum pernah coba sih yang di Jakarta gimana, tapi kata si Aneu yang kami makan ini jauh lebih  enak, karena seafoodnya masih segar, yaiya sih soalnya Kota Berau kan di tepi pantai, heuheu.
Dan saya mau kasih penekanan khusus nih, makanan di Kalimantan itu cuma ada dua: enak atau enak banget. Serius loh, cara mereka meramu bumbu itu beda, saya belum pernah menemukan cita rasa serupa di masakan Jawa atau Sumatera, dan si Aneu pun mengiyakan, selama di Kutai Kartanegara pun dia bilang makanannya enak-enak, padahal mah menunya sama saja dengan yang di Jawa misalnya masak tumis, tapi rasanya beuh endess banget! Kami kembali ke hotel dengan perut kenyang dan hati yang was-was sama kolesterol..

Penyelamat hariqu

Jumat, 30 Maret 2018

Hari ini masih ada 2 titik lagi yang harus saya dan Aneu assess, kedua titik ini berada di muara sungai dengan laut, namanya Desa Pulau Besing dan Desa Pegat-Betumbuk. Di Desa Pulau Besing, jalan penghubungnya dengan dunia luar hanyalah sebuah jembatan kayu yang alhamdulillah sudah kokoh, tapi lebarnya hanya sekitar 2 meter. Ada yang unik di Desa Pulau Besing, yakni dari jembatan sampai ke desa kita akan melalui area mirip rawa tanah gambut yang dihuni oleh bekantan dan monyet liar, kata Mas Yudi sih pemerintah setempat memang memiliki visi untuk menjadikan rawa ini sebagai area ekowisata, jadi ntar para pengunjung diajak keliling pulau memakai perahu getek sambil melihat bekantan dan monyet liar di alam aslinya, seru kan.

Seluruh rumah di desa ini berada di atas tepian sungai, sehingga rumah dan jalan poros desanya "melayang" dan terbuat dari kayu, syukurlah saat ini PLN sudah masuk ke desa. Beda dari desa sebelumnya yang mayoritas adalah transmigran dari Jawa dan Sumatera, di Desa Pulau Besing ini 100% penduduknya adalah orang asli Kalimantan (tapi bukan dari suku Dayak). Saya jadi excited, selain bekerja dan jalan-jalan, saya jadi serasa wisata budaya juga loh, mereka bicara Bahasa Indonesianya agak beda, susunan katanya tidak seperti SPOK yang kita pelajari di sekolah, untungnya sih masih bisa dimengerti.

Desa Pulau Besing nih

Capingnya lucu, warna warni gitu
Dari Desa Pulau Besing, kami lanjut ke Desa Pegat-Betumbuk yang untuk sampai kesana harus menggunakan transportasi air. Sayangnya, belum ada transportasi air umum untuk menuju Desa Pegat-Betumbuk, sehingga orang-orang harus menyewa speed boat (yang mana itu mahal), memiliki speed boat sendiri (yang mana itu lebih mahal lagi), atau nebeng ke speed boat tetangga. Dari dermaga Tanjung Batu Berau menuju Desa Pegat-Betumbuk memakan waktu sekitar 1 jam, muara sungai ini luas dan dalam sekali, airnya kecokelatan meski pun sudah terhubung langsung dengan lepas pantai. Rumah-rumah di desa ini berbentuk panggung semua, dan sangat tidak higienis. Semua sampah dan pembuangan manusia dicemplungkan langsung ke bawah rumah panggung mereka, dan menunggu "dibersihkan" oleh alam ketika air laut pasang. Jadi jangan heran, ketika kita sampai di jalanan kayu maupun rumah warga, saat menengok ke bawah banyak kotoran manusia, hiks.. Oke skip. Di perjalanan menuju Desa Pegat-Betumbuk ini ada hal seru, kami melihat buaya yang sedang berjemur di pulau tak berpenghuni, haha gilasih ini, panjang buayanya sekitar 2 meter, khan main.. Kapan lagi melihat buaya langsung di alam bebas (maklumin 'anak kota' ini ya).

Para botjah Pegat-Betumbuk



Ngajak foto tapi dianggurin warga, yhaaa

Island of crocodile and .. ah sudahlah
Perjalanan di Desa Pegat-Betumbuk sekaligus mengakhiri "tugas dinas" kami di Kabupaten Berau. Seperti yang sudah saya dan Aneu rencanakan, kami mau main ke Derawan, yeaay!








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Tak Terlupakan ke Gunung Rinjani

Tips Meredakan Rhinitis Alergi (Pengalaman Pribadi)

Eduard Douwes Dekker, Seorang Belanda Penentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia